PPKM Darurat
Kisah Jasa Permak di Sentra Jahit Manggarai Coba Bertahan dengan Modal Harapan dan Mesin Jahit Jadul
“Selama penerapan PPKM, kantor pada tutup. Pekerja kantorannya nggak ada. Imbasnya ada di kita,” keluh Nursalim.
WARTAKOTALIVE.COM, TEBET –-- Tek..tek..tek..tek. Bunyi mesin jahit jadul milik Nursalim terdengar jelas di Sentra Jahit Manggarai.
Saking kerasnya, bunyi mesin jahit itu bisa terdengar dari jarak lima meter.
“Kalau sudah seperti ini harus dikasih minyak,” kata Nursalim, seorang penjahit baju di kawasan Manggarai, saat ditemui di Sentra Jahit Manggarai pada Rabu (11/8/2021), sore.
Usai menuangkan sedikit minyak ke bagian atas mesin jahit, Nursalim kembali menginjak pedal yang terletak di bagian bawah meja.
Mesin jahit warna hitam milik Nursalim ini merupakan jenis mesin jahit engkol.
Nursalim buka pemain baru dalam urusan jahit-menjahit.
Pria asal Kebumen, Jawa Tengah ini sudah menjalani profesi sebagai tukang permak selama 15 tahun.
Sehari-hari, Nursalim bisa ditemui di sentra jahit yang beralamat di Jalan Manggarai VI.
Patokannya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Satya Bhakti 1 Jakarta.
Sore itu, Nursalim sedang menggarap sebuah celana pendek warna orange-hitam yang mengalami sobek di bagian hips.
Menurut hitungan stopwatch, Nursalim hanya butuh waktu 8 menit 54 detik untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Upah yang ia terima dari hasil kerja itu sejumlah Rp 20.000.
Tiap harinya, Nursalim membuka praktik pada pukul 09.00 WIB.
Namun, hingga pukul 16.00 WIB, ia baru menerima order dari empat orang.
“Pelanggan menurun sejak awal pandemi Covid-19. Turun sekitar 50 persen, jauh,” ujar Nursalim.
Nursalim merupakan satu diantara warga Indonesia yang merasakan dampak pandemi Covid-19.
Guna menekan laju kasus positif Covid-19, Pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan masyarakat.
Aturan tersebut secara langsung berpengaruh kepada penghasilan Nursalim sebagai jasa tukang jahit.
“Selama penerapan PPKM, kantor pada tutup. Pekerja kantorannya nggak ada. Imbasnya ada di kita,” keluh Nursalim.
Pernyataan Nursalim bukan isapan jempol bekala.
Pasalnya, dari puluhan tukang permak yang menetap di sentra jahit tersebut, hanya tersisa lima orang yang masih bertahan. Termasuk Nursalim.
“Tukang jahitnya pada pulang kampung,” ucapnya.
Nursalim menduga, penghasilan yang menurun dan biaya kebutuhan hidup yang tinggi menjadi alasan bagi sejumlah tukang jahit untuk balik ke kampung halaman.
“Kondisi sekarang ini, dapat Rp 100.000 saja susah. Belum untuk makan, biaya sewa rumah dan lapak.” ungkap pria 38 tahun tersebut.
Pukul 16.17 WIB, wanita paruh baya mendatangi lapak milik Nursalim. Wanita itu membawa tiga buah jaket ojek online warna hijau.
“Ini tolong diubah jadi rompi, ya,” ucap wanita tersebut kepada Nursalim. Sebagai balas jasa, Nursalim diberi uang sejumlah Rp 45.000.
Beberapa saat kemudian, Nursalim mulai menggunting tiga jaket tersebut di bagian lengan. Rencananya, rompi-rompi ini akan diambil besok pagi.
Di sela-sela proses kerja, Nursalim mengenang suasana Sentra Jahit Manggarai ketika sebelum Pandemi Covid-19.
“Dulu ramai di sini, ramai tukang jahit dan ramai pengunjung juga,” kenang Nursalim.
Tukang jahit yang terlihat pada sore hari ini hanya berjumlah lima orang. Masing-masing dari mereka sibuk mengerjakan orderan.
Menurut Nursalim, lima orang tukang jahit tersebut berasal dari dari daerah yang sama dengan dirinya. “Semua tukang jahit di sini dari Kebumen, mereka masih saudara sama saya,” kata Nursalim.
Lebih lanjut, ujar Nursalim, ia sudah tidak pulang ke kampung halaman selama lebih dari lima bulan.
Biasanya, tiap dua bulan sekali, Nursalim akan menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman.
“Anak sama istri saya di kampung. Lebih dari lima bulan saya gak pulang. Gak ada uang,” jelas Nursalim.
Di Ibu Kota, Nursalim tinggal seorang diri. Ia tinggal di rumah sewa yang lokasinya dekat dengan lapak jahit miliknya.
Selain tuntutan perut dan kiriman uang ke kampung halaman, ayah dari tiga orang anak ini harus membayar biaya sewa ganda yang mencakup bayar rumah dan sewa lapak.
Nursalim enggan untuk menyebut nominal yang harus ia keluarkan.
“Alhamdulillah semua ketutup sih walaup mepet,” ujarnya.
Tidak Naikkan Harga
Walau mengalami penurunan pendapatan, Nursalim mengaku tidak menaikkan harga dari jasa jahit yang ia tawarkan.
Ia terkadang menurunkan harga dan pernah menerima imbalan seikhlasnya.
“Malah kita turunin harganya, orang semua lagi pada susah.
Apalagi kalau sesama pedagang, gak enak kasih harga tinggi-tinggi,” ujar Nursalim.
Dalam menjalankan usahanya, Nursalim mematok harga Rp 10.000 untuk segala macam jasa potong celana maupun baju. Biaya untuk mengecilkan pakaian seharga Rp 20.000.
Sementara untuk rombak total seharga Rp 45.000 sampai Rp 50.000.
Selama menjalani profesi sebagai tukang permak, Nursalim mengaku pernah melayani orderan dari sejumlah artis dan anggota pejabat, namun ia lupa dengan paras maupun nama orang yang ia maksud.
“Artis pernah, tapi yang gak begitu terkenal. Anggota DPRD juga pernah,” klaim Nursalim.
Selain pernah dikunjungi oleh figur publik, Nursalim juga punya pengalaman tidak menyenangkan. Ia beberapa kali pernah kena omel pelanggan karena hasil kerja yang tidak rapi.
“Pernah lah. Kalau saya lagi buru-buru. Tapi bisa ditambal, sih,” ujarnya
Ditengah proses pengerjaan rompi ojek online, Nursalim kembali menerima orderan dari sepasang suami istri yang membawa sebuah kasur ukuran tanggung.
Mereka meminta Nursalim untuk membuat kasur tersebut menjadi dua bagian.
Nursalim kemudian menyingkirkan sementara rompi-rompi tersebut untuk kemudian mengalihkan fokus kepada kasur yang telah ia pegang.
Dengan cekatan, ia membelah kasur tersebut dengan gunting dan menjahit sisi bekas guntingan. Hal ia kerjakan kurang dari lima menit dengan upah Rp 40.000.
Usut punya usut, di tengah situasi sulit, Nursalim tidak menerima jatah Bantuan Sosial dari Pemerintah.
“Boro-boro, di sini gak dapat, di kampung juga gak dapat. Kalau di kampung dikira orang kaya,” ucap Nursalim, dengan tawa.
Berdialog dengan Nursalim bisa mengarah ke segala hal, dari yang sekadar gurauan sampai hal yang serius. Ia cukup paham dengan kondisi politik dan ekonomi Indonesia. Bahkan, ia sempat menyinggung ekonomi Indonesia yang naik 7 persen. “Yang ekonominya naik itu ya orang-orang yang memang sudah kaya, kita yang di bawah ini gak naik-naik,” kata Nursalim.
Di tengah keadaan yang tak pasti, keinginan Nursalim tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin terus diberi kesehatan agar bisa terus bekerja untuk anak dan istri di rumah.
Jam menunjukkan pukul 16.30 WIB, Nursalim masih mengerjakan rompi-rompi ojek online yang sempat ia singkirkan sejenak.
Tangan kanannya meraih botol hijau berisi pelumas dan dengan segera menuangkan tetes demi tetes minyak ke bagian dalam mesin jahit yang sudah menemani hidupnya selama 15 tahun terakhir.