Jakarta Audax 2022, Mengikis Mentalitas Curang Pesepeda pada Rute Jarak Jauh Berbatas Waktu

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menyusuri rute Jakarta Urban Cycling Challenge 2022 mengitari kota Jakarta sampai kawasan Banten sejauh 200km, Sabtu (26/2/2022). Acara yang populer disebut Jakarta Audax itu semakin diminati pesepeda di kota-kota besar di Indonesia. Baru beberapa jam pendaftaran dibuka, slot habis terjual.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Unsupported. Just ride. Begitulah tagline Audax (artinya: berani), yaitu gowes jarak jauh mandiri (self supported) alias tanpa dukungan, dengan batas waktu dan rute yang telah ditentukan.

Belakangan, terutama sejak pandemi covid-19 di mana kegiatan berkumpul banyak dibatasi, acara Audax makin ngetrend di kalangan pesepeda di Indonesia.

Tak terkecuali acara Audax yang digelar Sabtu (26/2/2022) lalu dan diberi judul Jakarta Ultra Cycling Challenge (JUCC).

Cuma dalam hitungan jam, kuota peserta gowes 100 km dan 200 km, yang disediakan oleh panitia , ludes terjual.

Panitia masih mengalokasi kuota melalui salah satu platform aplikasi, namun karena serbuan peminat, aplikasi sempat “macet” sehingga banyak yang tak bisa menyelesaikan pendaftaran.

Saat kembali tersambung, slot sudah habis. Beruntung saya berhasil mendapatkan slot untuk gowes 200 km.

Pagi buta pada hari H, ratusan peserta sudah memadati area parkir Cilandak Town Square (Citos).

Tiga sekawan pesepeda dari Cibubur (kiri-kanan) Eko Yulianto, Christiantoko, dan Emanuel Telaumbanua bersiap di titik start dan finis JUCC 2022 di Citos, Jakarta Selatan. (istimewa)

Menurut panitia, Audax di masa PPKM level 2 kali ini cuma boleh diikuti 350 orang. Tak ada lampu terang benderang, tak ada pengeras suara berkekuatan ribuan watt, tak ada artis yang menjadi MC acara, tak ada pemanasan yang dipimpin instruktur gym dan tak ada ceremony gegap gempita lainnya seperti acara start event marathon yang sering digelar sebelum pandemi.

Setelah mendapat stempel pada kartu Brevet Randonneurs Mondiaux (BRM) yang dibagikan sebelumnya, peserta langsung mulai mengayuh sepedanya.

Untuk peserta Audax 200 km, waktu start dihitung sejak pk.05.00 WIB, sementara peserta 100 km, perhitungan waktu dimulai pk.05.30 WIB.

Pagi itu, cuaca mendung. Bahkan saat start, hujan gerimis tipis sempat turun. Tapi hal ini tak menyurutkan semangat peserta.

“Dari tahun ke tahun semakin banyak peminatnya,” kata Bob Aria Bharuna, volunteer Audax Randonneurs Indonesia.

Audax Randonnerus Indonesia ini berafiliasi dengan Audax Club Parisien (ACP), sebuah organisasi pesepeda yang berpusat di Paris, Perancis, dan mengadakan acara gowes jarak jauh untuk anggotanya di seluruh dunia setiap 4 tahun sekali dengan menempuh jarak 1.200 km.

Untuk mendaftar di acara gowes 4 tahunan yang akan diadakan kembali tahun 2023, setiap peserta harus memiliki nomor brevet sebagai tanda sudah menamatkan gowes jarak jauh, dimulai dengan 200 km, 400 km, 600 dan 1.000 km di bawah batas waktu (cut of time, COT) yang ditentukan.

Nah, gowes 200 km adalah “pintu masuk” untuk terdaftar dan mendapatkan nomor sertifikat randonneurs dunia atau BRM.

Nomor inilah yang kemudian akan dipakai untuk mendaftar keikutsertaan event-event selanjutnya.

Sportivitas, lebih dari sekadar sport

Selama menempuh jalur Audax, peserta boleh beristirahat, makan-minum, ngobrol dengan teman baru di jalan, gowes santai atau gowes ngebut ala atlet profesional.

Yang pasti, panitia sudah mewanti-wanti bahwa perhelatan ini bukanlah lomba dan peserta tidak boleh mendapat dukungan dari pihak lain untuk menyelesaikan rute.

Sayangnya, acara Audax sering ternodai oleh ulah peserta yang melanggar aturan. 

Repotnya, panitia agak sulit mencari bukti karena luasnya area acara.

“Kami justru banyak mendapat laporan dari peserta lain atau fotografer di lapangan yang melihat kejadian,” lanjut Bob.

Memang, dengan mata kepala sendiri saya melihat ada motor ojek yang mengikuti salah satu peserta dengan memakai jaket dan helm salah satu platform komersial digital.

Awalnya, saya pikir hanya motor biasa yang kebetulan sedang melintas.

Tapi saat hujan deras di km 84, Jalan Raya Serang, motor itu berhenti di dekat salah satu peserta dan memberikan jas hujan.

Panas, mendung, dan hujan sepanjang jalan. (istimewa)

Ojek yang sama, terus berada di jalur Audax dan pada tempat-tempat yang sepi, pengemudinya berlagak memotret peserta lain menggunakan HP.

Perilaku peserta Audax semacam ini tentu mencederai “roh” acara yang menjunjung tinggi sportivitas.

“Bagaimana mau jujur dalam hidup, kalau sepedaan saja curang,” kata Zafrullah, salah seorang volunteer Audax lainnya.

Selain motor, saya juga sempat melihat satu-dua mobil yang berhenti di pinggir jalan dan seperti menunggu peserta yang lewat.

Membuktikan bahwa mobil tersebut adalah mobil support individu atau kelompok, tentu sulit karena harus menunggu momentum tak terbantah seperti kasus motor di atas.

Yang pasti, hujan deras yang mengguyur kami cuma sebentar.

Tapi di km 105, di mana mulai masuk jalan yang lebih kecil, sedikit rusak dan berkontur naik-turun, hujan deras kembali turun.

Pakaian yang sudah mengering, kembali basah. Sementara, perut sudah mulai terasa lapar dan warung makan mulai jarang. Kalaupun ada, sudah penuh dengan goweser lain.

Di sekitar km 110, saat sedang asyik-asyiknya menikmati perjalanan di pinggir kali, tiba-tiba ada peserta lain menyapa nama saya.

Agak terperanjat karena saya bertemu dengan teman yang sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu. Kami sama-sama kelaparan. Tapi saya sempat menghibur diri.

“Indahnya gowes jarak jauh di Indonesia adalah banyak minimarket dan warung mie instant di mana-mana, “ kata saya disambut tawa teman seperjalanan.

Demi eksistensi

Bertemu dengan teman lama tanpa janjian ternyata membuat semangat dan kegembiraan muncul kembali.

Sambil menggowes, kami mengobrol. Beberapa rombongan pesepeda mendahului kami. Pemimpin rombongan yang berada paling depan (road captain) menyapa kami dengan ramah.

Tapi raut muka anggota rombongan tampak cemberut. Mungkin mereka kelelahan. Mungkin juga kesal dengan jalur sepeda yang blusukan.

Dari jenis sepedanya yang berbahan carbon dan ukuran ban yang kecil, kami bisa memahami alasan raut muka mereka yang tidak bahagia.

Melewati check point kedua, saya berpisah dengan teman. Dan masalah buat saya mulai muncul.

Untuk mengikuti Audax ini, saya mengandalkan aplikasi komoot di HP.

Tapi karena kehujanan, saya tidak bisa mengisi daya batere HP.

Berkali-kali saya coba, muncul pesan ada cairan di socket pengisian daya sehingga akhirnya saya kehilangan arah.

Setelah berkilo-kilometer, saya baru menyadari tak ada lagi peserta Audax yang kelihatan di depan maupun belakang.

Bak orang buta yang tak tahu jalan, saya mulai bertanya-tanya pada orang di pinggir jalan.

Akhirnya, saya yakin tersesat. Dengan berat hati, saya mengayuh kembali sepeda, menyusuri jalan yang sama, berbalik arah.

Tak lama saya menemukan teman peserta gowes dan mengikutinya menyusuri rute di bike comp. 

Menilik maraknya media sosial saat ini, agaknya memang banyak peserta yang ikut Audax sekadar ingin eksis, mengisi konten media sosial.

Dengan ikut acara gowes jarak jauh yang bergengsi dan diakui secara internasional, mereka bisa pamer di berbagai platform media sosial.

Salah satu peserta, misalnya, ada yang melewati batas waktu karena dua kali membantu peserta lain menambal ban sepedanya yang bocor.

“Peserta membawa toolkit, tapi tidak tahu cara menggunakannya untuk menambal ban,” katanya.

Beruntung ada peserta yang memiliki kepedulian dan bersedia membantu, dengan konsekuensi masuk ke garis finis melewati batas waktu.

Fenomena banyaknya pesepeda kalcer yang salah kaprah ikutan Audax, agaknya patut menjadi catatan panitia.

Sebab, secara mental mereka sebetulnya belum siap.

Selama perjalanan, saya mendapati beberapa rombongan yang saya duga sekadar menyelesaikan gowes jarak jauh.

Wajah anggotanya tegang, satu berhenti, semua berhenti.

Saat salah satu sepeda bermasalah, mereka kebingungan.

Ikutan Audax, tapi secara mental seperti ikut fun bike jarak jauh berombongan.

Padahal, Audax bukan sekadar sport (kesiapan fisik dan teknis bersepeda), dibutuhkan lebih dari itu, yaitu sportivitas dan penguasaan teknis sepeda masing-masing peserta.

Tak terasa jarak finish tinggal tersisa 30 km.

Dengan sisa waktu COT masih 1 jam 40 menit, saya yakin masih bisa masuk garis finish sebelum COT.

Apalagi dua bidon baru diisi penuh, perut pun sudah terisi makanan kecil. Tenaga pun, masih ada.

Saya mengayuh sepeda lebih cepat.

Hari mulai gelap.

Ternyata saya keliru.

Memasuki Jakarta, rute yang dipilih panitia justru masuk ke jalan-jalan kecil, banyak polisi tidur, dan sedikit berkontur.

Hal ini membuat saya tidak bisa menjaga kecepatan tetap konstan. Ketidakmujuran semakin lengkap karena saya kembali kehilangan arah.

Batere Garmin teman yang saya ikuti habis. Walhasil saya kembali nyasar.

Apa daya, saya masuk garis finish sekitar satu jam melewati batas waktu.

“Biasanya yang finish di bawah COT 50%-60%,” kata Zafrullah.

Adapun total peserta yang kembali ke garis finish, jumlahnya sekitar 80%.

Sisanya, banyak yang “melarikan” diri, kembali ke rumah tanpa melapor panita.

Mengayuh sepeda ratusan kilometer bukan hal baru bagi saya.

Tahun 1988, saya pernah mengayuh Jakarta-Jogja dengan beberapa teman.

Waktu itu, teknologi sepeda belum secanggih sekarang sehingga kami harus berbekal berbagai kunci pas, pelor atau gotri karena belum menggunakan bearing hingga gemuk untuk melumasinya.

Namun baru kali ini saya mengikuti Audax.

Pelajaran berharga bagi saya untuk tidak mengabaikan teknologi agar tak menyimpang dari jalur sehingga banyak waktu yang terbuang.

Di parkiran Citos, antrean untuk foto di photo booth mengular.

Saya memilih bersenda gurau dengan beberapa teman peserta dan juga panitia.

Walau lelah menggowes 223 km, hari itu saya sudah bersenang-senang dari atas sadel sepeda Surly kesayangan.

(Christiantoko, mantan wartawan-mantan eksekutif-mantan eselon 1 pemerintahan. Senang bersepeda)

Berita Terkini