Pakai Hukum Nilai Jika Polisi Intervensi Bisnis Perusahaan, Disebut Menyalahgunakan Wewenang

Pihak kepolisian tak memiliki kewenangan untuk melarang pihak pembeli melakukan pembayaran yang sudah menandatangani kontrak bisnis.

Editor: Mohamad Yusuf
Tribunnnews.com
Ilustrasi Polisi. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -

Pakar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar menilai jika hak keperdataan seseorang tak hilang meskipun sedang diproses pidana.

"Hak keperdataan itu tidak hilang dalam proses pidana. Bahkan pencabutan hak, hanya dapat diputus oleh pengadilan sebagai pidana tambahan," kata Akbar dalam keterangannya Jumat (31/3/2023).

Menurutnya, dalam proses sidik oleh pihak kepolisian, pembatasan hak hanya bisa melalui upaya paksa seperti penyitaan.

Baca juga: Tawuran Marak selama Ramadan, Umar Minta Camat-Lurah Berperan Aktif: Jangan Cuma Andalkan Polisi

Baca juga: Dito Mahendra Mangkir Panggilan Polisi Soal Senjata Api Ilegal, Belum Ada Upaya Jemput Paksa

Namun, kata dia, jika suatu harta sah seperti pembayaran, maka tidak dapat dibatasi karena bukan masuk ke dalam harta yang dapat disita.

"Kecuali memang harta tersebut merupakan hasil dari kejahatan," lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa pihak kepolisian tak memiliki kewenangan untuk melarang pihak pembeli melakukan pembayaran yang sudah menandatangani kontrak bisnis, meskipun pihak pertama sedang menjalani situasi kasus pidana.

Terlebih, kerja sama kontrak tersebut dilakukan sebelum terjadinya penyelidikan kasus pidana.

Baca juga: Viral Barang Bukti Baju Bekas Impor Jadi Hadiah untuk Lebaran 2023, Polisi Janji Telusuri

Baca juga: VIDEO Kembali Polisi Ditemukan Tak Bernyawa, Sempat Sahur Sebelum Tewas

Sehingga menurutnya, upaya paksa yang dilakukan oleh pihak kepolisian tak memiliki dasar hukum.

"Kalau (penyalahgunaan kewenangan) itu harus penilaian lebih lanjut, intinya upaya paksa tersebut tidak ada dasar hukumnya," ujarnya.

Seperti diketahui Polres Luwu Timur diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam menerbitkan surat yang ditujukan kepada PT BDR agar menangguhkan pembayaran terhadap nikel yang telah dikirimkan oleh PT CLM semasa masih berada dalam kepemimpinan Helmut Hermawan.

Surat bernomor B/1197/XI/RES.1.8./2022 tertanggal 16 November 2022 itu diduga menjadi bagian dari kepentingan terselubung kepolisian dalam kisruh perebutan kepemimpinan perusahaan tambang PT CLM.

Kuasa Hukum Helmut Hermawan, Rusdianto Matulatuwa mengatakan, polisi sudah bertindak terlalu berlebihan dengan munculnya surat tersebut.

Menurut Rusdianto, soal bayar-membayar dalam perkara ini, bukanlah urusan kepolisian.

Polres Luwu Timur dinilainya telah menyalahgunakan kewenangan dengan turut campur dalam masalah perdata antara dua pihak yaitu Helmut Hermawan dan Zainal Abidin Siregar terkait dengan PT CLM.

"Apa yang dilakukan kepolisian, saya anggap itu sangat berlebihan. Perkara bayar-membayar itu soal keperdataan murni, sementara pihak kepolisian sebagai aparatur hukum tugasnya hanya menjaga keamanan dan pengayoman. Kemunculan surat ini sudah jauh di luar kewenangannya dan justru mempertegas terjadinya keberpihakan di antara dua pihak yang sedang bersengketa ini," kata Rusdi di Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Karena menurutnya, penandatanganan perjanjian pembelian nikel tersebut telah dilakukan jauh sebelum adanya proses pidana dan sebagai pembeli, PT BDR wajib melakukan pembayaran.

"Iya betul sebelum proses pidana, kan ini kelihatan polisi dengan suratnya itu kelihatan justru dia lebih bersemangat daripada pihak yang berpersoalan. Polisi punya kepentingan yang sangat kuat di dalam perkara ini. Apa itu? Saya katakan dalam bentuk negatif," ujarnya.

Sumber: Warta Kota
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved