Hari Pahlawan

Meski Pernah Jadi Korban Orde Baru, Tokoh Malari 1974 Sebut Soeharto Layak Jadi pahlawan

Pernah jadi korban orde baru, kini Soelaeman justru menilai Soeharto layak jadi pahlawan. Mengapa ia berubah pandangan?

Editor: Dwi Rizki
Tribunnews/Taufik Ismail
PAHLAWAN NASIONAL - Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto dan Bambang Trihatmodjo mewakili pihak keluarga dalam prosesi penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Ri, Soeharto di Istana Negara, Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (10/11/2025). 

Bagi Soelaeman yang saat ini aktif sebagai Penasehat Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), menyebutkan ketidaksetaraan dalam menilai dua tokoh besar itu adalah bentuk ketidakadilan sejarah.

Ia menegaskan bahwa memahami sejarah bukan berarti menutupi kesalahan masa lalu, tetapi menempatkan setiap peristiwa dalam konteksnya secara utuh.

“Kepemimpinan Soeharto adalah cermin kompleksitas bangsa. Ada represi, tapi ada juga keberhasilan besar. Penilaian terhadap beliau tidak bisa hitam putih,” katanya.

Soelaeman berpesan kepada generasi muda agar memandang sejarah dengan hati jernih, tanpa fanatisme dan kebencian.

“Sejarah harus dibaca dengan nalar, bukan emosi. Dari keberhasilan dan kegagalan masa lalu, kita belajar bagaimana membangun masa depan yang lebih adil dan berkeadaban,” pungkasnya.

Pro dan Kontra

Direktur Eksekutif Veritas Institut, Aldi Tahir, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, seharusnya dilihat dari perspektif sejarah dan kontribusi nyata, bukan berdasarkan sentimen politik.

“Gelar pahlawan nasional bukan soal suka atau tidak. Ini soal menilai jasa seseorang secara objektif. Kalau setiap luka pribadi dijadikan alasan, maka bangsa ini akan kehilangan kemampuan untuk mengakui jasa tokohnya,” ujar Aldi dalam siaran tertulis pada Minggu (9/11/2025).

Menurut Aldi, bangsa yang besar tidak boleh membiarkan sejarah ditutupi oleh dendam politik atau persepsi subjektif. 

Ia menilai, Soeharto memiliki kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional, seperti stabilisasi politik dan ekonomi, pembangunan infrastruktur dasar, ketahanan pangan, serta penguatan ekonomi rakyat.

“Tentu saja sejarah tidak bisa dilepaskan dari kritik. Tapi mengabaikan jasa besar Soeharto hanya karena kontroversi politik masa lalu adalah pendekatan yang tidak adil,” kata Aldi yang juga merupakan kader Gerakan Muda Demokrasi (GMD).

Ia menyoroti risiko munculnya 'politik dendam' apabila keputusan kenegaraan didasarkan pada pertimbangan pribadi atau pengalaman keluarga. 

“Jika alasan pribadi menjadi faktor utama penolakan, ini bisa menimbulkan politik dendam yang menghambat rekonsiliasi nasional,” ujarnya.

Aldi mencontohkan beberapa tokoh bangsa yang dinilainya mampu bersikap bijak terhadap sejarah. 

“Kita sudah melihat pemimpin seperti Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan Presiden Prabowo yang bisa menghormati tokoh masa lalu sekaligus tetap kritis. Itu contoh keteladanan,” katanya.

Lebih lanjut, Aldi menilai, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa menjadi simbol kedewasaan bangsa. 

Sumber: Warta Kota
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved