Kesehatan

Ketum IAKMI Sebut Belanja Rokok Masuk Posisi Kedua di Rumah Tangga Indonesia Setelah Makanan Pokok

Ketua Umum IAKMI Dr. Ede Surya Darmawan mengatakan, belanja rokok menjadi belanja kedua rumah tangga di Indonesia.

Tangkapan layar Wartakotalive.com/ Mochammad Dipa
Ketua Umum Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Ede Surya Darmawan saat peluncuran buku "Medan Laga Pengendalian Rokok di Indonesia" yang ditayangkan secara virtual, Selasa (30/8/2022). 

WARTAKOTALIVE.COM - Ibarat pedang bermata dua, itulah istilah dari kondisi industri rokok di Indonesia. Disatu sisi, industri rokok merupakan salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar dari pendapatan cukai.

Sementara dari sisi kesehatan, rokok mempunyai peran besar pada penyakit tidak menular penyebab kematian terbanyak, seperti penyakit jantung, kanker, diabetes, tuberkolosis, dan paru-paru.

Ketua Umum Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Ede Surya Darmawan mengatakan, bahwa industri rokok menyumbangkan pendapatan negara berupa nilai cukai sebesar Rp 170 triliun. Sementara untuk total bisnis rokok yaitu yang membeli cukai sebenarnya adalah Rp 3.400 triliun.

Hanya saja, menurut Dr. Ede jumlah tersebut tidak sebanding dengan biaya masalah kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat rokok.  

“Jumlah ini memang besar tetapi kalau kita hitung berapa sih biaya kerugian akibat rokok yang diderita masyarakat? betapa biayanya begitu banyak,” ungkap Dr. Ede saat peluncuran buku "Medan Laga Pengendalian Rokok di Indonesia" secara virtual, Selasa (30/8/2022).

Dr. Ede kembali mengatakan, mengutip data BPS hingga saat ini, bahwa belanja rokok adalah belanja kedua setelah membeli makanan pokok di setiap rumah tangga Indonesia.

“Artinya apa? rakyat yang membelanjakan rokok sebanyak Rp 3.400 triliun itulah yang kemudian dipakai untuk membeli rokok sehingga kalau dilihat efeknya, sangat jelas, karena makanan pokok seharusnya protein malah ini dibelikan rokok,” ucapnya.

Parahnya lagi, menurut Dr. Ede, selain menyebabkan masalah kesehatan, peredaran rokok yang masif dan dibiarkan begitu saja hingga bisa dijangkau oleh anak-anak, hal ini sama saja membiarkan proses pembodohan massal terjadi.

“Tujuan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsanya pun juga terabaikan sehingga yang terjadi adalah proses pembodohan masal. apa buktinya? saya sering melihat seorang anak kecil membeli mainan jajan ke warung tapi sekaligus membeli rokok, yang nyuruh bapaknya. atau seorang ibu hamil dan sedang mengendong anaknya membeli sayuran sambil beli rokok juga untuk ayahnya. Jadi ada kesan kita melakukan pembiayaran,” sebutnya.

Sementara, Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI, dr. Sumarjati Arjoso menyebutkan, terdapat sejumlah fakta dan dampak rokok di Indonesia. Pertama, tembakau merupakan faktor risiko kesakitan, kematian dan disabilitas yang terjadi nomor satu pada laki-laki dan kedua perempuan.

Kemudian, fakta dan dampak rokok kedua yaitu konsumen rokok tertinggi di Indonesia merupakan penduduk termiskin.

“Data Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa perokok tertinggi adalah penduduk termiskin (27,3 persen) versus terkaya (19,5 persen),” ungkap dr. Sumarjati Arjoso.

Fakta selanjutnya adalah bahwa konsumsi rokok pada rumah tangga termiskin merupakan salah satu pengeluaran pengeluaran terbesar dalam biaya rumah tangga.

“Seperti yang dijelaskan Dr. Ede, bahwa belanja rokok adalah belanja kedua setelah membeli makanan pokok di setiap rumah tangga Indonesia,” ujar dr. Sumarjati Arjoso.

Kemudian fakta dan dampak lainnya dari rokok adalah berdasarkan riset  Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PJKS UI) 2018 bahwa 5,5 persen anak dengan orang tua yang merokok mengalami kejadian anak pendek atau stunting

Fakta dan dampak dari rokok yang terakhir adalah terjadinya ekonomi loss dimana biaya yang harus ditanggung negara untuk biaya kesehatan para perokok mencapai Rp 378, 75 triliun,   artinya terlalu besar dari pada pendapatan cukai yang diperoleh dari rokok yang mencapai Rp 103,02 triliun.

Selain itu, konsumsi rokok di Indonesia yang begitu tinggi juga menyebabkan, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terbebani.

Berdasarkan data BPJS tahun 2019, jumlah kasus penyakit terkait rokok atau tembakau, yaitu jantung, kanker dan stroke mencapai 17,5 juta kasus dengan menelan biaya kesehatan lebih dari Rp 16,3 triliun.  

“Konsumsi rokok juga berkorelasi negatif dengan kepatuhan membayar iuran JKN, serta rokok juga mengancam upaya Indonesia mencapai  Universal Health Coverage (UHC) di 2019, karena dana tersedot untuk penanganan penyakit, membatasi BPJS-K dan memperburuk deficit JKN,” pungkas  dr. Sumarjati Arjoso.

Sumber: Warta Kota
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved