Perlintasan kereta tanpa palang ini menghubungkan Jalan Budi Mulya Raya dan Jalan RE Martadinata.
"Perlintasan yang ada palangnya aja kadang masih banyak yang nerobos. Apalagi yang gaada palangnya. Makanya, saya tuh selalu standby 10 menit sebelum kereta melintas, agar bisa memberhentikan kendaraan yang lewat," ujarnya.
Selain itu, para petugas PJL ini hanya bermodalkan bendera dan peluit sebagai isyarat bagi pengguna jalan untuk berhenti ketika kereta hendak melintas.
Meskipun cuaca tidak menentu, ia harus tetap mengawasi perlintasan kereta.
• Waskita Karya: Tol Japek II Elevated Bisa Memunculkan Sentra Industri Baru
"Risiko sih kalau jadi PJL. Harus panas-panasan demi menjaga keamanan pengendara kendaraan. Belum lagi kalau hujan, harus siapin payung atau jas hujan. Soalnya kan ini manual semua, jadi ya saya harus ke perlintasan langsung buat nyetop pengendara," katanya.
Sulaiman mengatakan, ketika terjadi macet yang cukup parah di Jalan RE Martadinata maupun Jalan Budi Mulya Utama, ia harus memberikan semboyan 3.
Semboyan 3 mengisyaratkan bahwa perlintasan kereta yang akan dilewati berstatus tidak aman.
Untuk memberikan semboyan itu, Sulaiman harus berlari 500 meter sambil membawa bendera merah untuk memberhentikan kereta yang hendak melintas.
• Bagaimana Prospek Investasi Obligasi dan Saham Tahun 2020?
Ketika ditemui Kompas.com, Sulaiman tidak merasa lelah meskipun terlihat keringat mengucur dari dahinya akibat teriknya matahari dn lari-larian.
Baginya, ikhlas adalah kunci untuk menjalankan profesinya sebagai petugas PJL.
Ia mengatakan, pekerjaan yang ia jalani tersebut sangat ia nikmati. Bekerja untuk keselamatan orang lain ditekuninya dengan tulus hati.
"Semua pekerjaan itu berat, tetapi demi istri dan anak, harus dijalani tanpa pamrih," kata Sulaiman.
• Versi Forbes, Hartono Bersaudara Tetap Nomor 1 Daftar 50 Orang Terkaya di Indonesia
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Penjaga Lintasan Kereta Tak Berpalang di Ancol, Lari-lari 500 Meter hingga Ribut dengan Pengendara "Ngeyel"