Berita Nasional
Hakim MK Jadi Penentu Sengketa Pemilu, Denny Indrayana: Kini Jadi Objek Jualan di Republik Konoha
Denny Indrayana Mengungkapkan Hal Mengejutkan Soal Hakim Konstitusi, Lantaran Jadi Penentu Sengketa Pemilu, Hakim Jadi Objek Jualan Dagang Sapi
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Denny Indrayana PhD kembali mengungkapkan hal mengejutkan.
Dalam status twitternya @dennyindrayana berjudul Mahkamah Konstitusi is NOT 'Sapi for Sale' pada Senin (28/8/2023), Denny Indrayana memaparkan adanya dugaan Hakim Konstitusi menjadi objek jualan 'dagang sapi' di antara politisi 'Republik Konoha'.
Para politisi itu katanya sedang bernegosiasi terkait penetapan batas minimal usia Hakim Mahkamah Konstitusi , yakni dari semula 55 tahun menjadi 60 tahun.
"Pagi ini saya Kembali mendapatkan informasi penting soal MK. Kali ini syarat umur menjadi Hakim Konstitusi yang menjadi objek jualan 'dagang sapi' di antara politisi di 'Republik Konoha'," tulis Denny Indrayana.
"Syarat umur sekarang menjadi primadona pintu masuk politicking. Bukan hanya syarat umur capres-cawapres, tapi syarat umur hakim konstitusi pun ikut menjadi tumbal 'dagang sapi'," bebernya.
Hal tersebut menurutnya menjadi bukti hukum telah direndahkan dan dijadikan alat untuk strategi pemenangan Pemilu, khususnya Pilpres 2024.
Tujuannya untuk menguasai komposisi hakim minimal lima orang, dari total sembilan hakim konstitusi; maka kekuatan politik bergerilya mengocok ulang susunan hakim MK.
Baca juga: Viral Gibran dan Kepala Daerah dari PDIP Pasang Stiker Ganjar di Rumah Warga, Ini Jawaban Bawaslu
Baca juga: Meski Dipasang-pasangkan dalam Pilpres 2024, Sandiaga Uno Tetap Istiqomah dengan Komitmen PPP

"Ingat, penentu akhir pemenang pemilihan presiden adalah Mahkamah Konstitusi, utamanya jika ada sengketa penghitungan suara. Karena itu, komposisi 5 (lima) hakim MK perlu dikuasai, untuk menjamin kemenangan," jelasnya.
Lebih lanjut dipaparkannyam, rencananya Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi kembali diubah awal September 2023 mendatang.
Bahwasanya perubahan keempat dari UU MK itu sangat politis dan sarat dengan 'dagang sapi' kepentingan, tercermin dari fokusnya yang hanya pada satu norma, yaitu terkait syarat umur menjadi hakim MK.
Dalam Perubahan Ketiga UU MK Nomor 7 Tahun 2020, syarat umur menjadi hakim MK telah dinaikkan menjadi, 'Berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun'.
Ketentuan itu akan diubah menjadi minimal 60 tahun.
Maka, bisa diduga 'sasaran tembaknya' adalah mendepak hakim MK yang belum berusia 60 tahun, karena figurnya dianggap tidak sejalan dengan strategi pemenangan Pilpres.
"Sedang terjadi 'lobi dan negosiasi dagang antara sapi', agar ada pasal transisi alias pasal peralihan, sehingga hakim MK yang belum berusia 60 tahun tetap bisa menjabat," ungkap Denny Indrayana.
"Tentu saja, hal demikian sangat menyedihkan dan harus dilawan! Mengurus Republik hanya dijadikan permainan. Aturan diubah-ubah demi memenuhi syahwat melanggengkan kekuasaan semata!" jelasnya.
Menurutnya, inilah sebenarnya intervensi nyata yang merusak kemerdekaan kekuasaan Mahkamah Konstitusi.
Syarat umur akhirnya menjadi daya tawar kekuatan politik status quo untuk mengontrol arah putusan di Mahkamah Konstitusi.
Ujungnya, syarat umur hakim disesuaikan dengan kepentingan politik, khususnya strategi pemenangan Pilpres.
"Kesimpulannya: syarat umur hakim konstitusi = gratifikasi jabatan = korupsi, yang merusak kehormatan, martabat dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman," ungkap Denny Indrayana.
"Kita harus melawan! Hukum tidak boleh direndahkan dan hanya dijadikan alat strategi melanggengkan kekuasaan, melanggengkan kroni, dinasti dan mafia oligarkinya yang koruptif dan destruktif, khususnya pada lingkungan," bebernya.
"Keep on fighting for the better Indonesia!" tegas Denny Indrayana.
Denny Indrayana Minta Ketua MK Anwar Usman Mundur, Tak Boleh Tangani Kasus Gibran Jokowi
Dalam postingan sebelumnya, Denny Indrayana meminta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mundur dari kasus berkaitan dengan Gibran Rakabuming Raka.
Anwar Usman berpotensi melanggar kode etik jika tetap ikut dalam persidangan yang membahas judicial review terkait umur calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Gibran Rakabuming Raka adalah putra Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang kini menjadi Wali Kota Solo.
"Ketua MK Anwar Usman SEHARUSNYA Mundur dari Kasus Yang Terkait dengan Gibran Jokowi," tulis Denny Indrayana dalam akun twitternya, Minggu (27/8/2023).
Wartakotalive.com telah meminta izin kepada Denny Indrayana untuk mengutip pernyataannya tersebut sebagai berita.
Menurut Denny, Ketua MK Anwar Usman seharusnya mundur dari perkara yang memeriksa konstitusionalitas syarat umur capres dan cawapres.
Denny Indrayana mengingatkan adanya kode etik yang berpotensi dilanggar oleh Anwar Usman.
Baca juga: Pengamat Menduga Gugatan PSI Soal Usia Capres Cawapres ke MK atas Perintah Jokowi untuk Gibran
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, yang tertuang dalam Peraturan MK Nomor 9 Tahun 2006, khususnya Prinsip Ketakberpihakan, pada penerapan butir 5 huruf b mengatur:
"Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini: ... b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan".
Maka, meskipun Gibran Jokowi bukan pemohon atau pihak dalam perkara pengujian syarat umur capres-cawapres tersebut, adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa perkara tersebut berkait langsung dengan kepentingan peluang Gibran Jokowi berpotensi maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.
Apalagi Presiden Jokowi, sang Kakak Ipar Anwar Usman, telah secara resmi memberikan keterangan Presiden dalam persidangan di MK, yang pada intinya, tidak menolak permohonan syarat umur diturunkan menjadi 35 tahun, dan memberi peluang Gibran Jokowi menjadi cawapres tersebut.
"Mahkamah Konstitusi mengadukan saya ke Kongres Advokat Indonesia karena diduga merusak kehormatan dan kewibawaan Mahkamah dalam soal twit perkara sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup," ujar Denny.
"Mari kita lihat, bagaimana sembilan hakim konstitusi bersikap atas potensi benturan kepentingan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam memeriksa perkara syarat umur capres dan cawapres."
Saya berpandangan, masih ikut sertanya Anwar Usman memeriksa perkara tersebut, bukan hanya melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi, lebih jauh sikap tidak etis Ketua MK yang demikian berpotensi lebih merusak kemerdekaan, kehormatan, dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi.
Orang Kuat di Belakang Gugatan ke MK
Sebelumnya diberitakan Wartakotalive.com, PDI Perjuangan menduga ada sosok berkuasa yang sedang bermanuver mengubah Undang-Undang (UU) Pemilu.
Orang tersebut punya kepentingan jangka pendek, yaitu agar bisa mendapatkan calon presiden yang sedang diincar.
Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menggelar sidang uji materi terhadap UU Pemilu, yang menyangkit soal batasan usai bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden.
Gugatan tersebut dilayangkan oleh beberapa pihak termasuk Partai Solidaritas Indonesia yang saat ini dekat dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
PSI mengajukan gugatan agar batasan usia bakal calon presiden dan wakil presiden diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Banyak yang menduga upaya itu dilakukan untuk memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka yang tak lain putera presiden Joko Widodo yang juga Wali Kota Solo.
Baca juga: Batas Usia Halangi Kaum Muda Maju di Pilpres 2024, Politisi PSI: Inti Demokrasi Adalah Partisipasi
Seperti diketahui Gibran masuk radar Partai Gerindra sebagai salah satu calon pendamping Prabowo di Pilpres 2024.
Sebagai catatan, Gibran genap berusia 35 tahun pada 1 Oktober mendatang.
Manuver tersebut sudah dibaca PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengingatkan agar semua pihak taat dengan UU Pemilu terutama menyangkut batasan usai dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.
"Berbagai manuver-manuver kekuasaan memang mencoba banyak dilakukan, tapi pedoman yang paling elementer terkait Pemilu adalah kita konsisten kepada peraturan perundang-undangan yang ada," kata Hasto di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta, akhir pekan lalu.
Hasto juga menegaskan, bahwa aturan yang sudah berlaku saat ini tidak diubah di tengah jalan menuju Pemilu 2024.
Sehingga, aturan soal batas usia Capres-Cawapres bisa dijalankan bersama-sama.
"Bagi PDI-P, peraturan yang ada saat ini berlaku saat ini, itulah yang kita jalankan bersama-sama," ujar Hasto.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Putuskan Sistem Pemilu Terbuka, PDIP Mengaku Tetap Mengedepankan Gotong Royong
Selain itu, Politisi asal Yogyakarta ini mengingatkan bahwa kewenangan membuat atau mengubah aturan terkait batas usia cawapres ada di tangan legislatif yakni DPR, bukan kewenangan MK.
"Dari hasil diskusi dengan para ahli hukum tata negara terkait batas usia itu adalah bagian dari open legal policy yang dimiliki oleh DPR RI," jelas Hasto.
Demi Kepentingan Politik
Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai, bahwa peryataan Hasto itu tak bisa dianggap sebagai sebuah klakar semata.
Adi menyebut kapasitas Hasto sebagai Sekjen partai yang memenangi Pemilu dua kali berturut-turut. Sehingga, tahu betul siapa yanh dimaksud soal kekuasaan yang berkepentingan dalam gugatan di MK tersebut.
"Siapa orang yang punya kepentingan soal ini, aktor kekuasaan, pola manuver dan seterusnya, pastinya Hasto sudah mengetahuinya. Cuma tak diungkap secara vulgar siapa orangnya itu. Yang jelas berada di dalam kekuasaan," kata Adi saat dihubungi Tribun Network, Senin (7/8).
Adi juga berpandangan bahwa gugatan batas usia Cawapres ini sangat jelas terlihat demi kepentingan politik.
Pasalnya, dia menyebut usulan ambang batas di MK itu hanya ditujukan kepada satu nama. Bahkan, hanya secara khusus hanya ditujukan soal angka 35 tahun.
Baca juga: Seperti Amerika Serikat, Fadli Zon Usul Batas Usia Pencalonan Presiden dan Wapres Minimal 30 Tahun
"Gugatan ke MK ini sangat jelas demi kepentinga politik jangka pendek untuk pilpres 2024 mendatang. Karena mengusulkan ambang batas minimal memention angka 35 tahun. Jelas ini mengarah pada satu nama," ungkap Adi.
"Karena kalau mau bicara ideal soal hak politik, mestinya batas minimum Cawapres bisa dimulai sejak umur 17 tahun bersamaan dengan hak pilih yang dimiliki seseorang," sambung dia.
Adi juga menilai, sindiran Hasto ini ditujukan kepada kekuasaan di balik uji materi batas usia Cawapres ke MK. Sehingga, dengan begitu publik akan bisa membaca maksud sosok yang dimaksud oleh Hasto tersebut.
"Hasto hanya nyindir halus soal manuver kekuasaan di balik uji materi ke MK. Ini semacam warning bahwa publik sudah mulai tahu siapa yang bermain di balik ini semua," kata Adi.
Demokrat: Itu Ditujukan ke Gibran
Sementara, Partai Demokrat menyebut gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di MK, sebagai bentuk politik cari muka sekaligus politik dinasti.
Hal itu dikarenakan timbul spekulasi gugatan tersebut untuk memberi jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju di pilpres 2024.
Baca juga: Presiden Jokowi Tegas: Jangan Calonkan Gibran sebagai Wapres, Cari Saja yang Lebih berpengalaman
"Terlepas dari polemik apakah kompetensi, rekam jejak dan jam terbang Gibran memadai atau tidak, terbaca dengan jelas ini adalah bentuk politik cari muka serta politik dinasti," kata Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani
"Ini persekongkolan jahat yang bersifat patologis bagi demokrasi," imbuhnya.
Adapun gugatan itu ingin mengubah batas usia minimal capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Dinamika tersebut bisa dipahami dan akan menjadi diskursus publik yang berkontribusi pada peningkatan derajat dan kualitas demokrasi, jika motif dan semangatnya, benar-benar untuk mencari dan menemukan batas usia ideal untuk menjadi pemimpin nasional sebagai capres dan cawapres.
"Namun publik mengetahui dan menangkap semangat dari dinamika ini tidak demikian, melainkan merujuk atau diperuntukkan pada Gibran bin Jokowi agar bisa dinominasikan sebagai cawapres pada Pilpres 2024 mendatang," ucap Kamhar.
Sebab itu, Demokrat meyakini hakim MK memiliki kenegarawanan untuk memutuskan gugatan itu.
"Kami percaya Hakim MK pun bisa mendeteksi persoalan yang sama, dan kami menaruh kepercayaan pada kualitas kenegarawanan
Hakim MK serta komitmennya terhadap demokrasi sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat dengan menolak ini," tandasnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga angkat bicara mengenai uji materi batas minimum usia calon presiden dan calon wakil presiden dari 40 ke 35 tahun.
Uji materi itu disebut-sebut untuk meloloskan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming yang merupakan Putra sulung Jokowi, pada kontestasi Pilpres 2024.
Presiden meminta untuk tidak berspekulasi mengenai adanya uji materi tersebut.
"Jangan menduga-duga. Jangan berandai-andai," kata Jokowi Jumat lalu. Menurut Presiden uji materi tersebut urusan Yudikatif bukan eksekutif. Oleh karena itu tidak ada intervensi terhadap uji materi tersebut.
"Saya nggak mengintervensi itu urusan yudikatif," katanya.
Sedangkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menjamin proses gugatan soal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak akan mengganggu tahapan pemilu.
Ketua Divisi Teknis dan Penyelenggara Pemilu Komisi KPU Idham Holik menegaskan tahapan pemilu berjalan seperti biasa dan semestinya sesuai Lampiran I Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2023
"Tahapan pemilu berjalan lancar, tak terganggu sama sekali dengan judicial review tersebut," kata Idham, Senin (7/8/2023).
Lebih lanjut, Idham mengatakan KPU tak berhak mengomentari terkait materi uji materiil di MK. "Karena hal tersebut salah satu hak yang dijamin oleh konstitusi," ujar Idham.
Namun begitu, lanjutnya, KPU menghormati hak uji materiil warga negara, sekelompok warga negara atau lembaga/organisasi di MK.
Sebagaimana hak itu dijamin oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003.
"Kita hormati pemohon dan kita wajib tunggu Putusan MK atas setiap uji materiil. Putusan MK bersifat final dan mengikat," tandasnya.
Seperti diketahui ada beberapa pihak yang menggugat atas persyaratan usia capres cawapres ini ke MK.
Dalam Perkara 55/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Wabup Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Sidoarjo Muhammad Albarraa.
Dalam Perkara 51/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat yakni Ketua Umum Partai Garuda (Ketum) Ahmad Ridha Sabana, dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Garuda Yohanna Murtika.
Kemudian dalam Perkara 29/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Ketiga perkara ini menggugat Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berbunyi:
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Prabowo Subianto Didesak Copot Kapolri Usai Kematian Affan Kurniawan |
![]() |
---|
Diorkestrasi Mahasiswa Indonesia, Restoran 'Kelapa Gading' Hadir di London |
![]() |
---|
Ahok Tunjuk DPR RI Sebagai Biang Keladi Kematian Affan Kurniawan |
![]() |
---|
Gelar Program Perempuan Berdaya di Lapas, Sandiaga Uno: Ciptakan Lapangan Kerja Pascabebas |
![]() |
---|
Garuda Indonesia Umrah Festival Proyeksikan Penjualan 49 Ribu Kursi Penerbangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.