Pelanggaran HAM

Pengamat: Butuh Keberanian dari Presiden dan DPR untuk Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM

Pemerintahan terus berganti sejak lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun, kasus pelanggaran HAM masa lalu belum juga terselesaikan.

Kompas/Satrio Nusantoro
Hingga kini, sejumlah kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu belum tuntas terselesaikan. Foto ilustrasi: Peristiwa Semanggi 13 November 1998 di depan Kampus Atma Jaya, Jakarta, terus menjadi kontroversi karena menurut DPR bukan merupakan pelanggaran HAM berat. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Sejumlah kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu belum tuntas hingga kini.

Pemerintahan terus berganti sejak lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan yang diembannya selama 32 tahun, kasus pelanggaran HAM masa lalu belum juga terselesaikan.

Dari era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, kasus pelanggaran HAM masa lalu masih belum terselesaikan.

Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono mengatakan, saat ini butuh keberanian dan komitmen dari Presiden dan DPR RI untuk menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu melalui jalur pengadilan.

"Presiden dan DPR seharusnya menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998," kata Arfianto atau Anto di Jakarta, Jumat (28/5/2021).

Baca juga: PTTUN Anulir Putusan PTUN Soal Jaksa Agung Salah Bilang Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat

Baca juga: Penembakan 6 Anggota FPI Disebut Pelanggaran HAM Berat, Mahfud MD Minta Bukti, Bukan Keyakinan

Ia menilai penyelesaian dugaan pelanggaran HAM, khususnya kasus kerusuhan Mei 1998, masih berjalan di tempat, padahal rezim telah berganti lima kali setelah presiden ke-2 RI HM Soeharto.

Anto juga menyayangkan hal yang sama terjadi untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi pada masa lalu.

Di antaranya tragedi 1965, penembakan misterius era 1980, peristiwa Talangsari, penghilangan orang secara paksa menjelang reformasi, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Padahal, menurut dia, telah ada payung hukum yang menyatakan, penyelesaian kasus HAM berat dapat melalui jalur pengadilan ad hoc, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Baca juga: Komnas HAM Telah Terbitkan Lebih Dari 5 Ribu Surat Keterangan untuk Korban Pelanggaran HAM Berat

"Alasannya pun tiap tahun masih sama, yaitu berkas penyidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM dianggap tidak memenuhi syarat penyidikan oleh Kejaksaan Agung," ujarnya.

Bahkan, menurut Anto, dibentuknya tim khusus penuntasan dugaan pelanggaran HAM berat atau Timsus HAM di Kejaksaan Agung juga belum membawa perubahan signifikan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Menurut Anto, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan oleh Presiden dan DPR, seperti mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung yang belum bekerja secara signifikan untuk menyelesaikan syarat formil maupun materiel dalam kasus pelanggaran HAM melalui jalur pengadilan.

Selain itu, lanjut dia, membuka ruang bagi kelompok masyarakat sipil dalam rangka memberikan masukan dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Penembakan 6 Anggota FPI Bukan Pelanggaran HAM Berat karena Tak Ada Indikator Ini

Komnas HAM prioritaskan kasus dugaan pelanggaran HAM pegawai KPK

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved