Kasus Korupsi
Pakar Hukum Pidana Tanggapi Tuntutan Jaksa Rp 10 Triliun di Kasus Persetujuan Ekspor Minyak Sawit
tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, maka itu bs dikatakan ngawur
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA- Terdakwa kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), yang dikenal juga dengan kasus minyak goreng dituntut puluhan triliun oleh Jaksa Penuntut Umum.
Sejumlah pakar hukum mempertanyakan tuntutan yang beragam dari 7 hingga 12 tahun dengan uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah.
Pakar hukum pidana, Chairul Huda menyebut tuntutan tersebut hal yang aneh. Menurutnya, uang pengganti itu hanya diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi.
“Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp 10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu," ujarnya kepada wartawan, Selasa (27/12/2022).
Ia menyebut JPU melakukan tuntutan tidak berlandaskan hukum. Menurutnya, majelis hakim selayaknya menolak tuntutan tersebut, dan mempertimbangkan semua fakta di persidangan.
Pada persidangan lalu, terdakwa Stanley MA dituntut membayar uang pengganti Rp 868.720.484.367,26 (miliar) jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun.
Kemudian Pierre Togar Sitanggang dituntut membayar uang pengganti Rp 4.554.711.650.438 (triliun) jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan 6 bulan.
Sedang Master Parulian dituntut membayar uang pengganti Rp 10.980.601.063.037 (triliun) jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 6 tahun.
JPU juga meminta hakim menegaskan, jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan maka harta benda milik terdakwa dan korporasi akan disita.
Dihubungi terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menegaskan, tuntutan uang pengganti itu berbeda dengan ganti rugi.
“Uang pengganti itu didasarkan pada pethitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung dengan bukti dan perhitungan yang riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalusasi yang jelas,” ujarnya.
Sedangkan ganti rugi itu bisa bersifat subjektif, kata dia. Artinya selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi, atau "keuntungan yang diharapkan" atau bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.
Baca juga: Piala AFF 2022: Jelang Lawan Indonesia, Bek Thailand Terciduk Jajan Mie Instant di Bandara Soetta
“Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yakni pokok kerugian plus bunga, nah jika jumlah tuntutan Rp 10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan, tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, maka itu bs dikatakan ngawur,” kata Fickar di kesempatan berbeda.
Sementara, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof. Haula Rosdiana juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh. Haula menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 pun disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat.
kasus korupsi minyak sawit
korupsi izin ekspor CPO
harga ekspor CPO
Warta Kota
Parulian Tumanggor
Lin Che Wei
HMS Center Minta Satgas BLBI DPD RI Fokus Eksekusi Hak Tagih Obligor dan Debitor |
![]() |
---|
DPP Joker Pertanyakan Vonis Bebas Terdakwa Pungli Program PTSL Jokowi di Bekasi |
![]() |
---|
Pakar Sebut Jaksa Agung Semestinya Terapkan UU Cipta Kerja Dalam Kasus Duta Palma |
![]() |
---|
Bos Sawit Surya Darmadi Bacakan Pleidoi, Merasa Dikriminalisasi dengan Tudingan Megkoruptor |
![]() |
---|
Sidang Kasus Bos Sawit Surya Darmadi, Kuasa Hukum Bacakan Pleidoi |
![]() |
---|