Covid19
Satu Bulan Berjuang di ICU, Ini Kisah Seorang Dosen Lahirkan Bayinya Dalam Kondisi Terpapar Covid-19
"Alhamdulilahnya bayi saya tidak ikut terpapar Covid-19. Tapi sedari awal saya tidak dapat menyusuinya bahkan melihat saja tidak," terang Dea.
Penulis: Desy Selviany | Editor: Dedy
WARTAKOTALIVE.COM, PALMERAH --- Hati Deara Shinta Lestari hancur saat diminta operasi sesar oleh dokter di usia kehamilan masih 37 minggu.
Kondisi tubuh terpapar Covid-19 membuatnya terpaksa melahirkan dua pekan lebih cepat dari yang sudah ditentukan dokter.
Ibu dua anak asal Pangkal Pinang, Bangka Belitung itu menceritakan bagaimana perjuangannya melahirkan saat terpapar Covid-19.
Awalnya pada 13 Mei 2021 sendi-sendinya Dea lemah.
Bahkan ia hampir terjatuh di kamar tidur saat hendak beranjak ke kamar mandi.
Keluarga Dea pun membawa wanita berusia 29 tahun itu ke Unit Gawat Darurat (UGD) sebuah rumah sakit di Pangkal Pinang.
Namun saat itu dokter hanya menduga Dea alami gangguan sendi ditambah dengan kondisi hamil yang sudah tua.
Kemudian Dea pun diperbolehkan pulang ke rumah.
Saat di rumah, ia heran melihat anaknya yang masih berusia dua tahun, Afnan, tidur dengan kondisi nafas yang sesak.
Kemudian pada 15 Mei 2021, Dea alami sesak nafas.
"Saat itu saya alami sesak nafas hingga pusing hebat, bahkan sampai kejang. Akhirnya saya kembali ke UGD pada sore hari," ujarnya dihubungi Kamis (5/8/2021).
Kemudian saat tiba di UGD, dokter menyarankannya untuk dirawat. Sesuai prosedur, Dea jalani swab test antigen.
Hasil swab test antigen, Dea dinyatakan positif Covid-19.
Kemudian Dea dimasukan ke ruang isolasi Covid-19 di rumah sakit tersebut.
Saat di ruang isolasi, Dea diminta dokter untuk melahirkan lebih cepat dua pekan.
Beberapa pertimbangannya ialah agar bayi yang dikandungnya tidak ikut tertular Covid-19.
Selain itu, kondisi Dea yang semakin memburuk juga dikhawatirkan membahayakan janin.
Apalagi saturasi oksigen Dea terus turun hingga membahayakan kandungan.
Hati Dea berkecamuk di ruang isolasi Covid-19.
Selain memikirkan nyawa jabang bayi yang dikandungnya, ia juga merasa bersalah karena tidak dapat mengurus anak sulungnya yang juga terpapar Covid-19.
"Ketika saya divonis Covid-19, saat itu saya merasa hancur sehancur-hancurnya. Karena pasti saya enggak bakal lihat anak yang saya lahirkan dan pasti anak saya akan berkorban karena enggak dapat ASI. Ditambah lagi anak pertama saya positif dan saya enggak bisa sama dia," tuturnya dengan nada bergetar.
Jalani operasi sesar
Akhirnya sehari setelah dinyatakan Covid-19 tepatnya 16 Mei 2021, Dea menjalani operasi sesar.
Untungnya, operasi sesar yang dijalani Dea lancar.
Anak keduanya yang berjenis kelamin perempuan dilahirkan normal dengan berat 2,4 kilogram (kg) dan tinggi 44 centimeter (cm).
Namun, berbeda dengan ibu pada umumnya. Dea tidak bisa melihat batang hidung anaknya saat bayi bernama Nara itu dilahirkan.
Para tenaga medis langsung memisahkan bayi dengan ibunya agar tidak ikut terpapar Covid-19.
"Alhamdulilahnya bayi saya tidak ikut terpapar Covid-19. Tapi sedari awal saya tidak dapat menyusuinya bahkan melihat saja tidak," terang Dea.
Belum habis kesedihan Dea, beberapa hari pascaoperasi, kondisi wanita yang berprofesi sebagai dosen itu memburuk.
Bahkan ia sampai dilarikan ke ICU dan dipasang ventilator.
Selama sebulan Dea berjuang untuk selamat dari virus Sars-Cov2 yang menggerogoti tubuhnya.
Saturasi nafasnya saat itu bahkan sempat mencapai angka 40 persen dari saturasi normal 98 persen.
Setelah dinyatakan sembuh dari Covid-19, ternyata kondisi tubuh Dea belum semerta-merta membaik.
Ia masih harus dirawat di ICU hingga sekira 15 hari kemudian.
Dampak Covid-19 membuat organ tubuhnya digerogoti oleh virus.
Terutama kondisi paru dan sendi-sendi tubuhnya yang masih harus dipulihkan.
"Total sebulan saya dirawat di ICU. Setelah itu saya masih harus dirawat di ruang biasa dan kemudian baru bisa pulang ke rumah," bebernya.
Setelah di rumah, Dea belum dapat mengurus putri semata wayangnya.
Ia masih belum dapat bangun dari tempat tidur. Ia juga dilarang menyusui anaknya karena masih konsumsi obat-obatan keras demi pemulihan fisiknya.
Selama dua bulan berjuang melawan Covid-19, membuat Dea mengetahui betapa bahayanya virus tersebut untuk orang-orangnya yang kondisinya lemah.
Maka dari itu, ia kerap miris setiap kali melihat orang yang abai dengan protokol kesehatan.
"Tolong untuk masyarakat jangan egois. Mungkin tubuh kita bisa kebal dari virus itu. Tapi belum tentu orang di sekeliling kita sama," imbau Dea.