Berita Video
VIDEO: Wakil Ketua LPSK Kupas Habis UU Kekerasan Seksual yang Baru Disahkan
Landasan dari disahkannya UU TPKS ini antara lain adalah karena perundang-undangan yang ada sebelumnya itu dianggap belum cukup efektif
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS sudah resmi disahkan.
Undang-undang ini awalnya hanya sebagai Rancangan Undang-undang atau RUU TPKS dalam rapat paripurna DPR ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2021 hingga 2022, kini sudah disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo bersama dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly, pada Senin, 9 Mei 2022.
UU TPKS tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022.
Wartawan Wartakotalive.com Leonardus Wical mewawancarai Wakil Ketua LPSK Anton Wibowo terkait UU ini.
Sebenarnya apa dasar dan landasan disahkan UU TPKS ini? Apa urgensinya?
Landasan dari disahkannya UU TPKS ini antara lain adalah karena perundang-undangan yang ada sebelumnya itu dianggap belum cukup efektif di dalam mendukung pemberantasan atau penanggulangan pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Sekaligus juga dipandang sebagai belum cukup optimal di dalam memberikan perlindungan kepada korban, yang fokusnya adalah pemulihan korban. Nah sebagaimana kita ketahui sebelum UU Nomor 12 Tahun 2022 ini ada, kita sudah punya beberapa UU lain yang juga mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual. Misalnya adalah KUHP, kemudian juga UU Perlindungan Anak, dsb. Tentu termasuk termasuk di sini adalah UU mengenai Perlindungan saksi dan korban. Itulah kira-kira landasan dari UU TPKS. Nah sedangkan mengenai urgensinya, menurut saya urgensinya adalah karena memang pada saat ini tindak pidana kekerasan seksual ini termasuk jenis kejahatan yang banyak sekali terjadi di tengah-tengah masyarakat, bahkan juga di lingkungan keluarga. Jumlahnya itu meningkat cukup tajam. Kalau saya merujuk pada pengalaman LPSK, maka saya mendapatkan data bahwa setiap minggu itu ada kurang lebih 10 sampai 15 perkara tindak pidana kekerasan seksual, yang dimintakan perlindungannya ke LPSK. Nah kalau kita bicara tentang UU, bisa jadi dalam satu perkara itu korbannya lebih dari satu. Kita mengambil contoh misalnya tindak pidana kejahatan seksual yang terjadi misalnya di Jawa Barat, yang pelakunya adalah Heri yang sudah diputus. Itu kita melihat korbannya lebih dari 10. Jadi kalau kita berbicara tentang berapa banyak sih tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat, tentu jumlahnya banyak sekali. Tadi hanya gambaran di LPSK saja, setiap minggu itu 10-15 perkara masuk atau dimohonkan perlindungannya ke LPSK. Satu perkara itu korbannya bisa lebih dari satu.
Berarti UU Nomor 12 Tahun 2022 ini bisa dikatakan untuk melengkapi UU yang sudah ada seperti KUHP dan UU Perlindungan Anak, begitu Pak Anton?
Iya. Bahkan tidak melengkapi ya. Kalau kita memahami betul UU ini, maka saya bisa menyimpulkan bahwa justru UU ini mereplacement menggantikan pasal tentang tindak pidana kekerasan seksual yang ada dalam UU lain. Jadi konkretnya begini. Seandainya misalnya hari ini atau besok gitu, terjadi tindak pidana kekerasan seksual, maka UU yang diimplementasikan mestinya adalah UU ini. Bukan UU bukan KUHP. Ini yang menyangkut kekerasan seksual lho ya, gitu. Jadi mereplacement atau menggantikan UU yang mengatur tentang kekerasan seksual.
Menurut Pak Anton seberapa besar efektivitas UU Nomor 12 Tahun 2022 ini dibandingkan dengan UU yang sudah ada?
Efektivitasnya saat ini belum kelihatan, mas Leon. Karena UU ini baru berlaku sekitar, belum ada 1 minggu. Kalau kita melihat UU Nomor 12 Tahun 2022, di sana dinyatakan bahwa UU ini berlaku sejak diundangkan. Nah pengundangan dari UU ini adalah 9 Mei 2022. Sekarang baru 14 Mei 2022. Jadi belum ada 1 minggu, tentu kita belum bisa mengukur efektivitasnya. Namun, kita patut optimis bahwa UU ini nanti akan efektif. Kira-kira begitu mas Leon.
Berarti untuk KUHP sendiri nanti apakah masih akan digunakan atau hanya mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2022 ini pak?
Kalau kita melihat pada UU Nomor 12 Tahun 2022, khususnya pasal 4 ayat kalau nggak salah di ayat 2 gitu ya. Maka di sana dinyatakan, bahwa tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana yang diatur di dalam UU ini, itu meliputi juga tindak pidana kekerasan seksual yang ada di luar UU ini. Termasuk misalnya adalah perkosaan, perbuatan cabul, gitu. Nah perkosaan dan perbuatan cabul di KUHP ada, di UU Perlindungan Anak juga ada. Jadi mestinya sekarang ini rujukannya adalah UU Nomor 12 Tahun 2022. Begitu mas Leon.
Untuk pengesahannya ini kan sudah cukup lama ya pak, kurang lebih sekitar 6 tahun. Nah dalam proses pengesahannya banyak sekali menuai pro kontra dari berbagai macam elemen masyarakat. Bagaimana cara menjembatani hal tersebut dan seperti apa wadah yang diberikan, khususnya kepada pihak yang kontra, terkait dengan UU TPKS yang sudah disahkan?
Salah satu cara menjembatani adalah tentu dengan melakukan sosialisasi UU ini kepada masyarakat luas. Kita berharap dengan adanya sosialisasi yang masif, itu akan diperoleh pemahaman yang tepat mengenai UU ini. Salah satu kontra atau alasan kontra terhadap UU ini adalah berpendapat menunggu pengesahan RUU KUHP. Alasan yang kontra itu menurut saya secara de jure harus dianggap sudah nggak ada lagi. Karena pembahasan UU Nomor 12 Tahun 2022 ini sudah dilakukan dengan melibatkan pihak yang kontra terhadap UU ini. Dan pembahasannya itu sudah melalui jalur di DPR, melalui tahapan-tahapan yang ditentukan di sana. Jadi saya berharap pihak yang kontra itu sekarang perlahan-lahan bisa menerima kehadiran UU baru ini. Dan untuk bisa menerimanya, saya berpendapat sosialisasi itu perlu terus dilakukan supaya didapat pemahaman yang tepat mengenai UU ini.
Terkait sosialisasi kepada masyarakat. Saya tadi sempat membaca dalam pemberitaan bahwa UU Nomor 12 Tahun 2022 yang sudah disahkan ini, pada poin jenis tindak pidana aborsi itu tidak dilampirkan. Nah itu alasannya kenapa Pak Anton? Karena hal tersebut yang membuat terjadinya pro kontra di beberapa elemen masyarakat.