Pinjol Ilegal

Polres Jakarta Pusat Tetapkan Supervisor dan Debt Collector Jadi Tersangka pada Kasus Pinjol Ilegal

Polres Metro Jakarta Pusat bergerak cepat dalam menangani kasus pinjol online. Dalam hal ini menetapkan supervisor dan debt collector jadi tersangka.

Penulis: Miftahul Munir | Editor: Valentino Verry
Warta Kota/Miftahul Munir
Jajaran Polres Metro Jakarta Pusat saat menggerebek perusahaan pinjol ilegal. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Satuan Reserse Kriminal Khusus Polres Metro Jakarta Pusat akhirnya menerapkan enam orang sebagai tersangka atas kasus dugaan platform pinjaman online ilegal.

Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat Kompol Wisnu Wardana membenarkan telah menetapkan tersangka.

"Benar ada enam orang jadi tersangka (kasus pinjol)," ujarnya, Senin (18/10/2021).

Menurut Winsu, keenam tersangka itu adalah satu orang supervisor perusahaan pinjol ilegal dan lima orang lainnya merupakan debt collector.

Baca juga: Kapolres Karawang AKBP Aldi Subartono Tegaskan Jajarannya Siap Jaga Keamanan & Ketertiban Masyarakat

Para penagih hutang ini ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan pengancaman kepada para nasabah.

Dalam kasus ini, ada 56 orang yang diamankan ke Polres Metro Jakarta Pusat pada saat digrebek.

"Lainnya masih kami kembangkan lagi," jelasnya.

Sebagai informasi, 56 karyawan pinjaman oleh diciduk Polres Metro Jakarta Pusat di Ruko Sedayu Square Blok H 36, Cengkareng Jakarta Barat, Rabu (14/10/2021).

Ruko tersebut merupakan sindikat pinjaman online (pinjol) yang meresahkan masyarakat karena merasa diancam keselamatannya.

Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Hengki Haryadi membenarkan penggerebekan ruko yang dijadikan kantor sindikat pinjol.

Baca juga: PPP Siapkan Suharso Monoarfa Jadi Cawapres, Pengamat: Berat, Capresnya yang Enggak Mau

"Kami menerima laporan dari masyarakat adanya sindikat pinjol yang mengancam keselamatan warga, akhirnya kami selidiki," ujar dia, Kamis (14/10/2021).

Sementara itu, Ketua Umum Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, menegaskan untuk lebih militan dalam memberantas layanan pinjaman online (pinjol) ilegal.

Menurut Wimboh, hal ini dilakukan sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas yang berlangsung beberapa hari yang lalu.

"Dalam Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jumat (15/10/2021), OJK kembali menegaskan komitmen untuk memberantas pinjol ilegal," ucap Wimboh dikutip Tribunnews dalam akun Instagram pribadinya, Senin (18/10/2021).

"OJK sudah melakukan moratorium atau penghentian penerbitan izin untuk fintech lending sejak Februari 2020," sambungnya.

Untuk pinjaman online yang sudah terdaftar di OJK, lanjut Wimboh, akan terus ditingkatkan tata kelolanya agar dapat memberikan layanan lebih baik, bunga lebih murah, dan penagihan sesuai aturan.

Baca juga: Yani Wahyu Purwoko tak Berpuas Diri, Terus Genjot Program Vaksinasi Covid-19 hingga 100 Persen

Seluruh penyelenggara pinjaman online pun harus bergabung dalam Asosiasi atau AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia).

"Saya juga senantiasa mengingatkan kepada masyarakat, jika ingin menggunakan pinjaman online pilihlah yang terdaftar secara resmi di OJK. Bisa dicek melalui situs OJK," papar Wimboh.

OJK bersama dengan stakeholder terkait seperti Kepolisian Republik Indonesia, Kemenkominfo, Bank Indonesia, dan Kemenkop UKM, telah membuat kesepakatan bersama untuk memberantas pinjol ilegal.

"Kami akan lebih masif untuk melakukan penanganan pemberantasan, meningkatkan efektivitas, dan pelayanan yang lebih baik bagi pinjaman online yang sudah terdaftar di OJK," ucapnya.

Seperti diketahui, OJK mendapatkan respons positif dari Google atas permintaan kerja sama, mengenai syarat aplikasi pinjaman pribadi di Indonesia.

Sebab, jika tak ada penambahan syarat saat menjadi aplikasi via Google bisa kerap disalahgunakan oleh pinjol ilegal.

Terhitung sejak tanggal 28 Juli 2021, Google menambahkan persyaratan tambahan kelayakan aplikasi pinjaman pribadi, antara lain berupa dokumen lisensi atau terdaftar di OJK.

Baca juga: Muhammad Said Tegaskan Terdapat 153 Titik Banjir yang Tersebar di 20 Kecamatan di Kabupaten Bekasi

“Upaya-upaya preventif dan kuratif dalam penanganan pinjaman online ilegal tidak boleh berhenti sampai disini," ujar Wimboh.

Menurutnya, OJK selama ini melakukan berbagai kebijakan memberantas pinjaman online ilegal melalui Satgas Waspada Investasi (SWI).

Termasuk, menjalankan berbagai program edukasi kepada masyarakat untuk menggunakan fintech lending yang terdaftar atau berizin di OJK dan cegah memanfaatkan pinjol online ilegal.

Wimboh menjelaskan, OJK juga mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh anggota SWI lainnya, diantaranya melakukan cyber patrol serta melakukan pemblokiran rutin situs dan aplikasi pinjol ilegal.

Lalu, menertibkan koperasi simpan pinjam yang menawarkan pinjaman online, melakukan pelarangan payment gateway, dan melakukan proses hukum terhadap pinjol ilegal.

"Seluruh anggota SWI harus membangun suatu sistem yang terintegasi dan terstruktur untuk melawan masifnya penawaran pinjaman online ilegal.""Pinjaman online ilegal harus kita basmi bersama karena pelaku pinjaman online ilegal membebani dan merugikan masyarakat," pungkasnya.

Pengajuan Kredit ke Pinjol Naik 98,13 Persen

Baca juga: Alin Senang Bisa Miliki Rumah Layak Huni di Tirtamulya Karawang setelah Bertahun-tahun Menderita

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit perbankan pada Juni 2021 meningkat sebesar Rp 67,39 triliun dan telah tumbuh sebesar 0,59 persen year on year (yoy).

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, ini meneruskan tren perbaikan selama empat bulan terakhir seiring berjalannya stimulus pemerintah, OJK, dan otoritas terkait lainnya.

"Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) kembali mencatatkan pertumbuhan double digit sebesar 11,28 persen yoy."

"Dari sisi suku bunga, transmisi kebijakan penurunan suku bunga telah diteruskan pada penurunan suku bunga kredit ke level yang cukup kompetitif," ujarnya melalui siaran pers, Kamis (29/7/2021).

Selanjutnya, fintech P2P lending atau pinjaman online (pinjol) pada periode sama mencatatkan pertumbuhan baki debet pembiayaan cukup signifikan yakni 98,13 persen menjadi Rp 23,38 triliun dibanding Juni 2020 sebesar Rp 11,8 triliun.

Sementara itu, lanjut Anto, piutang perusahaan pembiayaan masih terkontraksi dan mencatatkan pertumbuhan negatif 11,1 persen yoy di Juni 2021.

Adapun OJK secara berkelanjutan melakukan asesmen terhadap sektor jasa keuangan dan perekonomian untuk menjaga momentum percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah meningkatnya kasus Covid-19 domestik.

Baca juga: Ronny Talapessy Minta Gubernur Anies Tidak Hanya Berteori dalam Menangani Ancaman Banjir di Jakarta

"OJK terus memperkuat sinergi dengan para stakeholder dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan," pungkas Anto.

Ribuan Pinjol ilegal telah diblokir

Banyaknya keluhan di masyarakat terkait usaha pinjaman online ilegal yang melakukan praktik penagihan dengan mengintimidasi nasabah, membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan.

Melalui Satgas Waspada Investasi (SWI), OJK menyasar ribuan aplikasi pinjaman online (pinjol).

Menurut Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L Tobing, jajarannya hingga saat ini telah memblokir 3.193 pinjol ilegal yang sebagian memanfaatkan data pribadi nasabah untuk keperluan penagihan dengan mengintimidasi.

"Kita sudah memblokir 3.193 pinjaman online ilegal. Jumlah ini sangat besar," kata Tongam saat konferensi pers di Yogyakarta, Kamis.

Menurut Tongam, tidak sedikit masyarakat yang terjebak pinjaman online ilegal karena rata-rata tidak meminta persyaratan yang ketat untuk menggaet nasabah.

Meski demikian, konsekuensi dari pinjaman online ilegal amat berbahaya.

"Bunga yang dijanjikan hanya setengah persen, tetapi realisasinya bisa 2 sampai 4 persen per hari. Yang paling berbahaya adalah dia selalu minta izin kita untuk bisa mengakses semua data dan kontak di handpone," katanya.

Setelah mendapatkan data pribadi, pemberi pinjaman sewaktu-waktu akan menggunakannya untuk intimidasi atau meneror nasabah yang tidak segera melunasi pinjaman dengan menyebarkan foto atau data pribadi yang bersangkutan kepada publik.

"Kita harus mendorong para pelaku ke kepolisian," ujar Tongam.

Meski demikian, tidak semua pinjaman online merugikan.

Sebab, tujuan dari pinjaman online adalah untuk menjembatani kebutuhan dana masyrakat yang tak bisa terlayani sektor jasa keungan formal di bank.

Sampai saat ini, ada 55 juta nasabah yang bergabung dengan pinjaman online yang legal atau resmi dengan total outstanding mencapai Rp18 triliun.

"Kalau ada masyarakat mengatakan pinjol menyengsarakan faktanya tidak. Sebenarnya menyengsarakan kalau dia itu masuk pinjol ilegal," kata dia.

Guru Honorer Terlilit Utang Pinjol Rp206 Juta

Sebelumnya diberitakan, AM, guru honorer di Kabupaten Semarang terlilit utang pinjaman online (pinjol).

AM terlilit utang pinjol mencapai Rp206 juta.

Padahal, AM awalnya hanya meminjam uang Rp3,7 juta, untuk biaya keperluan membeli susu sang anak.

Saat itu, ternyata pinjaman yang dibayarkan tidak sesuai dengan penawaran awal.

Ia harus melunasi utangnya selam tujuh hari, dan saat itu ia pun tak punya uang.

Sehingga, akhirnya guru honorer berinisial AM itu meminjam uang di pinjaman online yang lain.

Begitu terus hingga akhirnya utang korban menumpuk hingga Rp 206 juta.

Karena tidak tahan menanggung utang yang begitu besar dia bersama suaminya WY menggandeng kantor hukum Nahdlatul Ulama Salatiga untuk menggandeng ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jateng.

AM menuturkan, awal mula terlilit utang di pinjol karena terdesak kebutuhan untuk membeli susu anak.

Saat itu dirinya sama sekali tidak memiliki uang.

"Pada tanggal (21/3/2021) kondisi ekonomi memang benar-benar diujung tanduk, sementara saya mempunyai dua orang anak di mana anak pertama berusia 5 tahun dan anak kedua 16 bulan,"

"Sementara kebutuhan harus tetap lanjut," jelasnya usai mengadukan perkara tersebut di Ditreskrimsus Polda Jateng, Kamis (3/6/2021).

Karena sama sekali tidak memiliki uang simpanan, dia mengajukan kredit melalui Pinjol yang diunduhnya melalui playstore.

Pinjol tersebut menawarkan plafon maksimal sebesar Rp 5 juta dengan tenor selama 91 hari atau 3 bulan dengan bunga 0,04 persen.

"Karena saya hanya guru honorer, kalau kredit sebesar Rp 5 juta selama tiga bulan masih bisa membayar," tuturnya.

Saat menginstal aplikasi pinjol itu, ternyata dirinya melihat banyak sub aplikasi lain yang tak lain adalah pinjol.

Saat itu dia hanya membutuhkan Rp 5 juta dan memilih tiga sub aplikasi pada pinjol tersebut.

"Bayangan saya dapatnya Rp 5 juta kalau plus bunga Rp 5,5 juta.

Tapi ternyata yang di transfer ke rekening saya Rp 3,7 juta," ujarnya.

Namun pada kenyataanya pinjaman yang seharusnya dibayarkan hingga 91 hari tidak sesuai penawaran awal.

Saat uang baru di rekening, ternyata dirinya harus menutup utangnya selama tujuh hari.

"Belum sampai tujuh hari atau masih berjalan lima hari saya sudah diteror untuk melunasi sebesar Rp 5,5 juta dan mendapatkan ancaman seluruh data di ponselnya akan disebarkan," tuturnya.

Kala itu uang pencarian yang ada di rekening belum sempat digunakan, dan langsung dikembalikan.

Karena takut dan masih kurang dia meminjam kembali di pinjol yang ada di sub aplikasi itu untuk melunasi utang sebelumnya.

"Tiga aplikasi pinjol lunas tapi masih enam sub aplikasi yang belum lunas karena untuk melunasi saya harus merangkul aplikasi pinjol lain hingga banyak aplikasi.

Sementara untuk melunasi satu utang harus merangkul dua aplikasi pinjol lain," tuturnya.

Hal itu terus berjalan, hingga akhirnya tidak bisa merinci berapa banyak aplikasi yang telah diaksesnya.

Hingga pada akhirnya utangnya menumpuk hingga Rp 206 juta.

"Yang sudah saya lunasi Rp 158 juta dan sisanya tinggal Rp 47 juta.

Saya tidak bayarkan sisanya dan memilih jalur hukum karena bunga dari mereka bisa untuk menutup pinjaman saya," tuturnya.

Ia menuturkan, untuk melunasi utang Rp 158 juta juga melalui transaksi itu.

Dia juga mengeluarkan uang pribadi sebanyak Rp 20 juta.

"Saat pencairan tidak dibubuhkan surat perjanjian, dan tanda tangan elektronik. Juga tidak ada penyelesaian dengan baik. Tidak ada peringatan langsung teror," tutur dia.

Sementara itu sang suami, WY bingung membayar tagihan pinjol tersebut.

Dirinya harus mengambil jalan pintas meminjam di BPR.

"Jaminan saya menggadaikan sertifikat rumah orangtuanya. Tapi hingga saat ini belum lunas masih ada 10 aplikasi lagi yang belum lunas," tutur dia.

Penasehat hukum kreditur, Muhammad Sofyan menuturkan dalam sehari kliennya tersebut diteror dan diintimidasi hingga ratusan kali.

Tidak hanya itu, teman-teman yang ada di kontak kliennya juga mendapat teror dengan bahasa yang kurang pantas.

"Terornya itu ada foto AM dan KTP lalu dibubuhi tulisan wanted, dan disebarkan di seluruh kontak AM dan media sosialnya," tuturnya.

Dikatakanya, saat mengajukan pinjaman tidak ada perjanjian baik secara langsung, di bawah tangan maupun elektronik.

Kliennya tidak pernah menandatangani surat perjanjian apapun.

"Sehingga jika disebut pinjam meminjam tidak memenuhi syarat," ujarnya.

Ia menuturkan, ada hal yang tidak memenuhi syarat akan mengajukan gugatan perdata.

Namun demikian saat ini pihaknya memilih jalur pidana dengan melaporkan ke Ditreskrimsus Polda Jateng.

"Kami melaporkan baik dari pelanggaran UU perbankan, penghinaan, dan pencemaran nama baik," tuturnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved