Relaksasi Pajak
Soal Relaksasi Penghapusan Pajak Mobil Baru, Pedagang Mobil Bekas Mumet karena Berpotensi Merugi
Yudy Budiman melihat jika aturan tersebut diberlakukan, akan berpengaruh pada penjualan mobil bekas dengan usia 2-3 tahun.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM) 100 persen akan dimulai pada 1 Maret 2021.
Penerapan aturan ini diharapkan mampu mendongkrak industri otomotif di tengah pandemi Covid-19.
Owner Showroom mobil bekas Indigo Auto, Yudy Budiman melihat jika aturan tersebut diberlakukan, akan berpengaruh pada penjualan mobil bekas dengan usia 2-3 tahun.
Baca juga: Kena Relaksasi PPnBM, Harga Baru Suzuki All New Ertiga dan XL7 Segera Rilis
"Persyaratannya untuk yang kena relaksasi PPnBM tadi kan lokal kontennya harus 70 persen. Jadi mobil yang umurnya dua atau tiga tahun pasti kena dampaknya, dari segi harga. Tapi untuk tahun-tahun di atas 4 tahun itu tidak akan berpengaruh banyak," tutur Yudy saat dihubungi Tribunnews, Selasa (23/2/2021).
Lebih lanjut, Yudy juga melihat isu PPnBM cukup membuat para konsumen mobil bekas bimbang.
Akhirnya, kebanyakan konsumen menunggu hingga aturan tersebut jelas.
Baca juga: Pekan Depan Daihatsu Akan Keluarkan Harga Baru Mobil yang Kena Relaksasi PPnBM, Simak Bocorannya
"Kalau di customer mobil bekas kan jadi wait and see karena nunggu aturan ini," jelas Yudy.
Tingkatkan Industri Otomotif Nasional
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang menyebutkan, relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk produk otomotif khususnya mobil penumpang bertujuan untuk meningkatkan purchasing power di masyarakat dan jumpstart pada perekonomian nasional.
Menurutnya, industri otomotif merupakan salah satu sektor yang terkena dampak dari Covid-19 dan relaksasi ini untuk menggairahkan kembali pertumbuhannya.
"Saat ini negara-negara lain juga memberikan stimulus khusus untuk industri otomotif selama pandemi Covid-19. Seperti pengurangan pajak penjualan sebesar 100 persen untuk mobil rakitan dalam negeri dan potongan pajak 5 persen untuk mobil yang dirakit di negara asalnya," ucap Agus dalam keterangannya, Sabtu (13/2/2021).
Baca juga: Perkiraan Harga Xpander dan Xpander Cross 2021 dengan Relaksasi PPnBM Nol Persen
Maka dari itu, lanjut Agus, Kementerian Perindustrian mengusulkan relaksasi PPnBM perlu dilakukan selama tahun 2021, dengan skenario PPnBM 0 persen dengan periode Maret-Mei 2021, PPnBM 50 persen periode Juni-Agustus 2021 dan 25 persen dengan periode September-November 2021.
"Upaya ini tentu dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, sehingga relaksasi dilakukan secara bertahap," kata Agus.
Dengan pemberlakuan relaksasi PPnBM secara bertahap, Agus meyakini, dapat terjadi peningkatan produksi yang akan mencapai 81.752 unit.
Baca juga: New Honda CR-V Resmi Meluncur dengan Tampilan dan Teknologi Baru, Dibanderol Mulai Rp 489 juta
"Selain itu dengan relaksasi ini juga diperkirakan ada penambahan output industri otomotif akan menyumbang pemasukan negara sebesar Rp1,4 triliun," ujarnya.
"Kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi terjadi surplus penerimaan sebesar Rp1,62 triliun," kata Agus.
"Industri pendukung otomotif sendiri menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp700 triliun," lanjutnya.
Ia menyebutkan, dalam menjalankan bisnisnya industri otomotif berkaitan dengan industri lainnya dengan kontribusi industri bahan baku sekitar 59 persen dalam industri otomotif.
Usulan perubahan PP 73/2019
Sebelumnya, Menperin menegaskan, perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 tahun 2019 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan emisi gas buang yang bersumber dari kendaraan bermotor. Peraturan tersebut diundangkan tahun 2019 dan akan diberlakukan pada Oktober 2021.
"Perubahan PP ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan pemerintah, menurunkan emisi gas buang, dan meningkatkan pertumbuhan industri kendaraan bermotor nasional," kata Agus.
Di samping itu, skema pajak PPnBM berbasis flexi engine (FE) dan CO2 berdasarkan PP 73/2019 akan mampu mendorong pertumbuhan kendaraan rendah emisi dengan memberikan gap pajak yang cukup dengan kendaraan konvensional, sekaligus meminimalkan penurunan industri lokal dengan menetapkan kisaran pajak sesuai daya beli masyarakat.
“Revisi PP 73/2019 akan mengakselerasi pengurangan emisi karbon yang diperkirakan mencapai 4,6 juta ton CO2 pada tahun 2035,” ungkap Agus.
Selain itu, menurut Agus, nantinya industri pendukung kendaraan listrik juga akan mengalami kenaikan dan diharapkan pada tahun 2025 produksi kendaraan listrik nasional untuk roda 4 dapat mencapai 20 persen dari kapasitas produksi atau mencapai 400,000 kendaraan.
Ia juga menjelaskan, usulan perubahan PP 73/2019 mempertimbangkan infrastruktur dari industri otomotif nasional. Sehingga perlu dilakukan peningkatan secara gradual, yang nantinya dapat dievaluasi kembali melihat peningkatan dari infrastruktur kendaraan listrik dan kondisi industri otomotif nasional.
“Usulan perubahan PP 73/2019 akan memberikan dampak positif, diantaranya Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai atau BEV menjadi satu satunya mendapatkan preferensi maksimal PPnBM 0 persen," kata Agus.
Selain itu, menurut Agus, usulan tarif PPnBM untuk PHEV sebesar 5 persen sejalan dengan prinsip semakin tinggi emisi CO2, maka tarif PPnBM semakin tinggi nilai PPnBM-nya.
Menurut Menperin, perubahan terhadap PP 73/2019 diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi dunia otomotif internasional, di mana kendaraan listrik terus mengalami kenaikan di Eropa dan Amerika Serikat
Kemudian perubahan PP ini juga, ungkap Agus, dapat mendorong investasi di industri kendaraan bermotor nasional, baik dari sektor hulu maupun hilir yang dapat mendorong penyerapan tenaga kerja.
"Diperkirakan investasi yang akan masuk senilai lebih dari Rp50 triliun sampai dengan lima tahun yang akan datang," ungkap Agus.
Lita Febriani/Hari Darmawan