Hari Pahlawan

35 Tokoh dari Rachland Nashidik hingga Rocky Gerung Tolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

Mereka menilai, pemberian gelar Pahlawan nasinal kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto berpotensi mengaburkan sejarah dan mengaburkan batas moral bangsa.

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
PAHLAWAN NASIONAL - Kolase Rachland Nashidik dan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional, termasuk Rocky Gerung menyampaikan 'Pernyataan Bersama' menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. 
Ringkasan Berita:
  • Presiden Prabowo resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, tapi keputusan ini langsung memicu gelombang penolakan publik.
  • Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional, termasuk Rocky Gerung mengeluarkan “Pernyataan Bersama” menolak gelar tersebut.
  • Mereka menilai penghargaan itu bisa “menyuntikkan bius amnesia sejarah” dan mengaburkan batas moral bangsa.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan Presiden Prabowo Subianto kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai reaksi keras dari sejumlah kalangan.

Melalui pernyataan bersama yang diunggah di akun X (Twitter) pribadinya, @rachlannashidik, politikus dan aktivis Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional lainnya menyatakan penolakan atas keputusan tersebut.

Dalam unggahannya pada Senin (10/11/2025), Rachland membagikan pernyataan berjudul 'Pernyataan Bersama' yang menyoroti keputusan negara menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Mereka menilai, pemberian gelar itu berpotensi mengaburkan sejarah dan mengaburkan batas moral bangsa.

“Kami tak menolak mengakui jasa yang disumbangkan siapa pun terhadap Republik ini, termasuk Soeharto. Tetapi kepahlawanan adalah hal yang jauh lebih besar dan penting dari sekadar menghargai jasa seseorang,” tulis pernyataan tersebut.

Pernyataan itu menegaskan bahwa kepahlawanan tidak semestinya digunakan untuk menutupi atau menyamarkan kesalahan dan kejahatan sejarah.

Para tokoh menilai, langkah pemerintah justru 'menyuntikkan bius amnesia sejarah ke tubuh bangsa'.

“Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif, cara bangsa mendidik anak-anaknya membedakan benar dan salah dalam sejarah. Ia tidak boleh dikosongkan maknanya menjadi sekadar kemegahan personal, karena sesungguhnya ia adalah kompas moral bagi kehidupan bersama dalam menuju masa depan," jelasnya.

Dirinya setuju, rekonsiliasi bisa saja berguna untuk menyembuhkan luka-luka bangsa.

Namun, dirinya maupun para tokoh para mempertanyakan sikap inkonsisten negara yang dianggap hanya mengakui sebagian sejarah, tanpa membuka ruang bagi tokoh-tokoh kiri yang turut berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme, namun dihapus dari catatan resmi sejarah karena perbedaan ideologi.

"Kami bertanya: Apakah bangsa ini telah kehilangan keberanian untuk mengakui sejarahnya sendiri? Apakah nilai nilai yang hendak diajarkan kepada anak anak dan cucu kita dari sikap inkonsisten dan mau menang sendiri tersebut?" tanya Rachland.

"Bahwa kekuasaan boleh berbuat apa saja sepanjang mendatangkan kemakmuran? Bahwa kepatuhan pada negara lebih penting daripada kemanusiaan dan solidaritas sosial?" bebernya.

"Bahwa kebebasan adalah ancaman konstan pada pembangunan ekonomi? Bahwa korban-korban boleh jatuh dan dilupakan demi stabilitas politik?" tegas Rachland.

Apabila itu pelajaran moral yang akan diwariskan kepada generasi muda, maka bangsa Indonesia ditegaskannya bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang memperpanjang bayang-bayang masa lalu.

"Terhadap kemungkinan itu, kami menyatakan tidak setuju," tutupnya.

Berikut daftar 35 Tokoh Nasional yang menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto:

  1. Andi Arief
  2. Rachland Nashidik
  3. ⁠Hery Sebayang
  4. Jemmy Setiawan
  5. Aam Sapulete
  6. Robertus Robet
  7. Syahrial Nasution
  8. Rocky Gerung
  9. Yopie Hidayat
  10. ⁠Bivitri Susanti
  11. ⁠Abdullah Rasyid
  12. ⁠Ulin Yusron
  13. ⁠Iwan D. Laksono
  14. ⁠Beathor Suryadi
  15. ⁠Affan Afandi
  16. ⁠Zeng Wei Zian
  17. ⁠Umar Hasibuan
  18. ⁠Hendardi
  19. Syahganda Nainggolan
  20. Hardi A Hermawan
  21. Denny Indrayana
  22. Benny K. Harman
  23. Endang SA
  24. Yosi rizal
  25. Syamsuddin Haris
  26. ⁠Khalid Zabidi
  27. ⁠Monica Tanuhandaru
  28. ⁠Ikravany Hilman
  29. ⁠Hendrik Boli Tobi
  30. ⁠Isfahani
  31. ⁠Elizabeth Repelita
  32. ⁠Roni Agustinus
  33. Marlo Sitompul
  34. Tri Agus Susanto S Oka Wijaya

Penyerahan Tanda Kehormatan

Suasana di Istana Negara, Jakarta, mendadak hening saat Presiden Prabowo Subianto menyerahkan piagam dan tanda kehormatan Pahlawan Nasional kepada keluarga almarhum Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, Senin (10/11/2025).

Dalam momen penuh makna itu, Prabowo terlihat menggenggam erat tangan Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto dan adiknya, Bambang Trihatmodjo, usai penyerahan penghargaan.

Gestur itu menyiratkan kehangatan dan penghormatan yang dalam.

Bagi keluarga Cendana, penganugerahan ini menjadi momen yang telah lama dinantikan, pengakuan negara atas jasa besar Soeharto dalam sejarah perjuangan dan pembangunan Indonesia. 

Tutut tampak menunduk haru ketika menerima piagam tersebut dari tangan Presiden.

“Gelar ini bukan hanya penghargaan bagi almarhum Bapak Soeharto, tetapi juga bagi seluruh perjuangan bangsa,” ujar Presiden Prabowo dalam sambutannya.

Ia menegaskan bahwa para tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional adalah sosok-sosok yang telah menorehkan dedikasi tanpa pamrih bagi kemerdekaan, persatuan, dan kemajuan Indonesia.

Penganugerahan kepada Soeharto ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025.

Ia dinilai berjasa besar di bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik, terutama pada masa awal kemerdekaan.

Dalam catatan sejarah, Soeharto pernah menjabat sebagai Wakil Komandan BKR Yogyakarta dan memimpin aksi pelucutan senjata pasukan Jepang di kawasan Kotabaru pada 1945, sebuah peristiwa penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Soeharto juga dikenal sebagai sosok yang berperan besar dalam stabilisasi politik dan ekonomi Indonesia pasca-1966, meskipun masa pemerintahannya selama lebih dari tiga dekade menyisakan kontroversi dalam perjalanan demokrasi bangsa.

Selain Soeharto, sembilan tokoh lain turut menerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini, termasuk Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, dan Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.

Masing-masing dinilai memiliki kontribusi yang besar di bidang perjuangan kemanusiaan, demokrasi, dan pertahanan negara.

Tutut Soeharto, yang hadir mengenakan kebaya krem dengan selendang batik, tampak didampingi Bambang Trihatmodjo dan beberapa anggota keluarga besar Cendana.

Seusai prosesi penyerahan, mereka sempat berbincang singkat dengan Presiden Prabowo di ruang tengah Istana.

Genggaman tangan hangat antara Prabowo, Tutut, dan Bambang menjadi simbol persaudaraan dan penghormatan lintas generasi antara murid dan guru, antara pemimpin masa kini dan warisan masa lalu.

Penganugerahan ini menandai babak penting dalam sejarah penghormatan negara kepada para tokoh bangsa.

Bagi sebagian kalangan, pengakuan terhadap Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menegaskan peran kompleks seorang pemimpin yang pernah membentuk arah Indonesia modern.

Bagi keluarga, ini adalah penghargaan atas pengabdian yang dikenang dengan bangga dan air mata.

Di halaman Istana, usai upacara, para tamu berdiri memberi penghormatan terakhir kepada para pahlawan yang baru diresmikan.

Lagu Gugur Bunga kembali berkumandang, mengiringi suasana haru yang menggema di tengah semilir angin Jakarta pagi itu, sebuah peringatan bahwa setiap perjalanan bangsa selalu berdiri di atas jasa mereka yang telah pergi, namun tak pernah dilupakan.

Pro dan Kontra

Direktur Eksekutif Veritas Institut, Aldi Tahir, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, seharusnya dilihat dari perspektif sejarah dan kontribusi nyata, bukan berdasarkan sentimen politik.

“Gelar pahlawan nasional bukan soal suka atau tidak. Ini soal menilai jasa seseorang secara objektif. Kalau setiap luka pribadi dijadikan alasan, maka bangsa ini akan kehilangan kemampuan untuk mengakui jasa tokohnya,” ujar Aldi dalam siaran tertulis pada Minggu (9/11/2025).

Menurut Aldi, bangsa yang besar tidak boleh membiarkan sejarah ditutupi oleh dendam politik atau persepsi subjektif. 

Ia menilai, Soeharto memiliki kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional, seperti stabilisasi politik dan ekonomi, pembangunan infrastruktur dasar, ketahanan pangan, serta penguatan ekonomi rakyat.

“Tentu saja sejarah tidak bisa dilepaskan dari kritik. Tapi mengabaikan jasa besar Soeharto hanya karena kontroversi politik masa lalu adalah pendekatan yang tidak adil,” kata Aldi yang juga merupakan kader Gerakan Muda Demokrasi (GMD).

Ia menyoroti risiko munculnya 'politik dendam' apabila keputusan kenegaraan didasarkan pada pertimbangan pribadi atau pengalaman keluarga. 

“Jika alasan pribadi menjadi faktor utama penolakan, ini bisa menimbulkan politik dendam yang menghambat rekonsiliasi nasional,” ujarnya.

Aldi mencontohkan beberapa tokoh bangsa yang dinilainya mampu bersikap bijak terhadap sejarah. 

“Kita sudah melihat pemimpin seperti Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan Presiden Prabowo yang bisa menghormati tokoh masa lalu sekaligus tetap kritis. Itu contoh keteladanan,” katanya.

Lebih lanjut, Aldi menilai, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa menjadi simbol kedewasaan bangsa. 

Ia menegaskan, pengakuan terhadap jasa tokoh sejarah tidak berarti menghapus kritik terhadap masa lalu.

“Ini bukan soal menyucikan sejarah atau menghapus kesalahan. Ini soal menghormati fakta, mengakui jasa, dan menunjukkan bahwa bangsa ini cukup dewasa untuk memisahkan emosi dari penilaian historis,” pungkasnya.

Gelar Pahlawan Soeharto Dinilai Harus Objektif

Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto kian berpolemik.

Pro dan kontra disampaikan sejumlah tokoh nasional atas pemberian penghormatan tersebut.

Ketua Pusat Studi Kekayaan Alam (Pusaka), Ronny Setiawan angkat bicara.

Dirinya menilai pemberian gelar pahlawan itu seharusnya dipandang secara objektif dan berkeadilan sejarah.

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menilai pemimpinnya secara utuh, tidak hanya dari luka masa lalu, melainkan juga dari jasa dan kontribusi yang nyata bagi negara," kata Rony dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (9/11/2025). 

Ia mengungkapkan Soeharto adalah bagian dari sejarah besar Indonesia yang telah membawa negara ini melalui masa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi selama lebih dari tiga dekade. 

Meski kepemimpinannya tidak luput dari kontroversi, jasa dan kontribusinya terhadap fondasi pembangunan nasional tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Bangsa ini perlu berdamai dengan sejarahnya sendiri. Menghargai Soeharto bukan berarti melupakan sisi gelap masa lalu, melainkan mengakui bahwa beliau adalah bagian dari perjalanan panjang republik ini,” tambahnya.

Baca juga: Ainun Najib: Jika Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Jokowi Harus Dinobatkan Pahlawan Super

Ronny juga menilai bahwa penolakan atas dasar dendam atau luka personal justru dapat memperpanjang polarisasi sosial dan politik yang tidak produktif bagi generasi penerus.

Menurutnya, Indonesia harus mulai membangun tradisi politik kenegarawanan, di mana para pemimpin menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau emosi pribadi.

“Setiap pemimpin besar, termasuk Soekarno dan Soeharto, memiliki sisi terang dan sisi kelam. Namun keduanya tetap tokoh penting yang membentuk karakter Indonesia modern. Kita tidak boleh mewariskan dendam, melainkan keteladanan dalam menghargai perjuangan setiap anak bangsa,” tegasnya.

Ronny mengajak semua pihak, termasuk partai politik dan elemen masyarakat sipil, untuk menjadikan momentum perdebatan ini sebagai pelajaran moral tentang kedewasaan politik dan kebangsaan.

“Partai politik seharusnya menjadi teladan dalam menebarkan semangat rekonsiliasi dan persatuan. Jangan justru membiarkan perbedaan sejarah menjadi alasan untuk memperuncing konflik lama,” ujarnya.

Ia berharap agar bangsa Indonesia tidak terus berkutat pada luka masa lalu, melainkan melangkah maju dengan semangat saling menghargai dan membangun masa depan bersama.

“Sudah saatnya semua pemimpin nasional, baik yang masih aktif maupun yang telah wafat, diingat sebagai negarawan, bukan sekadar tokoh partai atau simbol masa lalu. Hanya dengan cara itu kita benar-benar menjadi bangsa yang dewasa,” pungkasnya.

Jokowi Pahlawan Super

Pendapat lainnya diutarakan Pegiat Media Sosial sekaligus seorang praktisi Teknologi Informasi, Ainun Najib.

Lewat status twitter atau X pribadinya @ainunnajib pada Sabtu (2/11/2025), dirinya mengutarakan pendapatnya.

Menurutnya, apabila Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional, sudah sepantasnya Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dinobatkan sebagai Pahlawan Super Nasional.

VIRAL MEDIA SOSIAL - Kolase Pegiat Media Sosial sekaligus seorang praktisi Teknologi Informasi, Ainun Najib dan gambar Presiden ke-7 RI, Joko Widodo ala Superman. Menurut Ainun Najib, apabila Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional, sudah sepantasnya Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dinobatkan sebagai Pahlawan Super Nasional.
VIRAL MEDIA SOSIAL - Kolase Pegiat Media Sosial sekaligus seorang praktisi Teknologi Informasi, Ainun Najib dan gambar Presiden ke-7 RI, Joko Widodo ala Superman. Menurut Ainun Najib, apabila Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional, sudah sepantasnya Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dinobatkan sebagai Pahlawan Super Nasional. (Twitter @ainunnajib)

"If President Soeharto becomes National Hero, then President Joko Widodo should become National Superhero. (Jika Presiden Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, maka Presiden Joko Widodo harus menjadi Pahlawan Super Nasional)," tulisnya sembari mengunggah gambar Jokowi mengenakan pakaian pahlawan super mirip Superman.

Postingan Ainun Najib pun ditanggapi ramai masyarakat.

Unggahan itu memicu reaksi beragam.

Sebagian besar menjadikan statusnya hanya sebagai lelucon dan candaan hingga komentar sinis yang menyeret nama Jokowi dalam sejumlah kontroversi.

@ReiMadridista: Superheronya punya kendaraan ajaib yang tidak terlihat: esemka

@Pencari_Rezeki: Astagfirullah.. jgn sampe deh, masa superhero/pahlawan, kekuatannya suka ngibul.

@DJ_Luvly:Aamiiin YRA , semoga dapat gelar pahlawan secepatnya. UU No 20 Thn 2009 & PP Nomor 35 Tahun 2010, cepat meninggal, cepat diproses hukum akhirat 

@Bima_Sakti_1: Kalau ini Ahlawan Isu Ijazah!!!!

@baiou_2829: Jokowi ? "HERO Supermarket" opini gw.., warisannya busuk semua.

@bafarifa: Lho.. Bukannya belaww calon Nabi?

@tobaiss13: Orang dzalim ko jadi pahlawan mas

@SHPDCMPABABD: Kalau super hero celana dalam dipakai di luar ya..

@By__Samarkand: Superbul

@AMudzakir53017: MULYONO PAHLAWAN NASIGORENG....

Tokoh Agama Terpecah

Sejumlah tokoh agama terpecah dalam wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto

Diketahui Soeharto masuk nominasi tokoh nasional yang digadang-gadang akan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 10 November 2025 mendatang. 

Wacana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap pemimpin Orde Baru itu lantas membuat kontroversi dan gaduh di masyarakat. 

Pasalnya opini masyarakat terpecah dengan para pendukung rezim Soeharto dan korban rezim Soeharto

Belum lagi status Soeharto yang pernah menjadi terdakwa korupsi pasca 1998 namun batal disidangkan karena kondisi kesehatan dan meninggal dunia. 

Bukan hanya masyarakat yang terpecah belah, sejumlah tokoh agama juga ternyata saling berbeda pendapat. 

Baik di organisasi masyarakat (Ormas) Islam terbesar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memiliki dua opini berbeda. 

Misalnya saja Ketua PP Muhammadiyah, Muhadjir Effendy menegaskan, sikap Muhammadiyah telah bulat mendukung penuh pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Menurutnya, tidak ada satu pun yang dapat memungkiri peran dan kontribusi Soeharto terhadap bangsa Indonesia.

Diketahui Muhadjir Effendy saat ini menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk periode 2022-2027, membidangi Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal.

Namun demikian tokoh muda Muhammadiyah Usman Hamid yang juga pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto itu. 

Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu menentang keras pemberian gelar pahlawan tersebut.

Usman menilai bahwa gelar pahlawan harus diberikan kepada sosok yang memegang nilai kebenaran dan keberanian moral hingga akhir hayatnya.

“Kalau meninggal dalam status tersangka atau terdakwa, apalagi terkait pelanggaran HAM atau korupsi, sulit disebut pahlawan,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Kamis (6/11/2025).

Tak berbeda dengan Muhammadiyah, NU juga terbelah dengan wacana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto. 

Baca juga: Balik Arah, Jokowi Setarakan Gus Dur dengan Soeharto ​untuk Jadi Pahlawan Nasional

Misalnya saja Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menyatakan dukungannya terhadap usulan Kementerian Sosial Republik Indonesia kepada Dewan Gelar atas menetapkan Soeharto dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Pahlawan Nasional pada tahun ini.

Menurut Gus Fahrur, Indonesia perlu belajar dari masa lalu baik dari kebaikan maupun kekurangannya untuk membangun masa depan yang lebih bijak dan berkeadaban.

Namun demikian penolakan keras muncul dari tetua NU yakni KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” tegas Mustasyar Pengurus Nahdaltul Ulama (PBNU), Gus Mus, dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025).

Gus Mus mengenang masa Orde Baru sebagai periode yang menyisakan luka bagi banyak ulama dan kiai pesantren. 

Ia menyebut papan nama NU dilarang dipasang, bupati-bupati merobohkan simbol organisasi, dan sejumlah tokoh dipaksa masuk Golkar.

Bahkan adiknya Kiai Adib Bisri dipaksa keluar PNS karena dipaksa masuk Golkar.

“Banyak kiai yang dimasukin sumur. Adik saya, Kiai Adib Bisri, keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” tuturnya.

Ia juga mengisahkan pengalaman Kiai Sahal Mahfudh yang menolak menjadi penasehat Golkar Jawa Tengah. 

Menurut Gus Mus, banyak pejuang bangsa yang tidak pernah mengajukan gelar pahlawan demi menjaga keikhlasan amal.

“Kalau istilahnya, menghindari riya’. Amal kebaikan jangan dikurangi karena gelar,” jelasnya.

Sementara itu tokoh agama lain yakni Franz Magnis-Suseno yang merupakan imam katolik menolak keras pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto

Romo Magnis mengatakan keterlibatan Soeharto dalam dugaan korupsi di era Orde Baru membuatnya tak layak menjadi pahlawan nasional.

Soeharto dianggap membuka pintu lebar-lebar kepada kroni dan keluarganya agar bisa melakukan korupsi. 

Belum lagi sejumlah kekerasan sipil yang terjadi dari tahun 1965 hingga 1998 membuat Soeharto semakin dianggap tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. 

Jokowi Mendukung

Dukungan terhadap wacana Presiden ke-2 RI Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional mendapat dukungan dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). 

Jokowi juga memberikan dukungan yang sama terkait wacana serupa terhadap Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Pahlawan Nasional

Jokowi menilai keduanya memiliki jasa besar bagi bangsa. 

"Ya, setiap pemimpin baik itu Presiden Soeharto maupun Presiden Gus Dur pasti memiliki peran dan jasa terhadap negara," jelas Jokowi, Kamis (6/11/2025).

Pemberian gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk penghormatan terhadap sosok yang pernah memimpin Indonesia. 

Selain itu Jokowi juga menyoroti bahw setiap pemimpin memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

"Dan kita semuanya harus menghargai itu dan kita sadar setiap pemimpin pasti ada kelebihan dan pasti ada kekurangan," ujarnya.

Meski demikian, usulan gelar Pahlawan Nasional tidak bisa sembarangan dan harus mengikuti mekanisme. 

"Dan pemberian gelar jasa terhadap para pemimpin itu juga melalui proses-proses melalui pertimbangan-pertimbangan yang ada dari tim pemberian gelar dan jasa," katanya.

"Saya kira kita menghormati peran dan jasa yang telah diberikan baik oleh Presiden Soeharto maupun Presiden Gusdur bagi bangsa dan negara ini," lanjutnya.

Penolakan Megawati

Berbeda dengan Jokowi, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional tidak boleh dilakukan sembarangan.

Ia mengingatkan pemerintah untuk lebih selektif dan berhati-hati dalam memberikan gelar tersebut, dengan menimbang rekam jejak perjuangan, nilai kemanusiaan, serta tanggung jawab moral seorang tokoh terhadap bangsa.

“Dapat gelar proklamator, bapak bangsa, terus ini apa? Pahlawan? Tapi, ya hati-hati kalau mau menjadikan seseorang pahlawan. Jangan gampang dong. Kalau Bung Karno, benar, pahlawan. Karena saya berani bertanggung jawab,” ujar Megawati dalam pidatonya pada seminar peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025).

Dikutip dari Kompas.com, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional tidak boleh dilakukan sembarangan.  Ia mengingatkan pemerintah untuk lebih selektif dan berhati-hati dalam memberikan gelar tersebut, dengan menimbang rekam jejak perjuangan, nilai kemanusiaan, serta tanggung jawab moral seorang tokoh terhadap bangsa. “Dapat gelar proklamator, bapak bangsa, terus ini apa? Pahlawan? Tapi, ya hati-hati kalau mau menjadikan seseorang pahlawan. Jangan gampang dong. Kalau Bung Karno, benar, pahlawan. Karena saya berani bertanggung jawab,” ujar Megawati dalam pidatonya pada seminar peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025).

“Bayangkan, seorang putra bangsa diperlakukan begitu hanya karena sebuah TAP. Kalau Bung Karno bersalah, seharusnya demi keadilan beliau boleh dong dimasukkan ke pengadilan,” kata Megawati.

Megawati juga mengenang sikap Bung Karno yang tetap diam meskipun diperlakukan tidak adil. Bung Karno memilih untuk tidak melawan demi menghindari perang saudara yang dapat memecah belah bangsa Indonesia. “Kalau melawan, nanti yang terjadi perang saudara,” kata Megawati, menirukan pesan ayahnya.  Ia menyatakan bahwa keputusan Bung Karno untuk tetap diam adalah wujud kebesaran jiwa dan tanggung jawabnya terhadap bangsa, demi menjaga agar tidak ada pertumpahan darah antar sesama anak bangsa.


Penolakan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, kembali memantik perdebatan publik.

Sikap Megawati dinilai mencerminkan bahwa bangsa Indonesia masih berhadapan dengan luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.

Presiden Mahasiswa BEM UIN Alauddin Makassar, M Zulhamdi Suhafid menilai, bahwa keputusan Megawati tersebut bisa dimaknai sebagai ekspresi jujur dari memori kolektif bangsa yang terluka.

Namun di sisi lain juga menunjukkan bahwa proses pendewasaan sejarah nasional belum selesai.

“Sikap Ibu Megawati adalah bentuk keberanian dalam mempertahankan prinsip. Ini menunjukkan bahwa luka sejarah, terutama terkait dinamika politik Orde Baru, masih meninggalkan residu psikologis di ruang sosial dan politik Indonesia,” ujar Zulhamdi, Sabtu (8/11/2025).

Baca juga: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Akademisi: Beliau Bapak Pembangunan

Lebih lanjut, Zulhamdi menyatakan, jika penolakan tersebut didasari pengalaman pribadi dan sejarah keluarga besar Soekarno, maka keputusan itu berpotensi menimbulkan kesan politik dendam di tengah masyarakat.

Padahal, kata dia, Presiden Prabowo tengah berupaya merawat persatuan dan memulihkan memori sejarah bangsa melalui pendekatan yang lebih inklusif.

“Tentu kita tidak bisa menafikan trauma masa lalu, namun bila pengalaman personal dijadikan dasar untuk menolak pengakuan terhadap jasa tokoh lain, itu berisiko menumbuhkan politik dendam yang justru menghambat rekonsiliasi nasional,” tuturnya.

Zulhamdi juga menekankan pentingnya keteladanan dari para pemimpin bangsa dalam menyikapi tokoh-tokoh masa lalu termasuk yang pernah berseberangan secara politik. 

Ia mencontohkan langkah-langkah yang pernah dilakukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Taufiq Kiemas, hingga Presiden Prabowo yang berani mengakui jasa orang-orang yang berbeda pandangan, tanpa kehilangan sikap kritis terhadap sejarah.

Baca juga: Balik Arah, Jokowi Setarakan Gus Dur dengan Soeharto ​untuk Jadi Pahlawan Nasional

“Seorang pemimpin sejati tidak perlu menghapus catatan kelam masa lalu, tetapi harus mampu menempatkannya dalam konteks yang objektif," jelasnya.

"Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan bahkan Presiden Prabowo telah menunjukkan bahwa penghargaan terhadap jasa seseorang tidak berarti menghapus kritik atas kesalahannya. Inilah bentuk kedewasaan politik yang perlu diteladani," sambung Zulhamdi.

Menanggapi pertanyaan apakah adil bila jasa besar Soeharto di bidang pembangunan, pangan, infrastruktur, ekonomi, dan stabilitas nasional diabaikan hanya karena kontroversi politiknya.

Zulhamdi berpendapat bahwa sejarah harus dilihat secara proporsional bukan secara dendam keluarga.

Baca juga: Muhammadiyah Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Muhadjir Effendy: Jasa Beliau Besar

“Kita tidak bisa menafikan peran besar Soeharto dalam pembangunan nasional. Kesalahan dan pelanggaran politiknya harus diakui, tetapi pencapaian konkret di bidang ekonomi dan ketahanan pangan juga patut diapresiasi," ungkapnya.

Mengabaikan seluruh jasa Soeharto, tambah Zulhamdi, hanya membuat bangsa ini kehilangan objektivitas sejarah.

Di akhir pernyataannya, Zulhamdi menilai bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, jika dilakukan dengan pertimbangan akademik dan moral yang matang, justru bisa menjadi simbol kebesaran bangsa Indonesia.

“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan semata soal politik, tetapi tentang kemampuan bangsa ini untuk mengakui jasa siapapun tanpa membawa dendam sejarah. Ini akan menunjukkan kedewasaan kolektif kita sebagai bangsa yang besar bahwa bangsa yang mampu mengingat tanpa membenci, dan belajar tanpa melupakan," tutupnya.

24 Calon Pahlawan Nasional

Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon mengatakan dari 49 nama yang diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional pada tahun 2025 ini, pihaknya sudah menyeleksi menjadi 24 nama saja yang menjadi prioritas sebagai calon pahlawan nasional tahun ini.

Sebelumnya 49 nama yang diusulkan itu terdiri dari 40 nama calon pahlawan nasional usulan yang dianggap telah memenuhi syarat, ditambah 9 nama usulan dari periode sebelumnya (carry over).

Dari total nama tersebut, kata Fadli, Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan menyeleksinya sehingga menjadi 24 nama yang bisa menjadi prioritas sebagai calon pahlawan nasional tahun ini.

Baca juga: Masuk Nominasi Pahlawan Nasional, Korupsi Soeharto Sempat Disorot PBB

"Dan sekarang tentu karena kita juga mendekati Hari Pahlawan, kita telah menyampaikan ada 24 nama dari 49 itu yang menurut Dewan GTK memerlukan, telah diseleksi, mungkin bisa menjadi prioritas," kata Fadli Zon di Istana Kepresidenan, Rabu.

Namun, politikus Partai Gerindra itu enggan mengonfirmasi apakah Presiden ke-2 Soeharto masuk dalam daftar prioritas 24 nama itu.

"Nanti kita lihatlah ya. Untuk nama-nama itu memang semuanya seperti saya bilang itu memenuhi syarat ya, termasuk nama Presiden Soeharto sudah tiga kali bahkan diusulkan ya," ujar Fadli Zon kepada awak media, Rabu (5/11/2025).

Menteri Kebudayaan Fadli Zon ajak pengelola museum buka wisata malam
CALON PAHLAWAN NASIONAL - Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon mengatakan dari 49 nama yang diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional pada tahun 2025 ini, pihaknya sudah menyeleksi menjadi 24 nama saja yang menjadi prioritas sebagai calon pahlawan nasional tahun ini. Sebelumnya nama Presiden ke 2 Soeharto, Presiden ke-4 RI Aburrahman Wahid atau Gus Dur, hingga aktivis buruh, Marsinah, masuk dalam 49 nama usulan. 

Fadli Zon mengatakan 24 nama calon pahlawan nasional yang menjadi prioritas didasarkan pada kajian dan penelitian.

Menurutnya, semua nama tersebut sudah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional, yakni memiliki perjuangan, riwayat hidup dan latar belakang yang jelas, serta sudah diuji secara akademik melalui berbagai tahap.

Berdasarkan data Kementerian Sosial, pemerintah sudah berulang kali mengajukan nama Soeharto sebagai calon pahlawan nasional.

Akan tetapi, mertua Prabowo tersebut belum juga mendapatkan persetujuan dan gelar.

Dia pun tercatat sebagai salah satu dari daftar 20 nama calon pahlawan nasional yang sudah diajukan sejak 2011 hingga 2023.

Terdapat tiga kategori dalam pengusulan calon pahlawan nasional 2025, yakni usulan baru 2025; usulan tunda 2024; dan usulan memenuhi syarat diajukan kembali (2011-2023).

Mereka terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari presiden, ulama hingga buruh.

Adapun sejumlah nama yang diusulkan menjadi pahlawan nasional diantaranya Presiden ke-2 RI Soeharto; Presiden ke-4 RI Aburrahman Wahid atau Gus Dur; hingga aktivis buruh, Marsinah.

Baca juga: Wacana Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Pengamat: Bukan Perkara Pantas atau Tidak Pantas

Fadli menyampaikan, 24 nama itu akan diseleksi lebih lanjut sebelum diberikan kepada Presiden Prabowo.

Termasuk, katanya nama Gus Dur dan Marsinah yang merupakan simbol perjuangan buruh.

"Ya, tentu akan diseleksi lagi. Itu (Gus Dur) juga termasuk yang kita seleksi, ya, semuanya saya kira memenuhi syarat juga," ujar Fadli.

Fadli menjelaskan, proses pengusulan nama-nama tersebut dimulai dari tingkat terkecil di kabupaten/kota.

Berbagai peneliti dan pakar dari berbagai latar belakang mengusulkan kepada kabupaten/kota masing-masing untuk diteruskan kepada pemerintah provinsi, hingga akhirnya diberikan kepada pemerintah pusat.

"Jadi proses dari pengusulan pahlawan nasional ini adalah proses dari bawah, dari masyarakat, dari kabupaten, kota. Kemudian di sana ada tim peneliti yang terdiri dari para pakar dari berbagai latar belakang," kata Fadli.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di WhatsApp.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved