Berita Nasional

337 Juta Data Penduduk Indonesia Bocor dan Dilego di Internet, CISSReC: Ancaman Serius Bagi Negara

337 Juta Data Penduduk Indonesia Bocor dan Dilego di Internet, CISSReC: Ancaman Serius Bagi Negara dan Masyarakat

Editor: Dwi Rizki
HO
Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Dunia keamanan siber di Indonesia acapkali geger akhir-akhir ini dengan sering terjadinya serangan siber serta pencurian data pribadi, baik dari lembaga pemerintahan maupun korporasi.

Seperti serangan ransomware yang menyerang Garuda Indonesia dan Bank Syariah Indonesia serta pencurian data pribadi yang dilakukan oleh hacker Bjorka pada data passport Dirjen Imigrasi, Data pelanggan Myindihome Telkom Indonesia serta berbagai data pribadi lainnya.

Maraknya pencurian data yang terjadi di Indonesia disoroti Pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha.

"Serangan siber yang paling akhir terjadi saat ini adalah pencurian data pribadi yang diklaim berasal dari Dukcapil (Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil) Kementerian Dalam Negeri," ungkap Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC itu.

"Informasi kebocoran data tersebut diunggah pada sebuah forum yang biasa dipergunakan untuk melakukan jual beli kebocoran data yang seorang hacker berhasil dapatkan pada tanggal 14 Juli 2023 oleh seseorang dengan nama samaran 'RRR'," jelasnya.

Baca juga: Ustaz Abdul Somad Buktikan Kekuasaan Allah, Al Quran & Buku Karangannya Selamat dari Kebakaran Hebat

Baca juga: Coret Ribuan Peserta PPDB Curang, Ridwan Kamil Kisahkan Eril dan Zara yang Gagal Masuk SMP Negeri

Data pribadi yang diklaim didapatkan oleh akun 'RRR' tersebut diungkapkannya berjumlah 337 juta data terkait penduduk Indonesia yang berhasil didapatkannya dari server dukcapil.kemendagri.go.id.

Menurut pernyataan RRR, dia juga berhasil mendapatkan total 7 table dimana yang ditawarkan untuk dijual saat ini adalah salah satu dari table tersebut.

"Dari tangkapan layar yang dibagikan, data yang ditawarkan tersbeut berasal dari table 'data_penduduks'," tambah Dr. Pratama Persadha.

Doktor yang mengambil S3 di UGM & UI ini menambahkan jika ada beberapa field yang sangat berbahaya bagi masyarakat terdampak kebocoran data ini karena terdapat field "NAMA_LGKP_IBU".

Di mana data nama lengkap ibu kandung ini biasanya dipergunakan sebagai lapisan keamanan tambahan di sektor perbankan.

Alasannya karena nama lengkap ibu kandung ini akan diminta pada saat melakukan pembukaan rekening bank serta kartu kredit ataupun melakukan aktivitas perbankan melalui customer service, baik melalui telepon atau offline di cabang bank.

Nama ibu kandung akan ditanyakan pada saat melakukan verifikasi data perbankan, selain data diri dari nasabah.

Hal tersebut dikarenakan nama ibu kandung adalah sebuah data yang tidak diketahui oleh orang banyak dan jarang diketahui oleh orang lain.

"Dapat dibayangkan betapa berbahayanya data nama ibu kandung tersebut jika sampai data ini jatuh ke tangan orang yang akan melakukan tindakan kriminal dan penipuan, terutama jika data tersebut digabungkan dengan kebocoran data lainnya," ungkap Dr Pratama.

"Sehingga bisa mendapatkan profil data yang cukup lengkap dari calon korban penipuan seperti Nama, NIK, No KK, Alamat, No HP, Alamat Email, No Rekening, Nama Ibu Kandung, dan lainnya," bebernya.

Lewat data pribadi tersebut, pelaku kejahatan dapat dengan leluasa melakukan penipuan dengan metode social engineering.

Kebocoran data ini tentu saja sangat berbahaya bagi masyarakat yang datanya termasuk dalam data yang didapatkan oleh hacker tersebut, karena data pribadi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk melakukan tindak kejahatan.

Seperti penipuan, baik penipuan secara langsung kepada orang yang datanya bocor tersebut, maupun penipuan lain dengan mengatasnamakan atau menggunakan data pribadi orang lain yg bocor tersebut.

"Yang lebih berbahaya lagi jika data pribadi tersebut dipergunakan untuk membuat identitas palsu yang kemudian dipergunakan untuk melakukan tindakan terorisme, sehingga pihak serta keluarga yang data pribadinya dipergunakan akan mendapat tuduhan sebagai teroris atau kelompok pendukungnya." Ucap pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah ini.

Mantan Direktur Pam Sinyal BSSN ini juga menambahkan jika kebocoran data yang terjadi juga dapat merugikan pemerintah, karena jika sumber kebocoran di klaim berasal dari salah satu lembaga pemerintahan, pihak lain akan menyimpulkan bahwa faktor keamanan siber sektor pemerintahan adalah cukup rendah.

Hal ini tentu saja akan mencoreng nama baik pemerintah, baik di mata masyarakat Indonesia maupun di mata dunia internasional, karena pemerintah tidak sanggup melakukan pengamanan siber untuk institusi nya, padahal banyak pihak yang memiliki kompetensi tinggi seperti BSSN, BIN serta Kominfo.

Lebih lanjut dipaparkannya, meskipun belum ada keterangan resmi dari Dirjen Disdukcapil, Ada beberapa field yang mengarah bahwa data yang bocor tersebut kemungkinan memang berasal dari antara lain ada beberapa field.

Di antaranya EKTP_CREATED_DATE, EKTP_CREATED_BY, EKTP_UPDATED_DATE, EKTP_UPDATED_BY, EKTP_UPLOAD_LOCATION, EKTP_BATCH serta EKTP_CURRENT_STATUS_CODE dimana data seharusnya terkait dengan penerbitan EKTP.

Hanya saja pada data sample yang diberikan oleh akun anonim "RRR" data tersebut masih kosong semua.

Selain data yang terkait dengan EKTP, ada beberapa field seperti IP_PET_REG, NAMA_PET_ENTRI, NIP_PET_ENTRI, TGL_ENTRI yang bisa dimanfaatkan untuk verififikasi apakah betul data bersumber dari disdukcapil.

"Dari hasil investigasi singkat CISSReC, beberapa nama yang tercantum dalam field "NAMA_PET_ENTRI" adalah karyawan dari Disdukcapil." imbuh dosen tetap STIN dan PTIK ini.

Hacker dengan nama anonim "RRR" tersebut tidak hanya memberikan informasi kebocoran data dari Disdukcapil saja.

di Forum tersebut akun "RRR" juga memberikan serta menawarkan beberapa data Indonesia lainnya seperti 1.3 Trilyun data registrasi simcard, 36 Juta data Kendaraan Bermotor, 272 Juta data BPJS, 2 Juta data photo dari BPJS, 34 Juta data Passport, 6,9 Juta data Visa.

Selanjutnya, 186 Juta data KPU, 1 Trilun data Kemendesa, 337 Juta data Disdukcapil serta yang paling baru adalah 6,8 Juta data DPT provinsi DKI.

Selain data dari negara Indonesia, akun "RRR" juga menawarkan beberapa data yang juga didapatkan dari negara lainnya seperti 15 Juta data korporasi Jepang, 108 Juta data Iran Telecom, 3 Juta data kendaraan & 2.8 Juta data penduduk Lebanon.

Kemudian, 28.6 Juta data pekerja Taiwan, 23.5 Juta data kependudukan Taiwan, 30 Juta data pribadi penduduk Thailand, 789 Juta data pemilih India, 10 Juta data dari operator telekomunikasi Jordania, 23 Juta data facebook Jepang serta 51 Juta data facebook Vietnam.

"Melihat seringnya terjadi kebocoran data pribadi, pemerintah harus lebih serius dalam menerapkan hukum dan regulasi terkait dengan Pelindungan Data Pribadi," jelasnya.

Dalam kasus kebocoran data, pihak-pihak yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan sebagai pengendali atau pemroses data, serta pelaku kejahatan siber yang menyebarkan data pribadi ke ruang publik.

"Untuk pihak-pihak yang berdomisili di Indonesia kita bisa menggunakan UU PDP pasal 57 sebagai dasar tuntutan," imbuhnya.

Pakar yang sedang mengambil studi di Lemhanas ini menambahkan UU PDP bukanlah tidak ampuh, namun belum bisa diterapkan secara maksimal karena adanya beberapa hambatan.

UU PDP memang sudah disahkan pada tahun 2022 dan langsung berlaku saat diundangkan, namun DPR dan pemerintah masih memberikan masa transisi selama 2 tahun, seperti diatur dalam UU PDP pasal 74, untuk semua pihak mulai menyesuaikan kebijakan internal sesuai dengan diatur dalam UU PDP.

Termasuk salah satunya adalah merekrut Petugas Pelindungan Data (Data Protection Officer).

Namun pelanggaran terkait UU PDP yang dilakukan selama masa transisi tersebut sudah dapat dikenakan sanksi hukuman pidana, hal ini sesuai dengan pasal 76 UU PDP yang menyebutkan bahwa undang-undang berlaku sejak tanggal diundangkan, meskipun untuk sanksi administratif masih harus menunggu turunan dari UU PDP.

Hal ini tentu saja berbeda dengan UU no 1 tahun 2023 tentang KUHP dimana dalam pasal 624 UU KUHP diatur bahwa UU KUHP mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan.

"Hanya saja sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden. Sehingga jika komisi PDP tersebut tidak segera dibentuk, maka pelanggaran yang dilakukan tidak akan dapat diberikan sanksi hukuman," jelas Dr Pratama.

"Oktober 2024 adalah batas maksimal diberlakukannya UU PDP secara penuh, namun seharusnya bisa lebih cepat jika pemerintah sudah membentuk lembaganya serta turunan UU-nya." tambahnya.

Oleh karena itu, dirinya meminta pemerintah segera membentuk komisi PDP sesuai amanat UU PDP pasal 58 hingga pasal 60 UU PDP di mana lembaga pengawas PDP ini berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Karena dengan melakukan pembentukan lembaga atau otoritas tersebut, proses penegakan hukum serta pemberian sanksi bisa segera diterapkan, sehingga diharapkan dengan diterapkan sanksi administratif serta sanksi hukum yang ada di UU PDP, pihak pihak yang terkait dengan data pribadi lebih perhatian terhadap keamanan data pribadi.

"Hal ini adalah supaya kasus-kasus insiden kebocoran data pribadi dapat diselesaikan dengan baik dan rakyat bisa terlindungi," jelasnya.

Baca Berita Warta Kota lainnya di Google News

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved