Bullying

Pemaksa Bocah SD Setubuhi Kucing Hingga Depresi dan Meninggal, Harus Diproses Hukum Meski Anak-anak

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai anak-anak yang memaksa rekannya menyetubuhi kucing hingga depresi dan meninggal mesti dihukum

Tribun Jabar
Ilustrasi anak korban Bullying. Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai anak-anak yang memaksa rekannya, bocah SD menyetubuhi kucing hingga depresi dan meninggal, harus diproses hukum meskipun mereka masih anak-anak 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Seorang bocah siswa sekolah dasar (SD) dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman-temannya di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.  Teman-temannya juga merekam aksi tak pantas itu dari ponselnya. 

Akibat rekaman itu disebarkan ke teman-temannya, bocah SD ini menjadi depresi.

Ia tidak mau makan dan minum sampai kemudian meninggal dunia saat dirawat di rumah sakit pada Minggu (18/7/2022).

Menanggapi hal ini, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan selama dua tahun pandemi, tak ada peristiwa bullying.

Tapi barangkali kata dia, selama itu pula anak-anak menyaksikan berbagai ketidaksemenggahan perilaku manusia di media sosial.

"Imajinasi mereka terpupuk menjadi sedemikian liar. Dan begitu masa sekolah tatap muka kembali dibuka, imajinasi gila itu menemukan ruang penyalurannya," kata Reza dalam keterangan tertulisnya kepada Wartakotalive.com, Kamis (21/7/2022).

Baca juga: Ini Dampak Gaya Asuh Strict Parents Pada Anak, Jadi Suka Berbohong dan Bullying

"Kata 'bullying' sendiri terdengar lucu. Tidak mengesankan sebagai sesuatu yang parah, serius, dan mengerikan," ujar Reza.

Alhasil, kata Reza, kita seolah mengalami desensitisasi akibat malah akrab dengan bunyi yang lucu ketika kata itu diucapkan. Bullying toh juga bukan istilah hukum.

"Jadi, tampaknya kita perlu setop penggunaan kata yang malah mengundang salah kaprah atau bahkan penyepelean itu. Pakai saja, sebagai gantinya, istilah hukum. Misalnya kekerasan atau bahkan kejahatan, betapa pun kata itu tidak bisa dikenakan ke anak-anak," katanya.

Ke anak-anak, menuurt Reza, sebutan yang boleh dipakai adalah kenakalan atau delinkuensi.

"Tapi itu pun tidak sepenuhnya mewakili bobot keseriusan fenomena dimaksud. Jadi, mari kita seriuskan saja," ujar Reza.

Baca juga: Pemkot Tangsel Ingin Korban dan Pelaku Bullying Pelajar Tetap Mendapat Pendidikan

Pertama, katanya, potret anak-anak itu sebagai orang yang diduga melakukan setidaknya empat tindak pidana. Yaitu, kejahatan seksual, kekerasan fisik, penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia, dan penganiayaan terhadap satwa.

"Ingat, satwanya jangan dinihilkan. Pasal berlapis terhadap mereka," kata dia.

'Kedua, setara dengan perbuatan mereka, bawa para pelaku yang berusia anak-anak itu ke proses hukum. Jangan diversi. Harus litigasi. Orang tua mereka harus hadir pada setiap tahap proses litigasi tersebut," tegasnya.

Baca juga: Pernah Jadi Korban Bullying Saat Sekolah, Citra Scholastika: Jangan Dipendam Biar Tidak Terulang

Kelak, andai anak-anak itu divonis bersalah, Reza mengusulkan untuk menerapkan kombinasi antara restorative justice dan incapacitation.

Yakni pada siang hari direstorasi atau dididik dan diharuskan membayar ganti rugi kepada korban. Dan malam harinya dimasukkan ke bui.

"Itu ekspektasi saya. Saya, terus terang, tak yakin bahwa mengembalikan anak-anak itu ke rumahnya dan membina mereka selama enam bulan akan efektif. Tapi UU SPPA sendiri boleh jadi tidak menyediakan jalan-jalan yang melampaui hukum. So, revisilah UU SPPA," kata Reza.(bum)

Sumber: Warta Kota
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved