Apa Itu Resesi? Berikut Penjelasan Lengkap Soal Perbedaan Resesi Ekonomi dengan Depresi Ekonomi

Istilah resesi, resesi ekonomi dan depresi ekonomi ramai diperbincangkan masyarakat.

Editor: PanjiBaskhara
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ilustrasi - resesi 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Istilah resesi, resesi ekonomi dan depresi ekonomi ramai diperbincangkan masyarakat.

Namun, belum banyak khalayak yang memahami mengenai pengertian resesi ekonomi dan pengertian depresi ekonomi.

Lalu, apa itu resesi dan apa itu resesi ekonomi hingga apa itu depresi ekonomi?

Adakah perbedaan resesi ekonomi dengan depresi ekonomi?

Luhut Pandjaitan: Kalau Resesi Terjadi, Itu Bukan Akhir Segalanya

Indonesia Bisa Terhindar dari Resesi Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19, Begini Syaratnya Versi Ekonom

Negara Alami Resesi Ekonomi Akibat Pandemi Corona Bertambah, Terbaru Inggris, dan Ini Daftarnya

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2020 minus 5,32 persen.

Jika tren minus tersebut berlangsung hingga kuartal III tahun 2020, Indonesia bisa masuk ke jurang resesi ekonomi.

Sementara itu, sebanyak 9 negara telah mengalami resesi akibat pandemi virus corona yang berdasarkan Worldometers pada Jumat (7/8/2020) telah menjangkiti 19.261.406 orang.

Negara-negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Jerman, Perancis, Italia, Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Filipina.

Secara dua kali berturut-turut atau lebih, pertumbuhan ekonomi di kesembilan negara tersebut mencatatkan minus.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Indonesia terancam mengalami depresi ekonomi jika persoalan pandemi virus corona tak segera selesai.

Depresi ekonomi ini akan lebih parah dari resesi.

Menurut dia, suatu negara bisa dikatakan resesi apabila dua kuartal atau lebih mengalami pertumbuhan negatif.

"Misalnya kuartal II -5.32 persen dan di kuartal III minus lagi maka indonesia masuk resesi.

Depresi terjadi ketika resesi berlanjut dalam dua tahun atau lebih. Contohnya depresi 1929-1933," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Jumat (7/8/2020).

Bhima menjelaskan, Indonesia masih terbuka kemungkinan untuk masuk ke depresi.

"Masih terbuka kemungkinan (depresi) karena penanganan pandemi yang belum optimal sehingga masyarakat masih menahan belanja.  Padahal konsumsi rumah tangga merupakan motor utama perekonomian," jelas dia.

Perbedaan resesi ekonomi dan depresi ekonomi

Ekonom senior Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Edhie Purnawan ungkap, resesi adalah istilah dalam ilmu makroekonomi yang mengacu pada penurunan yang signifikan dalam kegiatan ekonomi.

Di mana, lanjutnya, konsensus dari para ekonom dunia menyatakan, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi riil selama dua kuartal secara berturut-turut (diminishing GDP) yang disertai dengan peningkatan jumlah pengangguran.

"Tetapi, kalau dengan acuan Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) di US yang biasanya secara resmi mengumumkan resesi"

"dinyatakan bahwa penurunan GDP riil selama dua kuartal berturut-turut itu tak lagi jadi definisi resesi," kata Edhie kepada Kompas.com, Jumat (7/8/2020).

Edhie Purnawan menambahkan, NBER mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas perekonomian yang tersebar di seluruh (sebagian besar) sektor dalam perekonomian.

Itu berlangsung lebih dari beberapa bulan, yang biasanya bisa dideteksi dari jatuhnya GDP riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi sektor-sektor industri, dan penjualan grosir dan eceran.

Bedanya dengan depresi

Sementara itu, depresi menurut Edhie Purnawan adalah penurunan aktivitas ekonomi yang parah serta berkepanjangan.

"Dalam macroeconomics, depresi pada umumnya didefinisikan sebagai resesi ekstrem yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih atau yang menyebabkan penurunan GDP riil minimal 10 persen," ucap Edhi.

Menurut pria yang juga bertugas sebagai anggota Badan Supervisi Bank Indonesia ini, depresi relatif lebih jarang terjadi dibandingkan resesi (yang lebih ringan).

Depresi ekonomi terjadi cenderung disertai dengan pengangguran yang masif dan inflasi yang rendah.

Lebih hebat lagi, disebut depresi hebat atau Great Depression.

"(Great Depression) adalah resesi ekonomi terbesar dan terpanjang dalam sejarah dunia modern.

Great Depression ini dimulai dengan jatuhnya pasar saham US pada tahun 1929 dan tidak berakhir hingga 1946 setelah Perang Dunia II," jelas dia.

Lebih lanjut, imbuhnya, para ekonom dan sejarawan dunia sering menyebut Great Depression ini sebagai peristiwa krisis ekonomi paling dahsyat di abad ke XX.

Indonesia alami pertumbuhan yang negatif

Edhie memaparkan, Indonesia kini mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif 5,32 persen pada kuartal II dan diharapkan pada kuartal III terdapat keajaiban sehingga minimal tidak tumbuh negatif.

"Meskipun Menkeu Sri Mulyani bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III atau kuartal III 2020 berada di kisaran minus 1,6 persen hingga (positif) 1,4 persen," papar Edhie.

Estimasi tersebut adalah perkiraan sementara yang dibuat pemerintah dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi 2020 di kisaran minus 0,4 hingga (positif) 1 persen.

Oleh karenanya, Edhie memiliki beberapa pandangan agar ekonomi Indonesia bisa diselamatkan.

Ketika perekonomian mengalami proses adaptasi dan penyesuaian ekonomi terhadap kondisi baru, termasuk faktor-faktor produksi, konsumsi, dan distribusi yang pertama-tama memicu resesi, maka respons kebijakan serta aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun bank sentral harus sama sekali berubah dan lain dari biasanya.

"Hal ini dalam ilmu ekonomi makro adalah elemen standar untuk memulihkan perekonomian.

Bahkan pemenang hadiah Nobel Jean Tirole pernah menyampaikan bahwa seluruh respons kebijakan untuk menanggulangi resesi harus sama sekali berbeda dari kondisi business as usual," jelas Edhie.

Di antaranya, yakni pengelolaan aspek tenaga kerja, barang modal, dan sumber daya produktif lainnya harus mulai disiapkan sesegera dan seaman mungkin mengikuti protokol Covid-19 agar aman secara ketat dan bisa tetap produktif.

Kemudian, pekerja yang menganggur harus dicarikan jalan keluar untuk menemukan pekerjaan baru dan perusahaan harus bangkit meski dengan kuantitas yang lebih rendah tetapi harus dengan jiwa yang lebih spektakular, yang luar biasa. Yang ekstra-ordinary (kalau dalam bahasa sehari-hari).

"Kointegrasi antarpelaku usaha dan pemerintah menjadi wajib di sini. Kita bekerja sebagai tim bersama. Pemerintah, bisnis, akademisi, media, komunitas, beserta segala jenis Asosisasi Industri harus bantu-membantu bersama-sama dengan semangat yang luar biasa," kata dia.

"Harus bisa digerakkan dengan jiwa yang lain dari pada yang lain, yang sama sekali lain daripada biasanya," sambungnya.

Lalu, pemulihan ekonomi ini tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri dari kerusakan yang terjadi, maka kolaborasi, koordinasi, dan kointegrasi harus TSM (terstruktur, Sistematis dan Masif) dari semua elemen masyarakat.

"Dalam era Covid-19 ini, kita harus yakin seyakin-yakinnya kita tidak pernah sedikitpun ragu bahwa kita punya kekuatan, stabilitas, dan ketahanan sistem keuangan yang telah meningkat secara fundamental selama 10 tahun terakhir, meski virus corona telah menyebabkan penurunan," kata Edhie.

Namun, lanjutnya, ada hal yang harus diingat yakni 'alarm penting' tentang ketidaksetaraan atau ketimpangan ekonomi yang harus diperbaiki bersama dan menjadi momentum untuk berkointegrasi bersama-sama.

"Berbeda dengan kolaborasi dan koordinasi, kointegrasi adalah hubungan jangka panjang yang dimulai dari kesesuaian antar elemen pelaku ekonomi"

"Ini harus dieksploitasi bersama-sama dan dicari terobosan harian secara TSM," pungkas Edhie.

Cegah Resesi, Desa Didorong Aktifkan Digitalisasi

Desa memiliki potensi besar untuk terus bertumbuh. Indonesia yang kini memiliki 74.517 desa dan separuh penduduk Indonesia tinggal disana.

Dan kini, di tengah masa pandemi Corona (Covid-19), desa menghadapi pula dampaknya sehingga diperlukan strategi menghadapi kemungkinan resesi ekonomi.

"Indonesia pernah menghadapi krisis saat reformasi 98 lalu, tapi saat itu desa tidak terdampak. Tapi di masa pandemi Corona ini, desa terdampak dan menjadi benteng terakhir"

"Banyak orang kota lebih baik pulang ke desa asal bisa makan," kata mantan Kepala Bappenas/Menteri PPN, Andrinof Chaniago di webinar bertajuk 'Strategi Hadapi Resesi Ekonomi, Prioritas Dibangun Desa atau Kota?', Minggu (9/8/2020).

Hal inilah yang dikatakannya perlu agar terus bisa menjadi benteng terakhir melawan krisis akibat pandemi ini.

"Strategi khusus guna membangun desa itu harus diakselerasi agar mendukung pertumbuhan ekonomi, mengingat penduduk miskin lebih banyak berada di pedesaan," ujar Andrinof.

Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia yang juga Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Koperasi Satelit Desa Indonesia (KSDI) yang juga jadi pembicara menyebut strategi mengikis krisis ini bisa dilakukan dengan sebuah syarat.

"Sumbatan digitalnya harus dibuka dulu, agar arus informasi bisa lancar," ujar Budiman.

Dikatakannya, saat ini pemerintahan Jokowi telah menyediakan Palapa Ring yang menjadi jalan tol komunikasi dari Sabang sampai Merauke.

"Tapi kan 'jalan kampung' di sekitarnya belum di aspal. Inilah yang kini akan kita kolaborasikan. Bumdes kita sambungkan dengan perusahaan-perusahaan penyedia jasa internet untuk bikin kolaborasi digital," papar Budiman.

Hal ini sudah mulai dicoba di Tanah Datar, Sumatera Barat. Sebelum pandemi Covid-19 saja, tiap desa di wilayah itu sudah meraup untung Rp16 jt/bulan dari penyediaan akses internet.

"Tahun depan kita akan coba ke 25 ribu desa di Indonesia. Masyarakat beli kuota ke Bumdes, nanti keuntungannya buat desa," ujar Budiman.

Politisi PDIP ini menyebut, secara teknologi pelaksanaan hal tersebut tidak sulit, apalagi ada dana desa.

Digitalisasi atau yang dikatakan Budiman sebagai rangkai data, merupakan satu dari pendekatan Trisakti ABC yang efektif untuk diterapkan di masa normal baru ini, selain asasi, abadi, berkelanjutan (sustainable), berdana, berdaya, dan cinta tanah air serta punya cita-cita.

"Kami mendorong pemerintah di tingkat desa agar aktif melakukan digitalisasi di wilayahnya masing-masing," ujarnya.

Indonesia dinilainya punya comparative advantage yang harus didorong untuk terus ditingkatkan.

Hal ini diamini pula oleh Andrinof. Ia sepakat jika masyarakat di desa harus terus ditanamkan mental kewirausahaan.

"Jadi kalau ditanya apakah di desa atau kota yang penting, dua-duanya penting. Tapi di desa perlu akselarasi dan tata kelola yang lebih baik," pungkas Andrinof.

Sebagai penutup, pembicara lainnya di webinar ini, Angela Simatupang dari International Contact Partner RSM Indonesia menyebut, digitalisasi desa sudah mutlak dilakukan, namun harus digarap dengan tata kelola yang baik agar pembangunan di desa bisa berkelanjutan.

"Digitalisasi di desa sudah pati bisa, tinggal masalah kemauan dan komitmen. Tapi, mindset masyarakat juga harus ditata dan jangan lupa harus dibenahi juga public goverment-nya, kalau tidak ya sia-sia ," kata Angela.

Indonesia di Ambang Resesi, Ekonom Menyarankan untuk Meniru Langkah China

Bayang-bayang resesi menghantui seluruh negara di dunia pada 2020 ini akibat pandemi Covid-19.

Beberapa negara bahkan telah jatuh lebih dulu ke jurang resesi, sebut saja Singapura, Korea Selatan, AS, Hong Kong, hingga beberapa negara di Eropa.

Isu resesi tak luput mengikuti pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Resesi ekonomi adalah situasi terjadinya penurunan nilai pertumbuhan ekonomi rill menjadi negatif sepanjang sepertiga tahun berturut-turut.

Beberapa indikator awal telah menunjukkan kinerja perekonomian RI tak sedang baik-baik saja.

Pemerintah hingga ekonom sepakat PDB kuartal II 2020 akan terkontraksi lebih dari 4 persen.

Bila pertumbuhan ekonomi dua kuartal atau lebih berturut-turut negatif, praktis secara teknikal Indonesia tak kebal dari resesi.

Terlepas bakal resesi atau tidak, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyarankan Indonesia bercermin pada China.

Ekonomi Negara Tirai Bambu ini langsung menanjak usai membukukan pertumbuhan negatif yang curam akibat pandemi.

"Dia (China) bukan hanya stimulusnya yang cepat, tapi penanganan Covid-nya juga sangat baik. Jadi artinya, ini harus jadi contoh sukses sebagai negara yang bisa keluar dari jebakan ataupun jeratan resesi," kata Josua kepada Kompas.com, Senin (3/8/2020).

Informasi saja, China sempat mencatatkan PDB terkontraksi 6,8 persen pada kuartal I 2020 sejak pandemi Covid-19 menyerangnya di akhir 2019.

Namun pertumbuhan ekonomi kembali menyentuh angka positif 3,2 persen pada kuartal II 2020, meski Negara Xi Jinping tak berani menargetkan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020.

Josua bilang, Indonesia perlu memitigasi kemunculan resesi sebelum terlambat.

Caranya adalah mempercepat penyaluran bantuan sosial secara tepat sasaran dalam bentuk tunai dan stimulus lainnya yang mampu menopang ekonomi.

Sekalipun nantinya terjadi resesi, percepatan penyaluran stimulus akan membuat ekonomi kembali positif di kuartal IV 2020. "

Resesi atau tidak resesi, bukan itu konsennya.

Tapi next-nya yang menjadi konsen kita apa, itu yang harus disiapkan pemerintah.

"Jadi sekalipun resesi, bisa langsung kembali ke (pertumbuhan) positif lagi di kuartal IV," ucap Josua.

Sebelumnya, Pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan sejumlah pihak lain mengonfirmasi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di zona negatif alias minus.

Kondisi ini diyakini masih akan berlanjut hingga kuartal III 2020.

"Jadi kita ekspektasi kuartal II itu kontraksi. Saya sampaikan di sini (rentang kontraksi antara) minus 3,5 persen sampai minus 5,1 persen"

"Titik poin (nilai tengah) minus 4,3 persen," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPR RI, Rabu (15/7/2020).

Bank Indonesia (BI) pun memproyeksi, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020 akan mengalami tekanan atau kontraksi dengan tumbuh negatif antara 4 persen hingga 4,8 persen.

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menjelaskan, Indonesia saat ini tengah menghadapi masa-masa yang sangat sulit.

Bahkan, menurut dia, proses pemulihan pun akan berlangsung sangat lambat atau berbentuk huruf U (U-Shape).

Kuartal II, Kemenkeu (memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia) negatif 4 persen. (Proyeksi) BI kurang lebih angkanya sama, antara 4 persen sampai 4,8 persen. Itu range kita," ujar Destry dalam konferensi video di Jakarta, Senin (20/7/2020).

"Dengan U-shaped recovery, (pemulihan) relatif lambat," sambung dia.

(PosKupang/Wartakotalive.com/Kompas.com)

Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul "Resesi Ekonomi Apakah Berbahaya? Berikut Penjelasannya, Beda dengan Depresi Ekonomi, INFO" dan Kompas.com dengan judul "Resesi Atau Tidak Resesi, RI Harus Contoh China...", Klik untuk baca: 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved