Ledakan di Beirut

Setelah Ledakan di Beirut, Demo Merebak, Sejumlah Menteri Mengundurkan Diri

Pengunduran diri menteri yang terbaru dilakukan oleh Menteri Kehakiman Marie Claude Najm

Penulis: | Editor: Bambang Putranto
afp/scmp.com
Sekitar pusat ledakan di Pelabuhan Beirut Lebanon luluh lantak 

Wartakotalive, Jakarta - Ledakan maha dahsyat di Ibu Kota Lebanon, Beirut, pekan lalu, menambah kemarahan warga negara tersebut. Aksi turun ke jalan menuntut pemerintah dibubarkan kian meningkat, dan bersamaan dengan itu sejumlah menteri mengundurkan diri.

Pengunduran diri menteri yang terbaru dilakukan oleh Menteri Kehakiman Marie Claude Najm.

Dalam surat pengunduran diri, yang dikabarkan aljazeera.com, Senin, 10 Agustus 2020, menteri perempuan itu menyebut alasan utamanya adalah ledakan maha dahsyat itu.

Marie Claude Najm juga meminta supaya pemerintahan dibubarkan, dan dilakukan percepatan pemilihan umum mengingat krisis sudah sedemikian parah.

Ledakan super dahsyat di Pelabuhan Beirut pada Selasa pekan lalu tersebut menewaskan lebih dari 150 orang, dan melukai lebih dari 5.000 orang.

Efek ledakan telah menyebabkan sekitar 300.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, karena hancur atau rusak parah.

Sedemikian kuat ledakan yang bersumber dari bahan kimia amonium nitrat itu, sampai suaranya terdengar sejauh 200 km.

Seorang warga berbalut bendera Lebanon melihat kondisi rumahnya yang hancur akibat ledakan di Beirut Selasa lalu
Seorang warga berbalut bendera Lebanon melihat kondisi rumahnya yang hancur akibat ledakan di Beirut Selasa lalu (AP/Aljazeera.com)

Sebelum terjadi bencana tersebut, negara berpenduduk sekitar 6,8 juta jiwa itu sudah dilanda krisis berbagai sektor.

Krisis ekonomi sudah melanda Lebanon sejak tahun lalu, yang mengakibatkan nilai tukar mata uang negeri itu merosot drastis.

Keadaan itu memaksa perbankan melakukan pengetatan uang beredar. Masyarakat yang mempunyai tabungan di bank dibatasi jumlah penarikan dananya.

Krisis ekonomi itu, menurut banyak kalangan di Lebanon, tak lepas dari ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan sistem politik yang transparan.

Semenjak berakhir perang saudara tahun 1990, sistem politik Lebanon diatur menggunakan kuota berdasarkan golongan/agama.

Kelompok besar yang mendominasi pemerintahan dan parlemen adalah Kristen, Islam Syiah, dan Islam Suni.

Selain itu, Lebanon juga mendapat beban berat menampung pengungsi dari Suriah, yang diperkirakan mencapai sekitar 1,2 juta orang.

Kemelut yang sudah akut tersebut, ditambah dengan bencana ledakan yang maha dahsyat itu, membuat banyak warga kian keras menyuarakan perubahan drastis dalam tata kelola pemerintahan.

Aksi turun ke jalan hingga hari ini masih terjadi, setelah meletus sejak Jumat lalu.

Sejumlah menteri pun sudah mengundurkan diri sebelum dilakukan oleh Menteri Kehakiman Marie Claude Najm.

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved