Gubernur Anies Pecat Mantan Lurah Pekojan Karena Terbukti Terlibat Korupsi
Tri terlibat korupsi saat mengemban amanah sebagai Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Budi Sam Law Malau
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memecat anak buahnya bernama Tri Prasetyo Utomo karena terlibat kasus korupsi.
Tri terlibat korupsi saat mengemban amanah sebagai Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta, Maria Qibtiya, mengatakan Pemprov DKI Jakarta telah memberhentikan PNS atas nama Tri Prasetyo Utomo yang merupakan Staf Sekretariat Kota Administrasi Jakarta Barat karena terbukti korupsi.
Pemberhentian tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 989 tahun 2021 yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 16 Agustus 2021.
“Terbitnya Kepgub telah berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pidsus TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 11 November 2020 yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan, serta membayar denda sebesar Rp 50 juta subsidiar 3 bulan kurungan,” ujar Maria dalam keterangannya, Sabtu (18/9/2021).
Maria mengatakan, keputusan ini diambil karena mengacu dari beberapa regulasi.
Di antaranya UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, serta Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sementara itu Kepala Biro Hukum Setda DKI Jakarta, Yayan Yuhanah, menjelaskan terkait gugatan yang dilakukan oleh Tri Prasetyo Utomo agar pemerintah daerah mencabut SK pemberhentiannya sebagai PNS, telah digugurkan.
Hal ini karena dinilai tidak sesuai prosedur.
“Keberatan pemberhentian seharusnya diajukan banding administratif kepada Badan Pertimbangan ASN melalui Badan Pertimbangan Pegawai bukan ke PTUN. Gugatan digugurkan dalam proses dismissal sebelum masuk persidangan,” kata Yayan.
Untuk diketahui, proses dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan.
Dalam proses tersebut, Ketua Pengadilan melalui rapat permusyawaratan memutuskan dengan dilengkapi pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima.
Seperti diketahui, PNS Pemprov DKI Jakarta terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
PNS tersebut adalah mantan Lurah Pekojan dan tengah menjabat Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Sukabumi Selatan di Kecamatan Kebon Jeruk ketika melakukan kasus korupsi.
Nama PNS itu adalah Tri Prasetyo Utomo (51) yang pernah menjabat mantan Lurah Pekojan.
Hakim memvonisnya 1 tahun 4 bulan penjara surat keputusan Nomor: 36/Pidsus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst yang dibacakan di sidang terbuka untuk umum pada 18 November 2020 lalu.
Tri terjerat kasus korupsi dengan total nilai korupsi sebesar Rp370 juta.
Angka korupsinya memang tidak besar, tetapi modus operandi korupsi mulai dari korbannya dan siapa orang-orang yang ia pakai untuk terseret dari perbuatan korupnya, cukup menarik untuk disimak.
Salah satu yang menarik adalah soal cara Tri mencuci uang tersebut agar seolah-olah sah.
Tri ternyata membuat seolah-olah uang korupsi Rp 370 juta itu disalurkan ke Yayasan anak Yatim bernama Yayasan Nurul Arasy.
Caranya adalah dengan meminta kepada KS (korban) untuk membuat kwitansi senilai Rp370 juta yang ditujukan kepada Yayasan Nurul Arasy.
Dalam pembelaannya di pengadilan, Tri menyertakan berbagai bukti kwitansi yang menunjukkan bahwa ada kegiatan pemberian santunan ke Yayasan Nurul Arasy.
Bahkan, selain kwitansi tersebut, Tri juga menyerahkan foto-foto yang disebut merupakan acara santunan tersebut.
Namun, Pimpinan Yayasan Nurul Arasy, Sinar Suryani Ratih, dalam keterangannya di persidangan, yang juga dituangkan dalam surat putusan, mengucapkan sebaliknya.
Ratih mengatakan bahwa yayasannya bersifat non panti, sehingga santunan yang dilakukan hanya dengan mengundang anak yatim atau memberikan langsung di jalan-jalan.
Selain itu, Tri juga mengingat bahwa tidak pernah diberikan uang sebesar Rp370 juta oleh Tri.
Seingat Ratih, Tri hanya pernah memberikan uang dengan nilai antara Rp 1 juta sampai dengan Rp 2 juta kepada yayasan.
Berikutnya, terkait santunan pada tahun 2019, Ratih menyebut memang saksi pernah memberikan santunan pada tahun 2019.
Namun, Ratih menyebut bahwa nilainya tidak sama dengan yang disebutkan Tri dalam laporan kegiatan santunan.
Sedangkan menyangkut kwitansi yang dibuat Tri, Ratih menyebut bahwa beberapa bukti kwitansi yang dibawa di persidangan baru dibuat pada sekitar Juni 2020 atas permintaan Tri.
Ratih juga mengaku diberi uang Rp 500.000 dan Rp 200.000 untuk membuatkan beberapa kwitansi tersebut. (faf)