Hari Pahlawan

Meski Pernah Jadi Korban Orde Baru, Tokoh Malari 1974 Sebut Soeharto Layak Jadi pahlawan

Pernah jadi korban orde baru, kini Soelaeman justru menilai Soeharto layak jadi pahlawan. Mengapa ia berubah pandangan?

Editor: Dwi Rizki
Tribunnews/Taufik Ismail
PAHLAWAN NASIONAL - Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto dan Bambang Trihatmodjo mewakili pihak keluarga dalam prosesi penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Ri, Soeharto di Istana Negara, Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (10/11/2025). 

Ia menduga peristiwa itu bukan spontan, melainkan bagian dari dinamika politik internal yang sedang memanas di lingkar kekuasaan.

“Kerusuhan Malari saya yakini bukan murni gerakan mahasiswa. Ada pihak-pihak yang memanfaatkan momentum politik saat itu,” katanya.

Pasca peristiwa tersebut, Soelaeman termasuk di antara sekitar 800 mahasiswa yang ditangkap.

Ia kemudian kembali ditahan pada 1977 karena dianggap memprovokasi mahasiswa dalam gerakan Kampus Kuning.

“Saya sempat dituduh menghasut mahasiswa menolak hasil Pemilu 1977. Padahal saya hanya menyuarakan tanggung jawab moral terhadap demokrasi,” ujarnya. 

Dalam paparannya, Soelaeman mengurai dua sisi besar kepemimpinan Soeharto yang ia sebut sebagai “dosa dan jasa.”

Menurutnya, dosa Soeharto antara lain pelanggaran HAM di berbagai peristiwa, seperti tragedi 1965, Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, dan Trisakti, serta praktik KKN dan pembatasan politik rakyat.

Namun, di sisi lain, jasa Soeharto juga besar dari pembubaran PKI, keberhasilan swasembada pangan, pertumbuhan ekonomi stabil selama dua dekade, dan program keluarga berencana yang diakui dunia.

“Soeharto memang punya sisi kelam, tapi juga punya peran besar dalam membangun fondasi ekonomi nasional. Kita tidak bisa menilai sejarah hanya dari satu warna,” ucapnya.

Soelaeman menilai Soeharto berhasil menjaga stabilitas nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ia menyebut, selama Orde Baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 7 persen, inflasi terkendali, dan kebutuhan pokok relatif terjangkau.

“Rakyat hidup tenang, kesempatan kerja terbuka luas, dan Indonesia dikenal di dunia sebagai negara yang stabil,” katanya.

Meski pernah menjadi korban dari kekuasaan Orde Baru, Soelaeman mengaku tidak menyimpan dendam pribadi terhadap Soeharto.

Ia justru berpendapat bahwa bangsa ini perlu bersikap adil dalam menilai sejarah.

“Kalau Soekarno dengan segala kesalahannya bisa diangkat menjadi pahlawan nasional, maka Soeharto pun berhak atas penghormatan yang sama,” ujarnya.

Sumber: Warta Kota
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved