Film
Sri Asih yang Diperankan Pevita Pearce Diadaptasi dari Karya RA Kosasih, Bapak Komik Indonesia
Sri Asih adalah tokoh superhero ciptaan RA Kosasih, yang dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia. Kini coba diterjemahkan Pevita Pearce
Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Budi Sam Law Malau
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Teaser trailer film Sri Asih yang diperankan Pevita Pearce, dari Jagat Sinema Bumilangit dirilis, Rabu (6/7/2022).
Sri Asih adalah tokoh superhero ciptaan RA Kosasih, yang dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia. Kini coba diterjemahkan Pevita Pearce dalam perannya.
Komik Sri Asih yang terbit pada 1954, dapat dijadikan patokan bagi awal pertumbuhan komik Indonesia.
Siapakah RA Kosasih?
Dikutip dari Historia.id, RA Kosasih didaulat sebagai Bapak Komik Indonesia karena memelopori penerbitan komik dalam bentuk buku dan menjadi tonggak pertumbuhan komik Indonesia.
Pada 1953, penerbit Melodi Bandung melalui iklan kecil merekrut RA (Raden Ahmad) Kosasih, yang saat itu masih menjadi pegawai di Kebun Raya Bogor sebagai tukang gambar binatang dan tanaman.
Penerbit itu meminta Kosasih membuat komik superhero, karena komik tersebut sedang populer di Amerika.
Kosasih memenuhinya dengan membuat komik petualangan perempuan super, Sri Asih, yang terbit 1954.

Baca juga: Rilis Teaser, Pevita Pearce Bintangi Film Superhero Indonesia Sri Asih
Komik pertama dalam bentuk buku itu dicetak sebanyak 3000 eksemplar.
Menurut Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia, komik Sri Asih dapat dijadikan patokan bagi awal pertumbuhan komik Indonesia.
“Adapun komikusnya, Kosasih, dianggap –dan memang sepatutnya– sebagai bapak komik Indonesia. Komikus muda sangat menghormatinya,” tulis Bonneff.
RA Kosasih lahir di Desa Bondongan, Bogor, pada 1919, sebagai bungsu dari tujuh bersaudara.
Dia kepincut pada seni menggambar ketika sekolah di Hollandsch Inlands School (HIS) Pasundan, melihat ilustrasi buku-buku pelajaran bahasa Belanda yang bagus-bagus.
Sehingga buku catatannya cepat habis karena dia gambari.
Baca juga: Rayakan Ulang Tahun Ke-3, Pevita Pearce Jadi Brand Ambassador PUBG Mobile
Setamat HIS, dia memilih tak meneruskan sekolah, padahal dengan sekolah dia berpeluang menjadi pamong praja.
Pada 1939, Kosasih melamar pekerjaan sebagai juru gambar di Kebun Raya Bogor.
Para pendidik, tulis Bonneff, menentang komik yang berasal dari Barat, bahkan produk imitasinya, Sri Asih.
Mereka juga mengkritik komik, bukan dari segi bentuknya yang dianggap tidak mendidik, melainkan juga dari segi gagasannya yang berbahaya.
Beberapa penerbit seperti Melodi di Bandung dan Keng Po di Jakarta mengubah haluan, dan memproduksi komik yang menggali kebudayaan nasional.
Penerbit Melodi mengarahkan Kosasih untuk membuat komik wayang.
“Kosasih yang orang Sunda,” tulis Bonneff, “hanya mempunyai pengalaman sebagai penonton (wayang). Maka dia meneliti dokumen, meminta bantuan dalang, untuk mencipta komik epos besar yang berasal dari India, Mahabharata dan Ramayana.”
Masyarakat menyambut hangat kehadiran komik wayang. Sehingga, para pendidik yang masih menentang komik tidak punya alasan untuk mengkritik.
Sukses komik wayang demikian besar sehingga Kosasih, dari 1955 sampai 1960, tidak pernah berhenti membuat puluhan jilid komik untuk memuaskan pembacanya.
Kosasih memerlukan waktu dua tahun untuk menggambar 26 jilid Mahabharata.
Dia menyelesaikan satu jilid setebal 42 halaman setiap bulannya, kemudian lakon Bharatayudha, Pendawa Seda, Parikesit, dan Udayana, masing-masing 4 jilid.
Ketika popularitas komik wayang menurun, Kosasih beralih membuat komik legenda seperti Lutung Kasarung, Sangkuriang, dan dongeng untuk anak-anak. Pada 1967-1968, penerbit Melodi sementara berhenti menerbitkan komik.
Kosasih pun menerbitkan komik silat di penerbit Lokadjaja, Jakarta.
Penerbit Melodi kembali ingin menerbitkan komik wayang. Kosasih diminta bantuannya karena dia satu-satunya komikus yang paling mampu mentransformasikan mitologi itu ke komik.
“Penerbit dengan tidak ragu-ragu membayarnya Rp80.000 untuk dua jilid Bomantara (masing-masing 80 halaman), komiknya yang terbaru,” tulis Bonneff. “Komik Kosasih dianggap sebagai karya klasik yang dicetak ulang berkali-kali.”
Bapak Komik Indonesia menghadap Sang Khalik pada dinihari, 24 Juli 2012, di usia 93 tahun.
Sebelumnya, rumah produksi Screenplay Bumilangit merilis video teaser tentang film superhero Indonesia bertajuk 'Sri Asih' di media sosial yang dibintangi aktris Pevita Pearce.
Film Sri Asih yang dibintangi Pevita Pearce ini merupakan bagian dari Jagat Sinema Bumilangit yang disutradarai oleh Upi dari arahan Joko Anwar, sejak pada 2019 usai merilis film 'Gundala'.
Dalam video teaser berdurasi satu menit itu, terlihat Pevita Pearce menjadi pemeran utama bernama Nani Wijaya atau Sri Asih.
Ia melakukan adegan laga layaknya seorang superhero wanita.
Baca juga: Pevita Pearce Mainkan Peran Sebagai Nani Wijaya di Film Sri Asih, Kapan Diputar Bioskop Indonesia?
Joko Anwar mengatakan kalau Jagat Sinema Bumilangit juga menempatkan aktor-aktor ternama Indonesia, seperti Christine Hakim, Surya Saputra, hingga Jefri Nichol.
"Banyak kejutan dan keseruan yang segar di film Sri Asih," kata Joko Anwar dalam siaran resminya kepada awak media, Rabu (6/7/2022).
Upi sutradara sekaligus penulis skenario film Sri Asih mengatakan ia sangat antusias menerima tawaran tersebut dari Joko Anwar, karena ingin menaikan sebuah karya tentang superhero Indonesia.
Baca juga: Pevita Pearce Kehilangan Indera Penciuman dan Perasa, Jadi Ciri Positif Covid-19
Upi mengaku dirinya bersama tim melakukan proses produksi selama dua tahun. Secara matang ia mengemas skenario dan penceritaannya dengan baik.
"Saya tidak sabar merilis film ini ke publik," ucap Upi.
Dalam sejarah fiksi Indonesia, karakter Sri Asih adalah jagoan pertama yang tampil dalam cergam Indonesia.
Sri Asih muncul pertama kali sekitar setengah abad lalu tahun 1953, yang diciptakan oleh RA Kosasih Bapak Komik Indonesia.
Film Sri Asih tampil sebagai Patriot Ke-2 Jagat Sinema Bumilangit, setelah sukses lewat film Gundala tahun 2019 lalu.
Para pendidik, tulis Bonneff, menentang komik yang berasal dari Barat, bahkan produk imitasinya, Sri Asih. Mereka juga mengkritik komik, bukan dari segi bentuknya yang dianggap tidak mendidik, melainkan juga dari segi gagasannya yang berbahaya. Beberapa penerbit seperti Melodi di Bandung dan Keng Po di Jakarta mengubah haluan, dan memproduksi komik yang menggali kebudayaan nasional. Penerbit Melodi mengarahkan Kosasih untuk membuat komik wayang.
“Kosasih yang orang Sunda,” tulis Bonneff, “hanya mempunyai pengalaman sebagai penonton (wayang). Maka dia meneliti dokumen, meminta bantuan dalang, untuk mencipta komik epos besar yang berasal dari India, Mahabharata dan Ramayana.” Masyarakat menyambut hangat kehadiran komik wayang. Sehingga, para pendidik yang masih menentang komik tidak punya alasan untuk mengkritik.
Sukses komik wayang demikian besar sehingga Kosasih, dari 1955 sampai 1960, tidak pernah berhenti membuat puluhan jilid komik untuk memuaskan pembacanya. Kosasih memerlukan waktu dua tahun untuk menggambar 26 jilid Mahabharata. Dia menyelesaikan satu jilid setebal 42 halaman setiap bulannya, kemudian lakon Bharatayudha, Pendawa Seda, Parikesit, dan Udayana, masing-masing 4 jilid.
Ketika popularitas komik wayang menurun, Kosasih beralih membuat komik legenda seperti Lutung Kasarung, Sangkuriang, dan dongeng untuk anak-anak. Pada 1967-1968, penerbit Melodi sementara berhenti menerbitkan komik. Kosasih pun menerbitkan komik silat di penerbit Lokadjaja, Jakarta.
Penerbit Melodi kembali ingin menerbitkan komik wayang. Kosasih diminta bantuannya karena dia satu-satunya komikus yang paling mampu mentransformasikan mitologi itu ke komik. “Penerbit dengan tidak ragu-ragu membayarnya Rp80.000 untuk dua jilid Bomantara (masing-masing 80 halaman), komiknya yang terbaru,” tulis Bonneff. “Komik Kosasih dianggap sebagai karya klasik yang dicetak ulang berkali-kali.”
Bapak Komik Indonesia menghadap Sang Khalik pada dinihari, 24 Juli 2012, di usia 93 tahun.