Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah
WARTAKOTALIVE.COM, TAMBORA — Berangkat dari keluarga miskin yang jauh di bawah kata sederhana, Putra Pratama tumbuh menjadi seorang perwira polisi yang kini berpangkat Kompol.
Diusianya yang menginjak 36 tahun, Putra menyabet gelar sebagai Kapolsek Tambora Polres Metro Jakarta Barat.
Ia juga sudah menikah dengan seorang dokter gigi cantik dan memiliki tiga orang anak, perempuan dan laki-laki.
Sebelumnya, Putra juga pernah memegang beberapa jabatan penting lainnya di berbagai daerah di Indonesia.
Kendati begitu, Putra sebenarnya tak memiliki cita-cita menjadi seorang polisi.
Terlebih saat itu, orang tuanya bahkan tak mampu untuk membiayai dirinya sekolah.
Baca juga: Kisah Inspiratif Didik Subi, Sempat Rugi Miliaran Rupiah, Kini Kontraktor Taat Syariat
Bahkan, untuk sekadar beli mi instan yang saat itu hanya Rp 350, ibunya pun tak mampu membelikannya.
"Sejak saya kecil saya tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi polisi, karena saya berasal dari keluarga miskin di Bangka Belitung," ujar Putra saat ditemui Wartakotalive.com di Polsek Tambora, Jakarta Barat, Selasa (24/1/2023) lalu.
Namun, dari sanalah Putra memiliki tekad untuk mengubah nasibnya.
Adapun perjalanan karier Putra dimulai dari sejak ia lulus di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Putra memutuskan meninggalkan rumah dan berpisah dengan kedua orang tuanya, sebab hendak mencari sekolah gratis.
Saat itu, ia berhasil mendapatkan beasiswa dari salah satu perusahaan timah di wilayahnya.
Di tempat itu, Putra dibina dan digembleng menjadi seorang perwira. Hingga kini, polisi menjadi profesi yang melekat dan diamanahkan kepadanya.
Pendidikan dan Pengalaman Kerja
Kompol Putra Pratama merupakan salah seorang aparat kepolisian yang tidak memiliki garis keturunan polisi.
Anak sulung dari dua bersaudara itu, sejak kecil hanya menyaksikan potret sang ayah yang bekerja serabutan dan ibu yang tidak bekerja.
Sehingga, untuk sekolah pun, Putra kecil mengandalkan keberaniannya untuk mencari peruntungan di luar kampung halamannya.
Sejak lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), Putra berpisah dengan orang tua dan satu adiknya. Ia tinggal di tempat berbeda dan melanjutkan SMA di boarding school gratis yang dibiayai oleh CSR PT Timah Tbk. Ia lulus pada 2015.
"Memang dari sebelum lulus SMA, saya termotivasi untuk mencari sekolah lanjutan yang gratis dan langsung mendapatkan pekerjaan," ujar Putra.
Baca juga: Kisah Inspiratif, Harkat dan Martabat Kartini Terangkat Setelah Sukes Jadi Content Creator
"Saat itu, pilihannya tidak terlalu banyak, antara Polisi, TNI, IPDA, STAN atau STIS," imbuhnya.
Kemudian, pilihan Putra jatuh kepada Akademi Kepolisian (Akpol). Bukan karena ia menginginkannya, melainkan karena informasi pertama yang didapat adalah Akpol.
Rupanya, ia langsung dinyatakan lulus pada kesempatan pertama.
Lucunya, saat ia menempuh pendidikan tersebut, Putra bahkan belum mengetahui perbedaan antara Perwira, Bintara, dan Tamtama. Sehingga, perjalanannya sekolah hanya mengikuti arus.
Setelah selesai menjalani pendidikan menjadi seorang Akpol pada 2008, Putra langsung ditugaskan menjadi aparat kepolisian di Kota Bandung, Jawa Barat.
Kemudian di tahun 2014, Putra melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan ditempatkan di Polda Kalimantan Barat.
Sebelum bertugas di Polda Metro Jaya pada tahun 2020, kata Putra, ia sempat berdinas di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) Mabes Polri, di bidang pendidikan dan latihan.
Selain itu, dirinya juga pernah berdinas di Bareskrim Polri dan menjadi pengasuh Taruna Akpol Semarang.
Putra kemudian melanjutkan pendidikan dan lulus Magister S2 Hukum dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Rencananya, ia akan melanjutkan studi doktoral di kampus yang sama.
Diketahui dari Putra, sebelum dirinya kini menjabat sebagai Kapolsek Tambora sejak 2022 lalu, ia menjabat sebagai Kapolsek Neglasari di Polres Metro Tangerang.
Putra Tinggal di Rumah Bedeng yang Berlubang
Kompol Putra menceritakan, rumah bedeng yang terbuat dari papan menjadi tempat dirinya menghabiskan masa kecil di Bangka Belitung.
Rumah yang pinggirannya sudah berlubang itu, menjadi pemandangan biasa bagi Putra kecil. Menurut Putra, tempat tinggalnya itu bahkan sudah reyot dan usianya jauh lebih tua dari usia ibundanya.
Bahkan, saking reyot dan berlubangnya, Putra mengaku kerap mendengar suara tetangga yang mengobrol atau sekadar kentut.
"Rumahnya itu memiliki atap yang terbuat dari seng yang sudah karatan, papan-papan yang sudah bolong, sehingga jangankan berbicara, tetangga kami mengeluarkan kentut pun kami bisa mendengarnya," jelas Putra.
Bagaimana tidak, saat itu keluarganya tak memiliki biaya untuk merenovasi rumahnya.
Ayahnya yang bekerja serabutan, menjadi salah satu penyebabnya.
"Bapak saya tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, tapi punya keahlian tangan untuk membuat perlengkapan yang berasal dari kayu, misalnya lemari, jendela, pintu, semua keahlian di bidang pertukangan," ujar Putra.
"Tapi kami tidak punya modal untuk membuat usaha sendiri, sehingga pemasukan hari-hari tidak menentu.
Akhirnya Bapak saya kerja serabutan memasang instalasi listrik, kemudian bekerja sebagai kuli bangunan," imbuhnya.
Saking Miskinnya, Putra Tak Sanggup Beli Mi Instan Rp 350
Selain tak mampu memperbaiki rumah, Putra bahkan pernah tidak bisa makan mi instan yang waktu itu harganya hanya Rp 350.
Putra kecil hanya bisa mencium harum mi instan dari dapur tetangga, tanpa mampu menyesapnya.
"Pernah ada satu waktu, pada saat ada tetangga yang masak Indomie goreng yang aromanya kemana-mana, sebagai anak yang masih berusia kelas dua SD atau kelas tiga SD, pada saat itu saya meminta ke ibu saya 'Bu tolong lah beliin, kayaknya aromanya itu enak sekali,'" kata Putra.
"Tapi ibu saya saat itu enggak punya uang, ia bilang untuk menunggu bapak saya pulang bekerja di pemotongan kayu di hutan, tapi dia pulang biasanya tiga bulan sekali," kata Putra mengenang hari itu.
Namun Putra menyebut, meskipun ayahnya pulang, belum tentu ia membawa uang.
Bisa jadi, sang ayah hanya membawa stok sembako dari hasil kerjanya itu.
"Jadi untuk mencukupi biaya hidup kami, tiga bulan selama ditinggal oleh bapak, kami makan sembako itu," jelasnya.
"Sehingga ibu saya juga bekerja di gudang pembersihan lada yang seminggu sekalinya mendapat gaji, dari situlah kami bertahan," lanjut dia.
Putra Pertama Kali Masuk Restoran saat Jadi Taruna AkpolPutra bercerita, sepanjang ia hidup, ada satu momen dimana dirinya sangat bahagia sepanjang hidup.
Yakni, saat dirinya pertama kali masuk dan mencoba makanan di restoran saat menjadi Taruna Akpol. Itupun karena ditraktir temannya.
"Saya merasakan makan di restoran itu baru pertama kali pada saat saya menjadi Taruna Akpol," ujar Putra.
"Jadi mulai saya lahir sampai saya masuk Akpol, saya belum pernah merasakan makan di restoran. Betapa nikmatnya pada saat itu," imbuh dia.
Putra menyebut, hingga kini ia selalu menandai Restoran Padang dimanapun, sebab memiliki kesan tersendiri.
Putra Baru Punya Handphone di Usianya 21 Tahun, Nomornya Tak Pernah Diganti
Stigma sosok polisi melekat pada dalih 'orang berada' dan 'memiliki banyak uang', namun tidak demikian dengan Kompol Putra Pratama.
Pria kelahiran Oktober 1986 itu, pertama kali memegang dan memiliki handphone saat dirinya berusia 21 tahun, sejak ia lulus Akpol 2008 silam.
"Tahun 2008, saya sudah terima gaji pada saat itu saya sudah mampu untuk membeli handphone dan itulah kali pertama saya punya handphone," jelas Putra.
Saking girangnya, nomor handphone pertamanya itu tak pernah digantinya hingga hari ini.
"Nomor itu nomor yang saya beli di tahun 2008, nomor yang sama yang saya gunakan hingga saat ini tidak pernah berganti," ucap dia.
Sudah Jadi Polisi, Putra Sebut Polisi Profesi yang Mulia Tapi Antara Surga dan Neraka
Meski tak pernah bercita-cita jadi seorang polisi, Putra mengakui jika seorang polisi adalah suatu profesi yang mulia jika dikerjakan dan dilaksanakan dengan baik.
Terlebih, Putra memang banyak bergelut di dunia reserse, sehingga lebih sering menangani kasus kriminal.
Kendati begitu, Putra mengibaratkan posisi polisi sebagai orang yang berada di tepian jurang, sebab memiliki tanggung jawab yang besar.
"Saya menyadari sampai saat ini sebenarnya ada banyak kasus yang tidak bisa dihadapi, tidak bisa diungkap yang yang korbannya orang-orang susah," jelas Putra.
"Saya tidak mampu untuk menyelesaikannya karena banyak hal yang menjadi faktor keterbatasan," kata Putra.
Ia menjelaskan, salah satu contohnya seperti kasus pencurian motor yang sebagian besar korbannya adalah warga yang susah (dari segi ekonomi).
Namun rupanya, tugas polisi pun susah, sebab pencarian tersebut layaknya mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tidak tahu mulai dari mana.
"Sehingga saya harus lebih berusaha maksimal lagi, banyak masyarakat menjadi korban kejahatan yang belum mampu saya bantu," ungkap dia.
Bahkan perwira polisi yang sudah 15 tahun berkelana itu mengaku, tak berharap putra pertamanya meneruskan karier beliau.
Menurutnya, menjadi polisi itu berada di antara surga dan neraka.
"Saya berharap anak saya membangun kariernya di luar polisi, sebagai pengusaha atau apapun. Tapi saya tidak memaksakan jika memang suatu hari dia berminat untuk menjadi polisi," ujar Putra.
"Karena menurut saya, selain profesi ini adalah profesi yang mulia, juga kami berada di jurang antara surga dan neraka. Jika kami bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Insya Allah surga akan menjadi balasannya. Tapi sedikit saja kami salah, maka kami akan masuk ke neraka dan saya tidak mau anak-anak saya berada di jurang seperti saya," imbuh dia.
Hal Mengesankan Sepanjang 15 Tahun Jadi Perwira
Tak banyak yang tahu, seorang polisi rupanya memikul tanggung jawab yang berat.
Putra mengaku, sepanjang perjalanannya berkarier, hal yang indah menurutnya selain bisa makan di restoran, ia juga merasa bahagia apabila dapat menyelesaikan sebuah permasalahan.
Terlebih, kasus tersebut dialami oleh masyarakat kecil seperti dirinya dahulu.
"Pernah ada seorang petani bawang dari Jawa Timur dari Jawa Tengah yang ditipu, dia jual beli bawang, dia kirim bawangnya sampai ke Jakarta. Setelah sampai Jakarta, ternyata bawangnya dibawa kabur oleh penipu," ucap Putra.
"Saya dan anggota saya berhasil menangkap pelaku itu, punya rasa kepuasan tersendiri yang tidak bisa saya ceritakan," jelas Putra.
Sisi Lain Polisi yang Tak Banyak Orang Tahu
Citra polisi sempat terguncang akhir-akhir ini, bahkan pernah bertebaran di sosial media #percumalaporpolisi.
Menjawab hal tersebut, Putra menceritakan hal lain yang tidak banyak orang tahu mengenai profesinya itu.
Menurut Putra, masyarakat kerap menyamakan profesi polisi layaknya di film-film. Usai membuat laporan, maka pelakunya bisa langsung tertangkap, apapun kejahatannya.
Pasalnya, polisi memiliki teknologi canggih seperti Criminal Scientific Investigation.
"Jadi masyarakat berpikir bahwa apapun yang dilaporkan ke polisi, itu bisa langsung diungkap. Apabila dia kehilangan motor, maka polisi bisa mencari dan besoknya bisa ketemu," jelas Putra.
Padahal, lanjut dia, saat masyarakat melaporkan kehilangan. Pihaknya pun kebingungan tatkala memulai pencarian dan melacak keberadaan pelaku.
Sebab terlalu banyak jalur yang dilewati dan terlalu banyak kemungkinan terkait keberadaan motor tersebut.
"Mangkanya saya bilang, (tugas polisi) seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Nah itulah yang masyarakat tidak paham, jadi masyarakat tuh tahunya apabila sudah lapor polisi, besok atau seminggu motor itu bisa ketemu. Padahal kan tidak semudah itu," tandasnya. (m40)