Hari Kesehatan Nasional

Hari Kesehatan Nasional, Pelabelan BPA Galon Guna Ulang oleh BPOM Dipertanyakan, Apa Sih Urgensinya?

Pelabelan kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dipertanyakan sejumlah pihak.

Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: PanjiBaskhara
istimewa
Ilustrasi - Pelabelan kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dipertanyakan sejumlah pihak. 

Apalagi menurut mereka, produk-produk tersebut sudah memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).

Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, C.Ht, mengatakan jika sudah memiliki sertifikat SNI, semua kemasan pangan yang mengandung BPA itu termasuk galon AMDK sudah dijamin keamanannya.

"Saya khawatir pernyatan-pernyataan mengenai bahaya BPA ini hanya dijadikan alat persaingan dagang di antara pengusaha AMDK," katanya.

Hal senada disampaikan Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology – Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng..

Dia menegaskan perlu ada kajian rinci untuk menjawab atau membuktikan kekhawatiran migrasi bisphenol A (BPA) pada kemasan galon air minum berbahan PC.

Hal itu dimungkinkan oleh kesulitan klasifikasi dalam pengambilan sampel kemasan galon berdasarkan jumlah kali guna-ulangnya.

"Produsen yang terkait tidak akan sembarang mengeluarkan produk kemasan ini, terlebih harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat seperti yang ditetapkan BPOM," ujarnya.

Menurut Chalid, pada dasarnya kemasan galon berbahan PC secara disain material bahan bakunya relatif aman untuk air minum dengan jumlah kali guna-ulang tertentu, yang memperhatikan sifat-sifat fungsionalnya seperti migrasi BPA sebagai sisa bahan baku atau hasil degradasi dari polikarbonat pada kemasan tersebut.

"Tentunya, produsen telah melakukan antisipasi itu. Memang tidak mudah mengendalikan batas jumlah kali guna-ulang di masyarakat itu."

"Karenanya, sebelum diedarkan ke masyarakat, kemasan itu juga sudah diuji oleh pihak-pihak terkait, baik itu oleh Kemenperin maupun BPOM,” ungkapnya.

Pakar kimia UI lainnya yang juga dosen di Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia (UI) Dr. rer. nat. Agustino Zulys, MSc, juga mengatakan bahwa air galon PC itu aman untuk digunakan karena sudah memiliki sertifikat SNI.

“Pengujian kadar BPA pada air dalam kemasan isi ulang ini memang perlu dikonfirmasi dulu seberapa besar kadarnya, apakah sudah melampaui batas ambang atau tidak. Tapi, menurut saya, kalau sudah ber-SNI seharusnya produknya sudah aman,” tukasnya.

DR Ahmad Zainal, pakar polimer dari ITB juga menyayangkan adanya narasi yang salah dalam memahami kandungan BPA dalam galon guna ulang berbahan Polikarbonat (PC) yang dihembuskan pihak-pihak tertentu akhir-akhir ini.

Sebagai pakar polimer, dia melihat PC itu merupakan bahan plastik yang aman.

Dia mengatakan antara BPA dan PC itu dua hal yang berbeda. Banyak orang salah mengartikan antara bahan kemasan plastik Polikarbonat dan BPA sebagai prekursor pembuatnya.

Menurutnya, beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya yaitu Polikarbonatnya yang aman jika digunakan untuk kemasan pangan.

Menurutnya, BPA itu memang ada dalam proses untuk pembuatan plastik PC.

Dia mengibaratkannya seperti garam NaCl (Natrium Chlorida), dimana masyarakat bukan mau menggunakan Klor yang jadi bahan pembentuk garam itu, tapi yang digunakan adalah NaCl yang tidak berbahaya jika dikonsumsi.

”Jadi dalam memahami ini, masyarakat harus pandai mengerti agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan,” kata Zainal.

Dia juga berharap berita-berita yang terkait BPA galon guna ulang harus dijelaskan secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan.

“Jadi, harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri,” ujarnya.

IDI Dukung BPOM Regulasi Pelabelan Bisfenol A

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan label kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK).

Pelabelan itu diharapkan bisa meningkatkan upaya perlindungan kesehatan masyarakat.

"PB IDI mendukung upaya Badan POM RI dalam kajian regulasi pelabelan BPA pada Kemasan Plastik demi keamanan dan perlindungan Kesehatan masyarakat,” ujar Sekretaris Jendral (Sekjen) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Ulul Albab, SpOG, dalam keterangan resmi, Selasa (16/8/2022).

Dr. Ulul Albab, SpOG mengatakan, selama ini masyarakat hanya menyoroti jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi terhadap kesehatan saja.

“Namun mengabaikan pengaruh kemasan makanan atau minuman tersebut serta kandungan dalam kemasan tersebut terhadap kesehatan,” ucapnya.

Untuk itu, IDI memberikan sejumlah rekomendasi kepada terkait persoalan ini.

Pertama, pemerintah diminta untuk memberikan label terdapat BPA atau tidak pada semua kemasan makanan dan minuman.

Kedua, produsen diminta membahas kandungan dan aturan pelabelan BPA kepada BPOM.

Ketiga, masyarakat diminta untuk memilih kemasan plastik yang bebas BPA, termasuk pada AMDK.

Terakhir, hindari menggunakan, menyimpan, ataupun mencuci botol berkali-kali dalam suhu tinggi.

Perlu diketahui, BPA (Bisphenol A) adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membuat sejenis plastik polikarbonat, sering digunakan untuk FCM (Food Contact Materials) seperti kemasan air galon atau sebagai resin epoksi dalam lapisan pelindung kaleng untuk pangan atau minuman.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, sekitar 78 persen industri menggunakan plastik untuk makanan dan minuman kemasan. Sementara sekitar 16,5 persen sisanya digunakan untuk kemasan minuman berkarbonasi.

Menurut Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI Agustina Puspitasari, migrasi partikel BPA ke dalam makanan atau minuman memiliki dampak risiko kesehatan bagi konsumennya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BPA mempengaruhi fisiologi, kelenjar prostat, serta perkembangan otak pada janin, bayi dan anak-anak.

"BPA juga mempengaruhi kesehatan dan perilaku anak. Penelitian lain juga menunjukan kemungkinan hubungan antara BPA dengan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular," ujarnya.

Karena itu, banyak negara dunia yang telah membuat regulasi terkait BPA ini. Tahun 2008, Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat (US-FDA) menetapkan batas konsentrasi asupan BPA.

Sedangkan Kanada mengeluarkan larangan terbatas penggunaan BPA dan mengklasifikasikannya sebagai zat beracun.

Pada tahun 2011, Komisi Regulasi Uni Eropa mengeluarkan SML (Specific Migration Limit) dan melarang menggunakan BPA pada produk botol bayi dan anak-anak.

Adapun Perancis melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan kontak pangan.

Negara lain seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia melarang penggunaan BPA pada kemasan kontak pangan untuk konsumen usia rentan 0-3 tahun.

(Wartakotalive.com/FAF/Mochamad Dipa Anggara/SUF)

Sumber: Warta Kota
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved