Hari Pahlawan

Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Andi Arief Akui Beri Dukungan Hanya karena AHY

Andi Arief nyatakan penolakan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, tapi akui tak bisa menentang sikap partainya yang mendukung.

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
PAHLAWAN NASIONAL - Kolase Andi Arief dan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Andi Arief bersama 34 tokoh nasional, termasuk Rachland Nashidik dan Rocky Gerung menyampaikan 'Pernyataan Bersama' menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. 

Dalam catatan sejarah, Soeharto pernah menjabat sebagai Wakil Komandan BKR Yogyakarta dan memimpin aksi pelucutan senjata pasukan Jepang di kawasan Kotabaru pada 1945, sebuah peristiwa penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Soeharto juga dikenal sebagai sosok yang berperan besar dalam stabilisasi politik dan ekonomi Indonesia pasca-1966, meskipun masa pemerintahannya selama lebih dari tiga dekade menyisakan kontroversi dalam perjalanan demokrasi bangsa.

Selain Soeharto, sembilan tokoh lain turut menerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini, termasuk Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, dan Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.

Masing-masing dinilai memiliki kontribusi yang besar di bidang perjuangan kemanusiaan, demokrasi, dan pertahanan negara.

Tutut Soeharto, yang hadir mengenakan kebaya krem dengan selendang batik, tampak didampingi Bambang Trihatmodjo dan beberapa anggota keluarga besar Cendana.

Seusai prosesi penyerahan, mereka sempat berbincang singkat dengan Presiden Prabowo di ruang tengah Istana.

Genggaman tangan hangat antara Prabowo, Tutut, dan Bambang menjadi simbol persaudaraan dan penghormatan lintas generasi antara murid dan guru, antara pemimpin masa kini dan warisan masa lalu.

Penganugerahan ini menandai babak penting dalam sejarah penghormatan negara kepada para tokoh bangsa.

Bagi sebagian kalangan, pengakuan terhadap Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menegaskan peran kompleks seorang pemimpin yang pernah membentuk arah Indonesia modern.

Bagi keluarga, ini adalah penghargaan atas pengabdian yang dikenang dengan bangga dan air mata.

Di halaman Istana, usai upacara, para tamu berdiri memberi penghormatan terakhir kepada para pahlawan yang baru diresmikan.

Lagu Gugur Bunga kembali berkumandang, mengiringi suasana haru yang menggema di tengah semilir angin Jakarta pagi itu, sebuah peringatan bahwa setiap perjalanan bangsa selalu berdiri di atas jasa mereka yang telah pergi, namun tak pernah dilupakan.

Pro dan Kontra

Direktur Eksekutif Veritas Institut, Aldi Tahir, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, seharusnya dilihat dari perspektif sejarah dan kontribusi nyata, bukan berdasarkan sentimen politik.

“Gelar pahlawan nasional bukan soal suka atau tidak. Ini soal menilai jasa seseorang secara objektif. Kalau setiap luka pribadi dijadikan alasan, maka bangsa ini akan kehilangan kemampuan untuk mengakui jasa tokohnya,” ujar Aldi dalam siaran tertulis pada Minggu (9/11/2025).

Menurut Aldi, bangsa yang besar tidak boleh membiarkan sejarah ditutupi oleh dendam politik atau persepsi subjektif. 

Sumber: Warta Kota
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved