Tak Kooperatif Penuhi Panggilan Penyidik, KPK Jemput Paksa Mantan Gubernur Riau Annas Maamun
Annas Maamun digiring menuju markas komisi anti-korupsi. Dia tidak memberikan keterangan apa-apa.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput paksa mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
Pantauan Tribunnews di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (30/3/2022), Annas Maamun tiba pukul 16.19 WIB.
Annas Maamun digiring menuju markas komisi anti-korupsi. Dia tidak memberikan keterangan apa-apa.
Baca juga: Bareskrim Jadikan Saifuddin Ibrahim Tersangka Dugaan Penistaan Agama Sejak 28 Maret 2022
Dihubungi terpisah, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan tim penyidik menjemput Annas Maamun dari kediamannya di Pekanbaru, Riau.
"Hari ini (30/3) tim penyidik KPK memanggil paksa AM (Annas Maamun, Gubernur Riau perode 2014-2019) dari tempat tinggalnya di Pekanbaru, Riau," kata Ali, Rabu (30/3/2022).
Ali mengatakan, perintah membawa tersebut dilakukan karena KPK menilai Annas Maamun tidak kooperatif untuk hadir memenuhi panggilan tim penyidik.
Baca juga: MK Tolak Permohonan Batas Usia Pensiun TNI dan Polri Disamakan, Dianggap Tak Beralasan Menurut Hukum
Namun, Ali tidak mengungkapkan maksud dibawanya Annas Maamun ke Gedung Merah Putih KPK.
"Pemanggilan terhadap yang bersangkutan sebelumnya telah dilakukan secara patut dan sah menurut hukum."
"Berikutnya AM dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan lanjutan. Perkembangan akan diinfokan," ucap Ali.
Dapat Grasi dari Jokowi, Annas Maamun Bebas dari Lapas Sukamiskin
Mantan Gubernur Riau Annas Maamun, terpidana korupsi kasus alih fungsi lahan di Provinsi Riau, menghirup udara bebas pada Senin (21/9/2020) kemarin.
Kabag Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyakatan (Ditjen PAS) Rika Aprianti menerangkan, Annas keluar dari Lapas Klas I Sukamiskin pukul 11.00 WIB.
"Annas Maamun Bin Maamun bebas 21 September 2020."
"Lama pidana 7 tahun," kata Rika kepada Tribunnews, Selasa (22/9/2020).
Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Annas Maamun.
"Grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 tahun menjadi pidana penjara selama 6 tahun," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto, Selasa (26/11/2019).
Perjalanan kasus Annas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbilang panjang.
Kasus ini pertama kali terungkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014.
KPK menangkap Annas Maamun bersama seorang pengusaha kelapa sawit Gulat Medali Emas Manurung di kawasan Cibubur, dengan barang bukti uang 156.000 dolar Singapura dan Rp 500 juta.
Annas dan Gulat ditetapkan sebagai tersangka setelah OTT tersebut.
Annas disangka menerima suap dari Gulat terkait perubahan alih fungsi hutan di Riau.
Annas didakwa dengan dakwaan kumulatif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung untuk tiga kepentingan berbeda.
Pertama, menerima suap 166.100 dolar AS dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut, terkait kepentingan memasukkan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 hektare di 3 kabupaten, dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Riau.
Kedua, menerima suap Rp 500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung, terkait pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di Riau.
Ketiga, menerima suap Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar (dalam bentuk mata uang dolar Singapura) dari Surya Damadi melalui Suheri Terta.
Suap itu untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Agro yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Riau.
Majelis hakim menyatakan Annas bersalah dalam dakwaan pertama dan kedua, sedangkan dakwaan ketiga tidak terbukti.
Ia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan penjara.
Pada 2018, Annas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi 7 tahun penjara.
Adapun kasus tersebut masih terus berjalan karena KPK telah menetapkan tiga tersangka baru.
Ketiganya yaitu PT Palma Satu sebagai tersangka korporasi, Legal Manager PT Duta Palma Group Tahun 2014 Suheri Terta, serta Pemilik PT Duta Palma dan PT Darmex Group Surya Damadi.
Sebelumnya, atas dasar kemanusian, Presiden Jokowi mengeluarkan grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun, narapidana kasus korupsi yang ditangani KPK.
"Memang dari sisi kemanusiaan, umurnya juga sudah uzur dan sakit-sakitan terus."
"Sehingga dari kacamata kemanusiaan itu diberikan," ungkap Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/11/2019).
Jokowi memberikan grasi pada Annas melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 23/G Tahun 2019 tertanggal 25 Oktober 2019.
Alhasil, hukuman Annas dikurangi satu tahun penjara. Annas dipastikan dapat menghirup udara bebas pada 3 Oktober 2020.
Jokowi menjelaskan, pemberian grasi kepada Annas sudah berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Menurut mantan Wali Kota Solo tersebut, grasi merupakan hak dirinya sebagai Presiden yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945.
"Grasi itu adalah hak yang diberikan kepada Presiden atas pertimbangan MA. Itu jelas sekali dalam UUD kita. Jelas sekali," tegasnya.
Jokowi menjelaskan, tidak semua permohonan grasi dari narapidana ia kabulkan.
Dia menyebut dari ratusan permohonan setiap tahunnya, hanya beberapa yang diterima.
Hal ini dilontarkan Jokowi merespons kritik atas pemberian grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
"Coba dicek berapa yang mengajukan? Berapa ratus yang mengajukan dalam satu tahun, yang dikabulkan berapa? Dicek betul," katanya.
Jokowi menuturkan, apabila setiap hari atau setiap bulan dirinya mengeluarkan grasi kepada koruptor, dia mempersilakan untuk dikomentari.
"Kalau setiap hari kita keluarkan grasi untuk koruptor, setiap hari atau setiap bulan itu baru, itu baru silakan dikomentari. Ini kan apa," paparnya. (Ilham Rian Pratama)