MUI Tolak Pandangan Jihad Semata-mata Perang dan Khilafah Satu-satunya Sistem Pemerintahan

Asrorun mengatakan, pada dasarnya sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis sesuai kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan.

mui.or.id
Forum Ijtimak Ulama MUI meminta pemerintah dan masyarakat tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Forum Ijtimak Ulama MUI meminta pemerintah dan masyarakat tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah.

Keputusan tersebut direkomendasikan dalam forum Ijtimak Ulama yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, sejak Selasa (9/11/2021) hingga Kamis (11/11/2021).

"Masyarakat dan pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah," ujar kata Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (11/11/2021).

Baca juga: Jokowi: Saya Sedih, Posisi Kita Makin Dihormati oleh Negara Lain, tapi di Negara Sendiri Dikerdilkan

Asrorun mengatakan, pada dasarnya sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis sesuai kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan, yang ditujukan untuk kepentingan kepentingan menjaga keluhuran agama (hirasati al-din) mengatur urusan dunia (siyasati al-duniya).

Dalam sejarah peradaban Islam, Asrorun mengungkapkan terdapat berbagai model atau sistem kenegaraan dan pemerintahan, serta mekanisme suksesi kepemimpinan yang semuanya sah secara syar’i;

"Khilafah bukan satu-satunya model/sistem kepemimpinan yang diakui dan dipraktikkan dalam Islam."

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 11 November 2021: 435 Orang Positif, 470 Pasien Sembuh, 16 Meninggal

"Dalam dunia Islam terdapat beberapa model/sistem pemerintahan seperti monarki, keemiran, kesultanan, dan republik."

"Bangsa Indonesia sepakat membentuk negara kesatuan yang berbentuk republik, sebagai ikhtiar maksimal untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945," papar Asrorun.

Sementara, jihad merupakan salah satu inti ajaran dalam Islam, guna meninggikan kalimat Allah (li i’laai kalimatillah) sebagaimana telah difatwakan oleh MUI.

Baca juga: Surya Paloh: Kalau Saja Konstitusi Tidak Membatasi Masa Jabatan Presiden Hanya Dua Kali

Dalam situasi damai, kata Asrorun, implementasi makna jihad dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dengan upaya yang bersungguh-sungguh dan berkelanjutan, untuk menjaga dan meninggikan agama Allah dengan melakukan berbagai aktivitas kebaikan.

Sedangkan dalam situasi perang, jihad bermakna kewajiban muslim untuk mengangkat senjata guna mempertahankan kedaulatan negara;

MUI menggunakan manhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan) dalam memahami makna jihad dan khilafah.

Baca juga: Legislator PDIP: Relawan Capres Aset Elektoral yang Harus Dikelola dengan Baik

"Oleh karena itu, MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa Jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam," tutur Asrorun.

Sebaliknya, MUI juga menolak pandangan yang memaknai jihad dengan semata-mata perang, dan khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan.

Bahas Hukum Nikah Online Hingga Pinjol

MUI menggelar Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII pada hari ini, Selasa (9/11/2021) hingga Kamis (11/11/2021) di Hotel Sultan, Jakarta.

Kegiatan ini akan membahas berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keagamaan.

Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh, yang juga Ketua Panitia Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia menjelaskan, agenda ijtimak kali ini akan membahas pelbagai persoalan strategis kebangsaan.

Juga, masalah fikih kontemporer, serta masalah hukum dan perundangan-undangan.

"Forum ini akan dibahas masalah strategis kebangsaan di antaranya tentang dhawabith dan kriteria penodaan agama."

"Jihad dan khilafah dalam bingkai NKRI, panduan pemilu yang lebih masalahat, distribusi lahan untuk pemerataan dan kemaslahatan, dan masalah perpajakan," terang Asrorun melalui keterangan tertulis, Selasa (8/11/2021)

Ijtimak yang bertema “Optimalisasi Fatwa untuk Kemaslahatan Bangsa” ini juga akan membahas hukum pernikahan online.

Masalah lain yang dibahas adalah masalah fikih kontemporer seperti nikah online, kriptokurensi, pinjaman online, transplantasi rahim, zakat perusahaan, penyaluran dana zakat dalam bentuk qardh hasan, dan zakat saham.

Untuk masalah hukum dan perundang-undangan, Ijtimak akan membahas tinjauan atas RUU Minuman Beralkohol, tinjauan atas RKUHP terkait perzinaan, dan tinjauan atas peraturan tata kelola sertifikasi halal.

Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ini dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo, diikuti 700 ulama fatwa se-Indonesia.

Acara dilaksanakan secara hybrid, kombinasi peserta luring di hotel Sultan Jakarta sejumlah 250 orang dan secara daring.

Jadi Masukan untuk Pemerintah

Wakil Presiden Maruf Amin mengatakan, Ijtimak Ulama Komisi Fatwa MUI merupakan forum yang strategis.

Maruf mengatakan, forum ini strategi karena melibatkan pimpinan Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para utusan asosiasi muslim di beberapa negara.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ma'ruf dalam Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (9/11/2021).

"Nilai strategis Ijtimak Ulama ini juga terlihat dari berbagai materi yang dibahas."

"Yakni berbagai permasalahan penting dan strategis yang membutuhkan keterlibatan komisi fatwa se-Indonesia dan lembaga fatwa dari ormas-ormas Islam untuk memutuskannya," ucapnya.

Keterlibatan lembaga fatwa se-Indonesia dalam forum ini, menurut Maruf, akan berdampak luas.

Maruf mengatakan, keterlibatan berbagai lembaga fatwa tersebut akan menambah bobot dan legitimasi dari putusan yang ditetapkan.

"Saya melihat, pokok-pokok pembahasan Ijtimak’ Ulama ini masih tetap sama seperti saat saya menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI."

"Yakni permasalahan strategis kebangsaan, permasalahan keagamaan kontemporer, dan permasalahan terkait peraturan perundang-undangan," tutur Maruf.

Rincian dari permasalahan yang dibahas pada Ijtimak’ Ulama tahun ini, kata Maruf, merupakan berbagai masalah yang memiliki urgensi dengan situasi yang dihadapi oleh umat dan bangsa saat ini.

"Keputusan Ijtimak Ulama ini akan menjadi masukan penting bagi pemerintah, legislatif, maupun yudikatif."

"Dan menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan yang diharapkan lebih membawa kemaslahatan bagi masyarakat, dan menjadi pedoman bagi Umat Islam," beber Maruf.

Maruf menilai, fatwa MUI memiliki daya terima yang tinggi di tengah masyarakat.

Bahkan, menurut Maruf, fatwa MUI turut membantu pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19.

"Termasuk dalam konteks menghadapi pandemi Covid-19, keputusan Komisi Fatwa MUI telah memberikan solusi bagi pemerintah dan Umat Islam."

"Sehingga Umat Islam tidak mengalami kebingungan maupun kesulitan," papar Maruf.

Dirinya menilai fatwa MUI menggambarkan fleksibilitas hukum Islam.

Sehingga, kata Maruf, fatwa MUI menjadi panduan bagi Umat Islam di masa pandemi Covid-19.

"Oleh karenanya, Fatwa MUI bisa menjadi panduan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan keagamaannya dengan baik di saat pandemi," terang Ma'ruf.

Menurut Maruf, Komisi Fatwa MUI telah menghadirkan pandangan keagamaan yang berorientasi pada pencarian solusi terbaik terhadap permasalahan yang dihadapi Umat Islam.

"Misalnya rumusan hukum yang umumnya ditetapkan dalam kondisi dan situasi normal pada saat pandemi, dilakukan telaah ulang, serta disesuaikan dengan kondisi saat ini."

"Yang dalam fikih dianggap sebagai kondisi dan situasi darurat, atau setidaknya kondisi dan situasi keterdesakan," beber Maruf. (Fahdi Fahlevi)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved