Pilpres 2024

Merasa Bersalah, Gibran dan Kaesang Cium Tangan Megawati, Pengamat: Pemahaman Dinasti Politik Keliru

Kaesang Pangarep dan Gibran mencium tangan Megawati, dianggap permintaan maaf karena berbuat salah.

Editor: Valentino Verry
Dok. Kompas TV
Momen Kaesang Pangarep mencium tangan Megawati saat pengundian nomor urut Pilpres 2024 di KPU, Selasa (14/11/2023), mendapat sorotan banyak pihak. 

Terlihat Kaesang mengenakan jaket merah khas PSI pun membungkukan badannya dan menyalami serta mencium tangan Megawati serta OSO.

Sementara Gibran melanjutkan dengan menyalami Ketua Umum Perindo Hary Tanoesudibjo, plt Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono.

Setelah itu, giliran Prabowo Subianto bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke tempat duduk Megawati.

Prabowo tampak memberikan hormat kepada Megawati kemudian menjabat tangan Megawati dan OSO.

Diketahui, hasil dari pengundian nomor urut tersebut pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendapat nomor urut 1, Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor urut 3.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyoroti soal politik dinasti yang belakangan ini menjadi perhatian publik.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pemilih muda harus cerdas saat Pemilu 2024, jangan mau dieksploitasi politisi dalam meraih suara.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pemilih muda harus cerdas saat Pemilu 2024, jangan mau dieksploitasi politisi dalam meraih suara. (kompas.com)

Menurut Bivitri, ada narasi balik politik dinasti diperbolehkan jika berasal dari keluarga patriotik dan miliki itikad baik, padahal itu keliru.

"Soal dinasti politik ada tanggapan balik, counter naratif bahwa tidak ada masalah asalkan keluarganya patriotik atau keluarganya bertingkat baik," kata Bivitri berdiskusi bertajuk menyelamatkan demokrasi dari cengkraman oligarki dan dinasti politik, Hotel Borobudur, Jakarta (14/11/2023).

Menurut Bivitri, dinasti politik dinasti adalah soal cara berpolitik. Bukan soal keluarganya.

Keluarga politik menurutnya, itu wajar sama halnya dengan keluarga pengusaha.

"Tapi politik dinasti dari para ahli ilmu politik bukan sekadar politik keluarga. Kenapa menggunakan istilah politik dinasti karena ada sebabnya," jelasnya.

Ia melanjutkan para ahli politik ingin mengacu kepada dinasti pada masa lalu.

Bukan hanya sekadar keluarga, tetapi sistem yang memungkinkan kekuasaan diberikan turun temurun seperti zaman dinasti.

"Tidak ada soal kapasitas politiknya, tidak ada soal pengalamannya, rekam jejaknya. Asal diberikan turun temurun itu cara berpolitik yang salah. Itu sebenarnya yang tengah dibicarakan tentang politik dinasti," terangnya.

Kemudian diungkapkannya kalau cara berpolitiknya dengan mengganti hukumnya melalui kerabatnya yang Ketua Mahkamah Konstitusi. Itu merupakan sebuah kekeliruan.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved