WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Nusron Wahid menyinggung istilah yang pernah ramai yakni kata cebong dan kampret pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 silam.
Diketahui, istilah itu melekat untuk pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto kala itu.
Baca juga: Sarmuji: Simbol Persatuan Cebong-Kampret, Nama Gibran Ditambahkan Jokowi saat Daftar ke KPU RI
Hal ini disampaikan Nusron dalam sambutanya di acara deklarasi Relawan Nderek Guru (Ndaru) di Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat Relawan Ndaru, Jalan Dr Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (17/12/2023).
"Kita menginginkan ada kebersatuan dan ada keutuhan di masyarakat," ujarnya.
"Hari ini kita saksikan dua tokoh besar di Indonesia telah bersatu, yaitu Pak Jokowi dan Pak Prabowo bersatu," imbuhnya.
Nusron mengatakan, Jokowi dan Prabowo sendiri sudah bersatu pada Pilpres 2024 ini. Sementara itu, cebong dan kampret enggan bersatu.
Baca juga: AA Gym Minta Pilpres 2024 Damai Meski Beda Pilihan Capres, Tidak Ada Lagi Cebong dan Kampret
Menurut Nusron, istilah cebong dan kampret bukan dicetuskan Jokowi ataupun Prabowo.
"Ternyata istilah cebong dan kampret bukan dari Pak Jokowi maupun bukan dari Pak Prabowo," ujarnya.
"Kenapa? Karena Pak Prabowo dan Pak Jokowi telah bersatu, tapi cebong dan kampretnya tidak mau bersatu," lanjutnya.
Menurut Nusron, ternyata cebong tidak pernah berniat mendukung Jokowi, melainkan ingin membenci Prabowo.
Baca juga: Perisai Ajak Pemuda Jaga Persatuan, Istilah Cebong-Kampret Rendahkan Derajat Kemanusiaan
Sebaliknya, lanjut Nusron, kampret juga tidak berniat mendukung Prabowo, melainkan hanya membenci Jokowi.
Dengan demikian, Nusron menyebut jika cebong dan kampret hanya menjadikan Prabowo dan Jokowi sebagai kendaraan kebencian.
"Alhamdulillah hari ini ada keutuhan, ada kebersatuan antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo, untuk apa? Untuk kerukunan dan persatuan serta keberlanjutan Indonesia. Setuju?" ujar Nusron.
"Ternyata cebongnya minggir, kampretnya minggir. Cebongnya ke mana, kampretnya ke mana, bapak-bapak sudah paham sendiri," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) Syarief Hidayatullah berharap agar pelaksaan Pemilu 2024 diharapkan berjalan damai dan penuh keadaban.
Dia meminta agar seluruh pihak hendaknya bersama menghentikan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang memecah persatuan.
"Capek kita kalau ingat 2019, cebong dan kampret. Sesama saudara saling bermusuhan," kata Syarief dalam diskusi Pemilu 2024 Sejuk Tanpa Hoaks, Ujaran Kebencian, dan SARA di Jakarta, Jumat (13/10/2023).
Syarief meminta, narasi dalam berkampanye tidak membawa-bawa isu agama yang dapat memecah belah kebangsaan dan permusuhan.
"Masyarakat kita jejali informasi fakta dan prestasi. Tak ada narasi menjatuhkan, rekam buruk orang atau calon lain, apalagi ujaran kebencian dengan bawa-bawa agama," tegasnya.
Namun demikian, mencegah hoaks dan fitnah merajalela, lanjut Syarif, bukan tugas satu pihak saja.
Melainkan seluruh pihak wajib memberi edukasi kepada masyarakat. Termasuk melalui diskusi publik semacam ini.
"Apalagi tukang ayam, tukang jamu, udah main Instagram, Twitter, dan Facebook. Ini ruang media sosial harus disterilkan," ujarnya.
"Dulu ada bandar dan juragannya. Sekarang semoga sudah tidak ada para provokator di media sosial," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas meminta publik tak terpancing menyebar hoaks dan ujaran kebencian selama proses Pemilu 2024.
"Hoaks dan ujaran kebencian ini menarik. Narasi dan judulnya dibikin heboh. Kalau tak menarik, tak akan memancing publik," ujarnya.
"Masalahnya masyarakat kita tidak melalukan kroscek kebenaran seluruh berita," imbuh Fernando.
Dikatakan, hoaks dan fitnah tujuannya jelas untuk menjatuhkan lawan.
Masalahnya, efek dari kerjaan tim sukses calon ini mengundang permusuhan antara pendukung dan segregasi di tengah masyarakat.
Fernando menyarankan, mestinya, persaingan politik saat ini meningkatkan narasi kelebihan calonnya. Bukan mendowngrade lawan politiknya.
Tinggalkan pola negative campaign apalagi black campaign.
"Saya berharap, tiga Capres dan para pendukungnya tidak melakukan ini. Kita ini negara beradab. Demokrasi harus berjalan penuh keadaban. Jangan kita rusak persaudaraan kebangsaan sepanjang umur kita hanya karena kegiatan lima menit di TPS," pesannya.
Mengenai narasi suku dan primordialisme, Fernando menilai, ini tak bisa dihindari. Karena komposisi penduduk Indonesia memang beragam.
Artinya, narasi kalau mau menang harus pilih yang mewakili Jawa, tak terelakkan.
Artinya, isu kesukuan ini tak terlalu berbahaya ketimbang isu agama yang amat sensitif dan menyulut konflik.
"Karena memang mayoritas adalah Jawa. Maka sah saja kalau kita bilang, yang mungkin menang, yang menggaet dari provinsi besar di Jawa, perempuan, atau jenis promordial yang lain. Yang penting bukan hoax dan ujaran kebencian," ujarnya.
Pegiat Media Sosial Darmansyah melihat, hoaks dan fitnah, ketika dibagikan tim pemenangan yang jelas, maka publik akan ikut membagikan.
Tetapi kalau sumber akunnya tidak jelas, publik cenderung tidak ikut menyebarkan.
"Pihak media sosial, bisa men-takedown akun yang menyebarkan hoaks. Distribusi jalur fakta jangan sampai diputus oleh hoaks," ucapnya.
"Semua berperan menyetop ini. Pengguna media sosial harus teliti dan cermat. Jangan asal membagikan postingan. Proses kurasi penting," tandasnya.
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News