Info Balitbang Kemenag

Masyarakat Menengah Muslim di Jawa Tengah, Jawa Timur dan D.I Yogyakarta Cukup Toleran dan Moderat

Selain peristiwa terorisme, dilaporkan bahwa telah terjadi berbagai tindak intoleransi dan kekerasan bernuansa agama di tiga daerah itu.

Editor: Ichwan Chasani
KOMPAS
Situs-situs yang diblokir karena diduga memuat konten terkait radikalisme. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir terjadi berbagai tindak intoleransi, radikalisme dan terorisme bernuansa agama di beberapa wilayah di Indonesia.

Dari pemberitaan media massa tercatat telah terjadi 90 kali peledakan bom dari tahun 1997 sampai 2002. Kemudian, di tahun tahun berikutnya terjadi rangkaian peledakan bom dengan berbagai sasaran meliputi fasilitas publik, tempat ibadah dan kantor kepolisian.

Peristiwa peledakan bom terbesar terakhir terjadi di tahun 2018 yaitu rangkaian peledakan bom di tiga gereja yang berbeda di Kota Surabaya, di kantor Mapolresta Surabaya, dan Rusunawa Wonocolo Sidoarjo.

Peristiwa peristiwa peledakan bom tersebut merupakan bukti bahwa di Indonesia terjadi aksi aksi terorisme.

Pelaku pelaku aksi bom bunuh diri dan penyerangan dengan meledakkan bom tersebut sebagianya dilaporkan merupakan anggota atau berafiliasi dengan kelompok tertentu seperti Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansyarut Daulah. Dua kelompok ini merupakan kelompok yang mengusung tegaknya khilafah Islamiyah.

Selain peristiwa terorisme, dilaporkan bahwa telah terjadi berbagai tindak intoleransi dan kekerasan bernuansa agama.

Laporan tahunan kehidupan beragama yang dirilis oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyebutkan bahwa di tahun 2018 telah terjadi beberapa kasus konflik bernuansa agama di Jawa Tengah.

Beberapa diantaranya, perusakan nisan salib di Magelang, perusakan kantor PCNU Blora, penganiayaan ulama di Kendal, penolakan imunisasi di Temanggung, pro kontra menyanyi di gereja Salatiga, penolakan jenazah teroris Brebes, dan pemanggilan jemaat aliran keagamaan di Pedurungan Semarang.

Selain itu, ada juga penolakan pemakaman penganut Sapta Darma, perusakan dua gereja dan sekolah kristen serta NU Center, penolakan peace train, penolakan ustadz Abdul Somad di Semarang, konflik MTA dan warga di Kebumen, penolakan MTA Wonosobo, penolakan ritual sedekah laut oleh FUI di Cilacap, penolakan peringatan Asyuro di Semarang.

Kasus kekerasan atas nama agama tersebut menjadi gambaran bahwa masih terdapat persoalan persoalan yang belum terselesaikan di masyarakat.

Akhir akhir ini juga dilaporkan terjadi masalah dengan rasa kebangsaan warga masyarakat Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tahun 2010-2011 di SMA di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi menunjukkan bahwa 50 persen pelajar setuju dengan tindakan radikal, 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi, 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju penerapan Syariat Islam di Indonesia.

Selain itu, 52,3 persen siswa setuju dengan penggunaan cara kekerasan untuk solidaritas agama, dan 14,2  persen siswa setuju dengan serangan bom.

Potensi intoleransi dan radikalisme

Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang pada tahun 2016, 2017 dan 2018 terhadap kelompok keagamaan, siswa SMA, dan mahasiswa terkait dengan keberagamaan dan konstelasi kebangsaan menunjukkan bahwa terdapat potensi intoleransi dan
radikalisme.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved