Eksklusif Warta Kota
Presiden PKS Bicara Sikap PKS yang Kemungkinan akan Dukung Anies Baswedan di Pilpres 2024
Akankah PKS kembali mengusung Anies Baswedan di Pemilu Presiden 2024? Seperti yang pernah dilakukan saat jadi Gubernur DKI Jakarta
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Dian Anditya Mutiara
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pada Pilkada 2017 lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusung Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bagaimana sikap PKS pada Pilpres tahun 2024 mendatang?
Seperti apa pandangan PKS setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara disahkan?
Berikut lanjutan wawancara eksklusif Presiden PKS, Ahmad Syaikhu bersama tim Warta Kota yang berlangsung di DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, belum lama ini:
Di DKI Jakarta, PKS begitu dekat dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Apakah ini simbol bahwa PKS bakal mengusung Anies pada Pilpres mendatang?
Semua masih sangat mungkin dan terbuka karena kami di DKI juga menjadi pihak yang mengusung Pak Anies saat Pilkada 2017 lalu.
Itu juga artinya kami punya tanggung jawab untuk sukses mengantarkan Pak Anies pada apa yang dijanjikan dalam RPJMD DKI Jakarta.
Kalau pun nanti sudah selesai masa tugasnya, saya kira hal yang perlu saya katakan adalah kami belum menentukan tokoh.
Sekali lagi, tokoh untuk capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) ini di PKS nanti akan diputuskan dalam Musyawarah Majelis Syuro.
Sampai hari ini (wawancara berlangsung--red) belum ditentukan siapa yang akan dicapreskan atau dicawapreskan.
Oleh karena itu, masih sangat terbuka. Menurut pandangan Majelis Syuro yang paling berpeluang menangnya tinggi, saya kira itu mudah-mudahan akan dipilih.
Jadi, semua masih sangat terbuka termasuk dengan Pak Anies Baswedan.
Ketika Prabowo Subianto (ketua umum) menggandeng wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno sebagai cawapres Pemilu 2019, ada komitmen kursi wagub akan diisi PKS. Nyatanya yang menjadi wagub justru Ahmad Riza Patria dari Gerindra. Apakah peristiwa itu membawa trauma bagi PKS?
Namanya berpolitik memang ada hal-hal yang seperti itu, sangat mungkin terjadi ya. Tentu itu bisa jadi catatan, tetapi saya kira bukan satu-satunya.
Ada faktor yang kami utamakan adalah bagaimana kemungkinan kami bisa berkoalisi mengantarkan kandidat.
Nah PKS sebagai partai yang hanya memiliki 8,21 persen, yah sangat mungkin karena kalau kami tidak koalisi enggak bisa mengantarkan pada kursi presiden dan wapres.
Terpenting kami bangun dulu koalisi dan mudah-mudahan masih banyak waktu yang bisa kami jajaki kebersamaan ini dengan seluruh partai, sehingga nanti ada titik-titik di mana kami lebih cocok dengan partai mana, kami akan berkoalisi dan menentukan capres dan cawapres.
PKS selalu kritis dengan pemerintah sehingga berdampak pada elektabilitas partai. Kenapa PKS selalu memilih berseberangan dengan pemerintahan?
Ya sebetulnya bahwasanya beda, kami ada yang melandasinya. Bukan hanya sekadar beda.
Misalnya pemerintah A lalu kami ingin B tapi ada memang rasionalitas yang kami munculkan, berbagai kasus-kasus yang kami tampilkan misalnya pada saat pembahasan RUU.
Kami punya analisis sendiri terkait dengan RUU itu sehingga dari hasil kajian kami yah memang RUU ini layak ditolak.
Contoh misalnya RUU Cipta Kerja, yang menurut pandangan kami banyak merugikan pekerja, merugikan dari sisi ekologi, dan hal seperti ini juga pembahasannya terlalu cepat dilakukan, sehingga ada hal-hal yang secara substantif maupun secara materil tidak layak sebetulnya.
Ini (terkesan) dipaksakan sehingga menjadi keputusan yang akhirnya toh ada pembenaran.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menjadikan RUU ini, yang sudah menjadi UU Cipta Kerja akhirnya yah inkonstitusional bersyarat.
Nah hal-hal seperti itu yang kemudian kami ada rasionalitas dan alasan yang memang kami ungkapkan, termasuk juga pembahasan RUU IKN.
RUU IKN kami melakukan penolakan bukan karena kami enggak ikut tapi karena kami melihat sebuah suasana yang memang belum layak untuk kita pindah dalam kesempatan sekarang.
Pertama kondisi ekonomi kita sedang terdampak luar biasa karena pandemi Covid-19.
Kedua, hal-hal yang kami ingin prioritaskan adalah masalah-masalah ekonomi dulu, toh DKI Jakarta ini masih layak digunakan sebagai pusat Ibu Kota.
Nah menurut kami itu yang kemudian menjadi alasan kenapa kemudian kami menolak bukan asal kemudian menolak tanpa alasan, tetapi ingin ini menjadi pertimbangan karena kami juga menerima banyak aspirasi masyarakat yang mereka dalam kondisi seperti ini tidak ingin pindah.
Meski PKS menolak, RUU IKN sudah disahkan menjadi UU (Ibu Kota dari Jakarta pindah ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur). Apakah nanti PKS ikut pindah ke Ibu Kota baru?
Ya kalau ini sudah menjadi sebuah keputusan dan kemudian proses ini berjalan atau tidak ya semua warga negara harus menyetujui itu, realitasnya seperti itu.
Tetapi sebagai tanggung jawab kami kepada masyarakat bahwa kami sudah mengungkapkan bahwa dengan perpindahan ini juga banyak hal-hal yang harus diperhitungkan.
Kalau itu harus dipaksakan kami juga secara konstitusional, bahwa penolakan itu bukan berarti kami akhirnya selamanya kemudian enggak menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku.
Konsekuensi pengesahan RUU IKN menjadikan status Jakarta tidak akan lagi menjadi Ibu Kota. Dalam pandangan PKS, bentuk pemerintahan di Jakarta apakah tetap dipertahankan seperti sekarang atau memiliki daerah otonom tingkat dua?
Tentu ini perlu kajian secara khusus, bagaimana pun juga wilayah DKI ini tentu akan tetap berbeda dengan apa yang ada di daerah-daerah lain.
Tentu saja perlakuan khususnya ini sebagai nilai tambah. Kalau kekhususan seperti otonomi di Papua, Aceh pun Yogyakarta itu kan dalam rangka kita ingin mendukung bagaimana penambahan-penambahan dana otonomi.
Tetapi untuk DKI saya kira justru ini menjadi salah satu kekhususan, bisa jadi misalnya tadi dalam hal menjadi pusat perdagangan.
Ini saya kira harus menjadi perhatian kita bersama sehingga kekhususan ini menjadi nilai keunggulan DKI yang kemudian akan tetap bisa dipertahankan.
Untuk menjadi faktor pendongkrak ekonomi, secara nasional misalnya. (faf/eko)