Info Balitbang Kemenag
Kerukunan Umat Beragama yang Tulus Mampu Dipraktikkan Komunitas di Indonesia Timur
Dalam masyarakat Indonesia banyak komunitas yang mempraktikkan kerukunan beragama secara tulus dan tak mudah goyah dengan munculnya kelompok intoleran
Penulis: Mochammad Dipa | Editor: Ichwan Chasani
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA — Kerukunan Umat Beragama di Indonesia menjadi salah satu isu penting di tengah masyarakat yang beragam agama.
Dasar hukumnya jelas yaitu UUD 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2. Litbang Agama Makassar sendiri berkali-kali telah melakukan penelitian guna memotret realitas kerukunan umat beragama di masyarakat.
Beberapa penelitian seperti Indeks Kerukunan Umat Beragama (2011,2012,2013 & 2014) serta Perspektif Toleransi Kelompok-kelompok Keagamaan (2018), menunjukkan kerukunan umat beragama masih berjalan di masyarakat, kendati umumnya masih model kerukunan beragama yang pasif.
Dalam situasi demikian, Litbang Agama Makassar mengangkat kembali realitas kerukunan umat beragama di masyarakat yang masih berjalan sangat baik dan tulus.
Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa sejatinya, dalam masyarakat Indonesia masih banyak komunitas yang mempraktikkan kerukunan beragama secara tulus.
Praktik kerukunan yang tulus ini tidak akan mudah goyah dengan kemunculan kelompok-kelompok yang intoleran.
Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif menemukan beberapa komunitas masyarakat yang masih menjalankan kerukunan beragama secara baik dan tulus, yang kemudian disebut dengan Best Practices Kerukunan Umat Beragama.
Penelitian di komunitas
Penelitian ini dilakukan di beberapa komunitas di Indonesia Timur, yakni Komunitas Lempake dan Pampang di Samarinda, komunitas Kokoda dan Jalur Bali di Sorong, komunitas Ohodertawun-Kei-Maluku Tenggara, Komunitas Lembang Kaduaja-Toraja dan komunitas Palopo serta komunitas Pasalae di Gorontalo.
Di semua komunitas yang diteliti tersebut terdapat umat beragama dari dua agama atau lebih.
Di tempat tertentu, misalnya Lempake, Palopo dan Pasalae, umat Islam yang mayoritas. Sementara di Pampang, Lembang Kaduaja dan Kokoda yang dominan adalah umat Kristen.
Adapun di Komunitas Jalur Bali-Aimas kendati jumlah umat Islam tetap lebih banyak, tetapi perbandingannya dengan Kristen hampir seimbang. Hal ini sama dengan komunitas Oherdetawun.
Dari komposisi penganut agama di masing-masing komunitas menunjukkan bahwa praktik kerukunan yang tulus bisa terjadi di masyarakat mana pun; bisa pada masyarakat mayoritas Islam, mayoritas Kristen atau mayoritas Katolik, Hindu dan Budha dan bisa pula pada masyarakat yang komposisi jumlah penganut agamanya nyaris sama.
Dari beberapa komunitas yang diteliti, jelas terlihat kerukunan beragama berlangsung dengan sangat baik dan tulus.
Para penganut agama tertentu tidak sekedar menoleransi keberadaan penganut agama lain, tetapi juga berinteraksi secara aktif satu sama lain.
Mereka saling mengunjungi- termasuk saat hari raya, bekerja sama dan tolong-menolong dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kegiatan keagamaan.
Demikian pula keberadaan rumah ibadah agama lain dalam lingkungan agama berbeda tidak dipermasalahkan, bahkan dibantu pendiriannya.
Jika terjadi konflik, maka komunitas tersebut memiliki mekanisme lokal untuk menyelesaikannya yang biasanya bersumber dari hukum adat.
Kearifan lokal dan adat
Di beberapa komunitas tersebut di atas, faktor yang menjadi basis kerukunan beragama antara lain adalah kearifan lokal dan adat.
Hal ini terlihat pada komunitas Pampang-Samarinda, di mana tradisi Dayak, khususnya kesenian Dayak menjadi alat pemersatu antara Kristen-Dayak dan Islam Bugis-Banjar.
Demikian juga terlihat pada komunitas Oherdetawun-Maluku Tenggara, basis kerukunannya pada aturan adat Lurvul Ngabal dan falsafah Ken ain ni ain (kita semua satu), selain ikatan kekerabatan yang kuat.
Hal yang sama juga terlihat pada komunitas Lembang Kaduaja-Tator, mereka memiliki adat tokonan yang menjadi pengikat kekerabatan tanpa memandang agama yang berbeda.
Begitu pun di Palopo basis kerukunannya adalah kearifan lokal di antaranya mesa kada diputuo pantang kada dipumate (bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh).
Sementara di komunitas Kokoda-Sorong, kerukunan beragama ditopang oleh pengetahuan akan sejarah masa lalu.
Komunitas ini memiliki sejarah tentang toleransi yang diperankan oleh Sultan Tidore ketika pertama kali memperkenalkan Islam di komunitas ini.
Ingatan tentang sejarah ini terus dijaga hingga kini untuk merawat kerukunan beragama tersebut.
Di komunitas Pasalae-Gorontalo, lain lagi, kerukunan tersebut ternyata ditopang oleh faktor ekonomi, secara khusus hal ini terlihat pada masyarakat nelayan.
Melalui itu, masyarakat bisa berinteraksi dengan baik tanpa memandang agama. Apalagi ada tradisi untuk membagikan ikan, dari hasil tangkapan nelayan, tanpa melihat agamanya.
Sementara di komunitas Lempake-Samarinda kerukunan beragama ditunjang oleh kepentingan dan cita yang sama dalam membangun kampung dan juga adanya kesetaraan dalam penguasaan ekonomi.
Di samping juga adanya kearifan lokal yang terkait dengan gotong royong.
Dari gambaran terakhir ini, dapat dikatakan bahwa kerukunan beragama yang tulus dipengaruhi oleh kearifan lokal (adat-tradisi), ingatan akan sejarah, faktor ekonomi dan tujuan yang sama membangun kampung.
Rekomendasi
Untuk terus menjaga kerukunan umat beragama dilingkungan komunitas, maka Balai Litbang Agama Makassar memberikan sejumlah rekomendasi.
Pertama, Komunitas yang menjalankan Best Practice Kerukunan Beragama perlu diperkuat oleh pemerintah setempat (FKUB dan Pemda) dengan melakukan pendampingan pada komunitas bersangkutan.
Kedua, pemerintah setempat, khususnya pemerintah desa menguatkan kembali Lembaga-lembaga lokal (lembaga adat, lembaga keagamaan lokal), serta mengembangkan kearifan lokal seperti toleransi Sultan Tidore, yang mendukung kerukunan umat beragama di daerahnya.
Ketiga, Best Practice Kerukunan Beragama di beberapa komunitas tadi bisa menjadi salah satu model kerukunan beragama, untuk selanjutnya direpetisi di tempat lain yang memiliki situasi sosial, ekonomi dan kebudayaan yang mirip.
Hal ini bisa dilakukan oleh Kementerian Agama pusat, khususnya yang menangani Forum Kerukunan Umat Beragama kerja sama dengan Pemerintah Daerah.
Keempat, kerukunan beragama di beberapa daerah saat ini, ditunjang oleh distribusi ekonomi yang adil. Karena itu pemerintah daerah harus mempertimbangkan kesetaraan recources ekonomi dalam berbagai kebijakan.
Kelima, perlu dukungan kuat dari Kementerian Agama dan Pemerintah setempat baik dalam bentuk pendanaan maupun kerja sama terhadap Lembaga Agama Moderat (NU-Muhammadiyah-Pesantren dan PGI) agar bisa berkembang di komunitas yang melakukan best practice kerukunan beragama.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya kelompok-kelompok keagamaan radikal-intoleran di tempat tersebut. (*)