Berita Nasional
Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Surya Paloh: Beliau Berperan Penting dalam Pembangunan Nasional
Surya Paloh tak memungkiri jika selama menjabat Soeharto masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan.
Penulis: Yolanda Putri Dewanti | Editor: Feryanto Hadi
Ringkasan Berita:
- NasDem Surya Paloh mengucapkan selamat atas pemberian gelar pahlawan yang resmi disematkan kepada Soeharto
- Surya mengingatkan bahwa penolakan pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto tak menghilangkan sisi objektifitas
- Surya Paloh tak memungkiri jika selama menjabat Soeharto masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan.
Laporan wartawan wartakotalive.com, Yolanda Putri Dewanti
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengucapkan selamat atas pemberian gelar pahlawan yang resmi disematkan kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
"Kita ucapkan selamat kepada keluarga besar Pak Harto atas pemberian gelar pahlawan nasional oleh pemerintah," ungkap Surya di Nasdem Tower, Selasa (11/11/2025).
Sebelumnya seusai melepas ribuan peserta FunWalk menjelang HUT ke-14 Partai Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Minggu, 9 November 2025, Surya menegaskan adanya pro dan kontra pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto, adalah hal yang lumrah.
Polemik ini lantaran ada dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama masa Pemerintahan Soeharto, termasuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
"Ya, itu konsekuensinya. Ya, saya pikir memang kalau sudah mempersiapkan segala sesuatunya termasuk konsekuensi pro dan kontra, polemik yang terjadi, ya bagi Nasdem melihat dari sisi positifnya ya," ujarnya.
Surya mengingatkan bahwa penolakan pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto tak menghilangkan sisi objektifitas mengenai kontribusinya selama 32 tahun memimpin.
"Bahwasannya sosok Presiden Soeharto telah memberikan posisi dan peran, arti keberadaan beliau sebagai presiden yang membawa progres pembangunan nasional kita yang cukup berarti, seperti apa yang kita nikmatin hari ini," ucap Surya Paloh.
Surya Paloh tak memungkiri jika selama menjabat Soeharto masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan.
"Tetapi sekali lagi memang, ya, kalau kita mau membawa gerakan perubahan tentu kita mencoba untuk bisa selalu menempatkan faktor objektifitas itu, yang mungkin harus kita hargai bersama, sebagai pedoman daripada sesuatu yang kita harapkan bisa memberikan arti kemajuan kita sebagai satu bangsa," tegasnya.
Selain Soeharto, beberapa nama yang juga mendapat gelar pahlawan nasional adalah Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hingga aktivis buruh, Marsinah.
35 tokoh tolak Soeharto jadi pahlawan
Gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan Presiden Prabowo Subianto kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai reaksi keras dari sejumlah kalangan.
Melalui pernyataan bersama yang diunggah di akun X (Twitter) pribadinya, @rachlannashidik, politikus dan aktivis Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional lainnya menyatakan penolakan atas keputusan tersebut.
Dalam unggahannya pada Senin (10/11/2025), Rachland membagikan pernyataan berjudul 'Pernyataan Bersama' yang menyoroti keputusan negara menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Mereka menilai, pemberian gelar itu berpotensi mengaburkan sejarah dan mengaburkan batas moral bangsa.
“Kami tak menolak mengakui jasa yang disumbangkan siapa pun terhadap Republik ini, termasuk Soeharto. Tetapi kepahlawanan adalah hal yang jauh lebih besar dan penting dari sekadar menghargai jasa seseorang,” tulis pernyataan tersebut.
Pernyataan itu menegaskan bahwa kepahlawanan tidak semestinya digunakan untuk menutupi atau menyamarkan kesalahan dan kejahatan sejarah.
Para tokoh menilai, langkah pemerintah justru 'menyuntikkan bius amnesia sejarah ke tubuh bangsa'.
“Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif, cara bangsa mendidik anak-anaknya membedakan benar dan salah dalam sejarah. Ia tidak boleh dikosongkan maknanya menjadi sekadar kemegahan personal, karena sesungguhnya ia adalah kompas moral bagi kehidupan bersama dalam menuju masa depan," jelasnya.
Dirinya setuju, rekonsiliasi bisa saja berguna untuk menyembuhkan luka-luka bangsa.
Namun, dirinya maupun para tokoh para mempertanyakan sikap inkonsisten negara yang dianggap hanya mengakui sebagian sejarah, tanpa membuka ruang bagi tokoh-tokoh kiri yang turut berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme, namun dihapus dari catatan resmi sejarah karena perbedaan ideologi.
"Kami bertanya: Apakah bangsa ini telah kehilangan keberanian untuk mengakui sejarahnya sendiri? Apakah nilai nilai yang hendak diajarkan kepada anak anak dan cucu kita dari sikap inkonsisten dan mau menang sendiri tersebut?" tanya Rachland.
"Bahwa kekuasaan boleh berbuat apa saja sepanjang mendatangkan kemakmuran? Bahwa kepatuhan pada negara lebih penting daripada kemanusiaan dan solidaritas sosial?" bebernya.
"Bahwa kebebasan adalah ancaman konstan pada pembangunan ekonomi? Bahwa korban-korban boleh jatuh dan dilupakan demi stabilitas politik?" tegas Rachland.
Apabila itu pelajaran moral yang akan diwariskan kepada generasi muda, maka bangsa Indonesia ditegaskannya bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang memperpanjang bayang-bayang masa lalu.
"Terhadap kemungkinan itu, kami menyatakan tidak setuju," tutupnya.
Berikut daftar 35 Tokoh Nasional yang menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto:
- Andi Arief
- Rachland Nashidik
- Hery Sebayang
- Jemmy Setiawan
- Aam Sapulete
- Robertus Robet
- Syahrial Nasution
- Rocky Gerung
- Yopie Hidayat
- Bivitri Susanti
- Abdullah Rasyid
- Ulin Yusron
- Iwan D. Laksono
- Beathor Suryadi
- Affan Afandi
- Zeng Wei Zian
- Umar Hasibuan
- Hendardi
- Syahganda Nainggolan
- Hardi A Hermawan
- Denny Indrayana
- Benny K. Harman
- Endang SA
- Yosi rizal
- Syamsuddin Haris
- Khalid Zabidi
- Monica Tanuhandaru
- Ikravany Hilman
- Hendrik Boli Tobi
- Isfahani
- Elizabeth Repelita
- Roni Agustinus
- Marlo Sitompul
- Tri Agus Susanto S Oka Wijaya
| Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Siapa Pembunuh Marsinah? |
|
|---|
| Marak Perundungan Siswa, Berujung Bakar Pesantren dan Ledakan Sekolah |
|
|---|
| Paviliun Indonesia di COP30 Brazil Resmi Dibuka, Indonesia Siap Jadi Jembatan Hijau Dunia |
|
|---|
| Dari Rumah Soeharto di Menteng Ini Muncul Istilah 'Keluarga Cendana', Kini Kondisinya Lapuk |
|
|---|
| Urgensi Pengelolaan Dana Haji, Komisi VIII DPR RI Soroti Transparansi, Keadilan dan Dinamika Terkini |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/soeharto_20180407_104407.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.