WARTAKOTALIVE.COM, BOGOR - Di awal tahun 2022 ini, masyarakat menghadapi masalah ketahanan pangan mulai dari minyak goreng, tahu, dan tempe yang sulit ditemukan serta kenaikan harga gula pasir dan daging sapi.
Khusus minyak goreng, persoalan ini tak kunjung usai sejak tahun lalu meski pemerintah mengguyur subsidi dan mengatur pasokan dalam negeri.
Institut Pertanian Bogor (IPB) ikut menyoroti permasalahan tersebut.
Menurut rektor IPB, Prof Dr Arif Satria, SP, M.Si, pihaknya memiliki inovasi-inovasi yang bisa menjadi solusi di tengah ketahanan pangan.
Apa saja inovasinya?
Berikut wawancara eksklusif Warta Kota, pemimpin redaksi Domu D Ambarita bersama Rektor IPB Arif Satria yang berlangsung belum lama ini:
Bagaimana IPB menganalisis masalah ketahanan pangan yang sedang terjadi baru-baru ini?
Saya pikir soal kedelai ini, kita butuh inovasi-inovasi unggul.
IPB sudah punya teknik budidaya yang bisa menghasilkan 4,6 ton per hektare.
Sedangkan rata-rata nasional itu 1,5 ton per hektare, artinya kami tiga kali lipat.
Kalau inovasi-inovasi dari kampus ini semakin banyak dikembangkan, saya yakin akan bisa terdongkrak.
Namun problem kedelai di kita adalah meskipun produksi bisa tinggi, tetapi pasar merespons dengan harga yang tidak menggiurkan sehingga petani-petani kita lebih cenderung menanam tanaman lain dari pada kedelai.
Nah kami sekarang punya alternatif selain kedelai, namanya kacang tunggak.
Kami sudah bisa membuat kacang tunggak itu menjadi lebih putih, jadi mirip kedelai. Kacang tunggak bisa menjadi subtitusi kedelai.
Jadi sebenarnya banyak sekali produk-produk substitusi yang bisa dihasilkan, tidak terlalu harus bergantung kepada satu jenis produk.
Kedelai langka, ada kacang tunggak yang bisa diproduksi dengan sistem tumpang sari dan bisa ditingkatkan produktivitasnya.
Kami bisa memproduksi tempe dari kacang tunggak dengan rasa yang hampir sama dengan tempe dari kedelai.
Karena itu, sebenarnya kami tidak perlu khawatir tentang masa depan tempe karena banyak produk-produk substitusi yang bisa dihasilkan.
Menurut saya, ketahanan pangan itu salah satunya adalah bagaimana inovasi-inovasi yang ada di kampus dan lembaga penelitian dipercepat proses hilirisasinya.
Sekarang kami punya IPB3S yang bisa hasilkan 12 ton padi per hektare, IPB 9G untuk padi gogo lahan kering yang bisa hasilkan 12 ton per hektare.
Tetapi problemnya adalah bagaimana memproduksi benih supaya diterima petani dan bisa ditanam. Tugas perguruan tinggi saat ini adalah fokus pada SDM dan inovasi.
Untuk hilirisasi, kami tidak bisa sendiri. Kita harus bersama-sama dengan pemerintah, pengusaha, dan petani.
Baca juga: Disperindag Kota Tangerang Tunggu Arahan Pusat Atasi Gonjang-ganjing Harga Minyak Goreng Kemasan
Kalau inovasi sudah berjalan, kendala apalagi yang dihadapi?
Sebenarnya kita punya banyak kekayaan intelektual yang perlu terus didorong tetapi memang orang pada akhirnya lebih suka impor.
Politik kita ini seharusnya berpihak pada politik rezim produksi, jangan rezim perdagangan.
Kalau rezim produksi, berarti kan itu masalah jam kerja. Jika komoditas diproduksi dari kita semua, interaksi jam kerja kita jadi tinggi karena orang-orang produktif bekerja.
Bila kita fokus pada membuat produk-produk kebutuhan dalam negeri, tarikannya banyak.
Karena apa? Desa tumbuh pesat, petani terlibat banyak, dan pengangguran semakin berkurang. Kami harapkan bahwa fokus pada kemandirian pangan ini harus diperkuat dan Covid-19 ini momentum.
Orang sekarang semakin sadar bahwa kemandirian pangan harus terjaga dan karena itu maka inovasi itu suatu keharusan.
Kami akan membuat banyak inovasi-inovasi di lapangan berupa hilirisasi inovasi kampus.
Kalau bibit ada mestinya bisa ditanam, tetapi kenapa kita harus mengekspor kedelai dari Amerika Latin. Ini berarti ini kebijakan dari pemerintah masih di rezim perdagangan bukan produksi.
Kalau rezim produksi maka akan banyak masyarakat terlibat, mulai dari petani, pemasok pupuk lalu pembeli dan seterusnya. Mata rantai lebih banyak yang terlibat?
Betul. Multiplier effect-nya juga lebih besar kalau kita fokus produksi dalam negeri.
Tetapi tantangannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan produksi dengan harga yang bisa lebih murah dari pada impor.
Ini tantangan perguruan tinggi juga. Kami juga harus fair bahwa ini harus dilakukan riset lagi tetapi dengan inovasi kami yang bisa hasilkan 4,6 ton per hektare, sementara rata-rata nasional 1,1 setengah ton per hektare, ini berarti lebih menguntungkan.
Harga pun bisa lebih bersaing dengan harga kedelai impor. Kami sudah uji coba di lebih dari 500 hektare dan bagus hasilnya.
Baca juga: Pemerintah Naikkan Setoran Eksportir, Pasokan dan Harga Minyak Goreng Akan Normal
Bagaimana daya dukung atau minat kerja sama dari Kementerian Pertanian?
Pak menteri (Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo-red) sudah berkali-kali ketemu saya. Alhamdulilah kami punya kerja sama dan punya kolaborasi.
Kami sering promosikan teknik budidaya kedelai dan padi kepada kementerian tetapi memang ada hal-hal teknis yang harus diselesaikan.
Apa itu? Teknisnya adalah bahwa memang untuk produksi benih ya kami harus buat sistem yang benar-benar efisien.
Sekarang IPB sudah produksi benih sendiri misalnya, IPB3S. Tetapi begitu kami jual, harganya tidak semurah harga yang dipatok oleh pemerintah.
Pemerintah mematok untuk pengadaan benih itu harganya X, sementara kami di atas X, jadi harganya tidak masuk.
Saya juga lagi mau negosiasi sama pak menteri, tolong harga HPP (Harga Pembelian Pemerintah-red) naikin sedikit supaya kami juga bisa masuk. (ron/eko-bersambung)