Legenda Basket Indonesia

Cokorda Tata Tinggalkan Basket Demi Gelar Doktor Yang Diraihnya Dari Sydney University

Cokorda bersaudara mengawali karier bola basket profesional mereka di Aspac. Wiwin bergabung tahun 1995, Tata tahun 1996 dan Anom tahun 1997

Instagram/@cokordatata
Cokorda Rai Adi Pramartha bersama keluarganya 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Cokorda Rai Adi Pramartha adalah satu dari tiga bersaudara Cokorda yang akan selalu dikenang pecinta bola basket Indonesia. Tata, sapaannya, adalah adik dari Cokorda Raka Satrya Wibawa alias Wiwin, dan kakak dari Cokorda Anom Indrajaya. 

Cokorda bersaudara mengawali karier bola basket profesional mereka di Aspac. Wiwin bergabung lebih dulu pada pada tahun 1995, setahun kemudian Tata menyusul 1996. Sedangkan Anom merapat ke Aspac pada 1997.  

Tiga bersaudara ini ikut bergabung dan bermain untuk Provinsi Bali pada PON 1996. 

Setelah memutuskan berhenti sebagai pemain basket, Cokorda Tata melanjutkan sekolahnya dan saat ini sebagai asisten professor di fakultas Ilmu Komputer Universitas Udayana, Bali.
Setelah memutuskan berhenti sebagai pemain basket, Cokorda Tata melanjutkan sekolahnya dan saat ini sebagai asisten professor di fakultas Ilmu Komputer Universitas Udayana, Bali. (Instagram/@cokordatata)

“Sebelumnya, selain Aspac, klub CLS dan Pelita Jaya juga pernah menghubungi kami, namun sepertinya sudah beredar kabar burung bahwa kami hanya mau ke Aspac,” kenang Tata dikutip dari laman iblindonesia.com.

“Juga beredar kabar kalau sudah mendapatkan kakaknya (Wiwin) maka adik-adiknya pasti mengikuti,” tambahnya. 

mengakui mereka bertiga memiliki ikatan dan saling memahami jika bermain bersama. “Kami merasa memiliki spesialisasi dan posisi masing-masing.

Wiwin sebagai center, saya di posisi power forward dan Anom adalah shooter,” ujarnya.

Tahun 2001, Cokorda bersaudara memutuskan tetap bersama hijrah ke Satria Muda. Tahun berikutnya mereka bertiga bergabung dengan Citra Satria hingga 2005.

Tahun 2006, Tata dan Anom memutuskan pensiun dari bola basket professional, sementara Wiwin tetap meneruskan karier basket dan bergabung dengan Garuda Bandung.

“Setahun gak aktif di basket, pada 2007 pelatih Garuda sempat menghubungi dan meminta saya bergabung, namun saya sudah memutuskan berkarier di dunia pendidikan,” kenang Tata.

Setelah Tata menyelesaikan kuliah S1 Teknik Elektro Universitas Trisakti dan Master in Bussines Administration Universitas Bina Nusantara.

Dia memutuskan pulang ke Bali, karena permintaan orang tuanya untuk berkarier di dunia pendidikan.

“Mereka bilang, kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan mengembangkan orang-orang Bali. Saya pun luluh dan memutuskan kembali,” terangnya.

Tata (17, Wiwin (15) dan Anom (18) saat bermain bersama di klub Aspac Jakarta
Tata (17, Wiwin (15) dan Anom (18) saat bermain bersama di klub Aspac Jakarta (iblindonesia.com)

Tata pun memutuskan mendaftarkan diri menjadi staf pengajar pada jurusan Ilmu Komputer Universitas Udayana pada tahun 2006. 

Dunia pendidikan memang tak asing bagi keluarga Tata. Kedua orang tuanya adalah akademisi yaitu, Dr. dr. Tjokorda Alit Kamar Adnyana dan Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, Sp.KJ . 

Tata terus berusaha mencari beasiswa studi Doktoral. Sebagai dosen dia harus terus mengejar pendidikan tertinggi.

"Saya mengambil program Doktor karena merupakan jenjang tertinggi dalam dunia pendidikan dan karier saya. Sama halnya saat bermain bola basket, maka tujuan tertinggi kita adalah sampai mewakili Indonesia,” tutur Tata yang sempat masuk dalam tim nasional junior Indonesia tahun 1996.

Tata berhasil diterima di salah satu perguruan tinggi di Australia, Sydney University untuk menempuh program Doktor Teknologi Informasi. Awal tahun 2014 dia berangkat ke Australia.  

“Beruntung  pada 2013 Kementerian Keuangan RI meluncurkan beasiswa perdana mereka, yaitu beasiswa LPDP yang sangat mementingkan kualitas kuliah dibanding biaya yang harus dikeluarkan. Beasiswa itu memberangkatkan saya ke Australia," kata Tata.

Dia meraih gelar PhD atau Doktor pada tahun 2018, kini Tata menjabat sebagai Asisten Profesor pada Departemen Ilmu Komputer Universitas Udayana Bali.

Dia mengakui, bekal dari bola basket membantunya  dalam pencapaian prestasi di luar lapangan.

“Spirit berjuang di lapangan basket terbawa dalam kehidupan. Di basket hari ini kita kalah, besok harus kembali siap bertempur 100 persen untuk menang. Itu terbawa dalam perjalanan hidup saya,” akunya.

“Contohnya, saat mengambil program PhD di Australia, satu hari saya sempat gagal, tetapi esoknya sudah semangat lagi. Supervisor saya sampai salut, sebab jarang punya mahasiswa S3 yang pantang menyerah,” ceritanya.

Berkarya di dunia pendidikan, Tata tak sepenuhnya meninggalkan bola basket. Dia adalah pembina Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bola Basket Universitas Udayana. 

Tak ingin jadi pelatih?

“Waktunya tidak memungkinkan. Paling saya hanya jadi pelatih buat anak sendiri. Putra sulung saya sekarang berusia 12 tahun, tinggi sudah  169 cm,” ujar Tata yang dikaruniai tiga orang putra dari pernikahannya dengan Madek Jeani Purnama. 

Tata mengakui skill pebasket Indonesia saat ini jauh lebih baik dibanding pada jamannya.

“Hal ini karena akses informasi yang lebih terbuka seperti lewat you tube. Pemahaman pelatih-pelatih muda juga lebih baik, serta banyak juga pelatih yang memberikan privat sehingga kemampuan basket anak-anak sekarang lebih cepat meningkat,” ungkapnya.

Apalagi skill pemain sekarang juga tidak dibatasi oleh struktur dan postur tubuh.

“Jaman saya main, pemain berpostur tinggi pasti dipasang sebagai power forward atau center,” pungkasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved