Wawancara Eksklusif
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi Skrining APBD DKI 2019 hingga Surplus Rp 1 Triliun (2)
Nama Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi muncul dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi pembelian tanah yang dilakukan Perumda Sarana Jaya.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Lucky Oktaviano
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Nama Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi muncul dalam pemberitaan salah satu media Jakarta pada kasus dugaan korupsi pembelian tanah yang dilakukan Perumda Sarana Jaya, di Cipayung, Jakarta Timur.
Kepada Warta Kota, Prasetio membantah terlibat dalam pembelian lahan untuk hunian DP 0 rupiah tersebut.
Ia justru mengklaim telah melakukan efisiensi anggaran dengan menyisir rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) hingga surplus Rp 1 triliun dari APBD sebesar Rp 89,08 triliun.
Bagaimana penjelasan lengkapnya?
Berikut adalah lanjutan wawancara tim redaksi Warta Kota dengan Prasetio Edi yang berlangsung di ruang kerjanya, lantai 10 Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (22/3) lalu:
Bisa diceritakan mengapa nama Anda sampai disebut-sebut dalam dugaan kasus korupsi pembeliah tanah?
Pertama-tama DP 0 rupiah adalah program pak Anies Baswedan saat baru pertama kali menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Tahun 2018 anggaran diketok oleh rekan kami Pak Triwisaksana (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Fraksi PKS periode 2014-2019) yang memimpin Rapat Banggar pada saat itu, dan saya ada di sebelahnya.
Perencanaan itu di luar dari RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), semua kegiatan Komisi di DPRD keluar dan dijumlahkan secara kumulatif.
Ternyata kami defisit anggaran, kalau tidak salah Rp 16 triliun sampai Rp 18 triliun.
Lalu saya minta kepada Pak Triwisaksana yang biasa dipanggil Pak Sani itu agar diurut ulang lagi anggarannya.
Saya minta kepada Pak Sani, karena saya sebagai penanggung jawab Banggar, supaya yang di luar RKPD jangan dimasukkan.
Dari Komisi A sampai Komisi E, direvisi ulang ternyata surplus Rp 1 triliun lebih pada saat itu.
Saya perjuangkan itu sampai saya mau berkelahi dengan salah satu pimpinan, Wakil Ketua DPRD saat itu (Ferrial Sofyan dari Fraksi Demokrat).
Tiba-tiba sekarang nama saya dikaitkan oleh salah satu media mainstream di Jakarta, ditohok langsung nama saya.
Bagaimana pembahasan anggaran yang dilakukan Pemprov DKI dengan DPRD DKI saat itu?
Secara mekanisme aturan, bahwa pembahasan itu (anggaran) adanya di Banggar dengan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) bukan keputusan, perorangan (Ketua DPRD DKI Jakarta).
Di dalam pembahasan-pembahasan itu semua dibahas secara detail sebelum menuju ke Banggar, itu ada di Komisi (rapat kebijakan umum anggaran-prioritas plafon anggaran sementara/KUA-PPAS) masing-masing, kemudian dibawa ke Banggar.
Setelah di Banggar, rekomendasi keluar dari Komisi A sampai Komisi E yang hasilnya defisit anggaran.
Saya bilang sama Pak Sani sekali lagi, tolong disisir ulang agar yang di luar RKPD dikeluarkan dulu.
Setelah disisir dari Komisi A sampai Komisi E, ternyata kelebihan anggaran banyak sekali, hingga saya potong.
Di dalam pembahasan Banggar, itu bisa plus dan minus.
Saat itu yang memimpin rapat Banggar adalah Pak Sani dan Ketua Komisi B saat itu Pak Suhaimi (dari Fraksi PKS) dan Koordinator Komisi B Pak Ferrial Sofyan.
Dari situ jelas, saya tidak ada kepentingan apa-apa, memang saya mengawasi karena saat itu pembahasan anggaran saya serahkan kepada Pak Sani.
Apa respons Anda ketika sekarang disebut dalam pemberitaan salah satu media Jakarta pada kasus dugaan korupsi pembelian tanah?
Tentu saya kaget dan saya bingung kalau DP 0 rupiah kan rencananya Pak Anies dan Pak Sandi (Sandiaga Uno).
Seperti halnya Pak Jokowi (Joko Widodo) dan Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) punya terobosan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).
Cuma pada saat itu berhasil, dan ini bermasalah di ranah hukum.
Saya minta kepada Pak Gubernur Anies Baswedan dengan BUMD terkait, coba dong bicara karena setelah diketok (disetujui), saya serahkan anggaran lagi ke BUMD melalui TAPD.
Setelah duitnya sampai di sana, kami kan enggak tahu mereka mau beli apa. Misalnya mau beli kerupuk satu kontainer enggak masalah, itu hak mereka.
Tapi pada saat mereka enggak benar, fungsi pengawasan saya akan berjalan lagi. Dari situ saya kaget, kok bisa media tersebut menohok nama saya.
Saya pikir diamkan sajalah, enggak penting juga buat saya. Justru yang terpenting kita serahkan kasus itu kepada KPK dan kalau dipanggil, saya akan jelaskan kepada petugas.
Dalam hal ini artinya DPRD menyetujui usulan Pemprov DKI Jakarta?
Iya, itu juga sudah ada dalam Keputusan Gubernur (Kepgub).
Selain itu, di dalam perencanaan rumah DP 0 rupiah, seorang Gubernur tidak boleh memiliki rencana melebihi jabatannya selama lima tahun.
Pertama-tama yang menolak hal itu adalah saya dan fraksi saya, PDI Perjuangan.
Makanya saya bingung ada media yang menulis seperti itu (diduga terlibat), kan lucu buat saya. Ada apa dengan saya?
Sekarang kan sudah masuk ke ranah eksekutif lagi, tentu urusan mereka. DKI telah pegang uang dan perencanaan, terus mengusulkan ke kami lewat Komisi B untuk dibahas.
Saya tekankan saya bukan Koordinator Komisi B. Saya pikir semakin tinggi jabatan, semakin kencang angin menerpa.
Ya Alhamdulillah, mudah-mudahan yang memfitnah saya itu kena tulah (kemalangan) sendiri.
Bukankah rumah DP 0 rupiah itu bagus untuk warga Jakarta?
Kalau dilihat dari perencanaannya memang bagus tapi kalau warga dengan gaji UMR (upah minim regional) itu enggak cukup Rp 7 juta.
Sekarang dinaikkan lagi maksimal Rp 14,8 juta per bulan, dan saya bingung (kebijakan) itu karena "ilmu" saya enggak sampai ke situ.
Akhirnya apa? Masyarakat kelompok menengah lagi yang dapat hunian tersebut karena sasaran tembaknya tidak ketemu.
Kalau saya, mending bikin rusunawa dulu setelah itu rusunami, itu lebih mengena ketimbang kebijakan seperti ini (DP 0 rupiah), karena itu, fraksi saya dari awal tidak menyetujui.
Bagaimana menyelesaikan masalah hunian di Ibu Kota untuk saat ini?
Aset Pemprov banyak sekali yang ada di Perumda Pasar Jaya. Kalau kita tidak bisa beli tanah, kita sudah punya tanah.
Dievaluasi dulu, dimasukkan ke anggaran lalu dibangun. Nah masyarakat yang melihat pasti akan bertanya, ini dibeli atau disewa.
Itulah tugas pemerintah daerah memfasilitasi agar layak huni, karena yang namanya rumah susun sangat penting.
Di Jakarta, satu kilometer dari Istana Kepresidenan masih daerah kumuh. Ini tentu harus menjadi prioritas pemerintah daerah dengan APBD yang dimilikinya.
Program rusun adalah skala prioritas karena kita kekurangan (hunian). Kalau ini tidak dilakukan, yah begini Jakarta.
Ada satu rumah diisi oleh tiga kepala keluarga, kan kasihan begitu karena yang namanya anak kan tidak ada salahnya.
Kalau saya dengan usia 59 tahun mungkin dalam beberapa tahun lagi sudah meninggal dunia, tapi anak-anak butuh fasilitas dan tempat yang layak untuk dihuni. (faf/eko)