Pilkada 2024
Dua Warga Minta MK Perpanjang Masa Jabatan Anies, Ariza Laksanakan Aturan dan Tunggu Pilkada 2024
Masa jabatan Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan berakhir pada 16 Oktober 2022.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Sigit Nugroho
WARTAKOTALIVE.COM, GAMBIR - Masa jabatan Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan berakhir pada 16 Oktober 2022.
Posisi mereka pun akan diisi sementara Penjabat (Pj) Gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Terkait hal itu ada dua warga yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memerpanjang masa jabatan Anies.
Permintaa warga itu ditanggapi Ariza.
"Kalau jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah seperti Bupati, Wali Kota dan Gubernur dengan wakil-wakilnya kan selesai sesuai dengan masa jabatannya,” kata Ariza di Balai Kota DKI pada Jumat (8/4/2022).
Ariza berujar bahwa sejauh ini konstitusi tetap mengamanahkan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari tingkat kabupaten, kota hingga provinsi tetap lima tahun.
Dia dan Anies merasa memiliki kewajiban untuk mematuhi ketentuan tersebut.
Baca juga: Fraksi PSI Sanggah Klaim Anies Baswedan Realiasasi PAD Berkat Dana Transfer Pempus
Baca juga: Anies Baswedan Meyakini Jakarta Tetap Terhebat meski tak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara
Baca juga: Kurma dan Kolak Menjadi Makanan Favorit Berbuka Puasa Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria
“Tanggal 15 Mei ini kan ada kepala daerah provinsi yang habis, nanti kami atau saya dengan Anies tanggal 16 Oktober habis. Ya sudah, kami laksanakan nanti menunggu Pilkada 2024,” ujar Ariza.
Dikutip kompas.com, warga Jakarta bernama A Komarudin dan Eny Rochayati meminta agar masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diperpanjang.
Hal tersebut disampaikan dalam gugatannya terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (UU Pilkada).
Hal serupa juga disampaikan sejumlah warga Papua dalam gugatan UU Pilkada tersebut.
BERITA VIDEO: Wanita di Bekasi Dirampok dan Dirudapaksa oleh Pria Pengangguran
Para Pemohon ini menguji norma Pasal 201 ayat (3), ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada. Pasal 201 ayat 9 UU Pilkada menyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Pasal 201 ayat 10 UU Pilkada menyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dikutip dari website mkri.id, para pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal di dalam UU Pilkada tersebut konstitusional bersyarat.
Pasal-pasal tersebut agar dimaknai sebagai berikut:
(a) Ada ketentuan mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis,
(b) Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan paling tinggi dari masyarakat,
(c) Merupakan orang asli Papua hal ini berlaku untuk Penjabat Kepala Daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat,
(d) Melalui proses penilaian dari berbagai yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, pemuka agama dan masyarakat
(e) Ada ketentuan yang jelas yang mengatur persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari pejabat kepala daerah yang ditunjuk,
(f) Dapat memperpanjang masa jabatan atau habis masa baktinya pada tahun 2022 atau 2023,
(g) Bukan berasal dari Kepolisian dan TNI serta
(h) Independen dan bukan representasi kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan, pihaknya belum melihat kerugian konstitusional yang dialami pemohon dalam gugatan tersebut.
“Kami juga tidak bisa mengatakan ada kerugian konstitusional kalau tidak ada hak konstitusional yang diberikan berkaitan dengan itu,” kata Aswanto.
Menurut dia, pemohon harus dapat menjelaskan soal hak mereka yang diatur di dalam konstitusi yang dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 201 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11).
"Jadi, pertama harus Saudara menegaskan bahwa hak konstitusional yang diberikan kepada para pemohon atau yang tercantum di dalam UUD 1945, yang merupakan hak pemohon berkaitan dengan soal pengisian penjabat itu atau soal kepala daerah itu. Ternyata dengan norma Pasal 201 ayat (9), ayat (10), ayat (11), para pemohon atau hak konstitusional yang diperoleh oleh pemohon atau yang sudah diberikan oleh pemohon, itu ternyata dilanggar," jelasnya.
Sementara itu, hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan, bahwa petitum yang disampaikan pemohon justru menjadi semacam positive legislator. Padahal, wewenang itu berada di tangan DPR.
Menurut dia, MK menghindari hal tersebut. Sehingga meminta pemohon untuk memperbaiki petitumnya.
“Ya, silakan diperbaiki petitumnya karena kalau anda petitumnya kayak begini, saya berpendapat, 'Wah, ini Petitumnya kabur'. Satu, kaburnya kenapa? Perumusannya enggak jelas," ungkap Arief.