Ledakan di Beirut
Ledakan di Beirut: Bencana Itu Sudah Dikhawatirkan Sejak Enam Tahun Lalu
banyak orang Lebanon menuding akar masalahnya bersumber pada salah kelola negara yang sudah akut.
Penulis: |
Wartakotalive, Jakarta - Para pejabat di Lebanon sejak enam tahun lalu sudah mengendus bahaya amonium nitrat yang disimpan di gudang pelabuhan Beirut, yang menjadi pemicu ledakan dahsyat Selasa kemarin.
Namun, peringatan demi peringatan dari satu pejabat ke pejabat lainnya tak juga membuat zat kimia sebanyak 2.750 ton itu berpindah tempat.
Akhirnya, bahaya yang dikhawatirkan itu terjadi, dalam rupa ledakan maha dahsyat yang suaranya terdengar sampai 200 km.
Puluhan ribu bangunan termasuk rumah tinggal mengalami rusak parah, sehingga diperkirakan sekitar 250.000 orang terpaksa mengungsi.
Lebih dari 100 orang sudah terdata tewas, dan sekitar 4.000 orang mengalami luka-luka.
Seandainya peringatan yang sudah disuarakan sejak beberapa tahun lalu itu diindahkan, bencana itu tak akan terjadi.
Begini kisah peringatan itu, yang ditulis aljazeera.com, Rabu, 5 Agustus 2020.
Zat kimia amonium nitrat sebanyak 2.750 ton itu tiba di Pelabuhan Beirut pada September 2013.

Barang itu diangkut oleh kapal Rusia berbendera Moldova, Rhosus.
Berdasarkan informasi dari situs pendata lalulintas kapal laut, Fleetmon, kapal itu sedang dalam perjalanan dari Georgia (dekat Rusia) ke Mozambik di Afrika.
Kapal Rhosus terpaksa berlabuh di Pelabuhan Beirut karena mengalami masalah teknis.
Namun, pejabat Pelabuhan Beirut tak mengizinkan kapal itu melanjutkan perjalanan karena alasan tertentu.
Masalah itu lantas masuk ke pengadilan, tapi kasus berjalan berlarut-larut.
Kapal itu akhirnya ditinggalkan oleh pemilik dan awak kapal.
Amonium nitrat di kapal lantas diturunkan, dan disimpan di gudang besar Hangar 12.
Gudang besar itu menghadap jalan bebas hambatan yang menuju pusat kota Beirut.
Zat kimia tersebut merupakan bahan dasar untuk pupuk, dan bahan peledak.
Meski tidak berbau, zat ini perlu penanganan ekstra hati-hati.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 27 Juni 2014, kepala Bea Cukai Lebanon ketika itu, Shafik Merhi, mengirim surat kepada hakim yang tak disebutkan namanya, mohon petunjuk untuk penanganan zat kimia tersebut.
Namun, surat itu tak berbalas.

Pejabat Bea Cukai kemudian mengirim surat lagi, paling tidak sebanyak lima kali dalam kurun waktu tiga tahun, yakni pada 5 Desember 2014, 6 Mei 2015, 20 Mei 2016, 13 Oktober 2016, dan 27 Oktober 2017.
Dalam surat yang ditandai "urgent", Bea Cukai mengusulkan tiga opsi: amonium nitrat itu diekspor, diberikan kepada angkatan bersenjata Lebanon, atau dijual kepada perusahaan peledak milik swasta Lebanon.
Bagian dari surat itu berbunyi: "mengingat bahaya besar menyimpan barang itu di gudang dengan kondisi cuaca yang tak sesuai, kami kembali mendesak supaya barang itu diekspor kembali secepatnya demi keselamatan pelabuhan dan para pekerja, atau dijual kepada perusahaan peledak".
Lagi, lagi, surat itu tak dibalas sama sekali.
Tiga tahun kemudian dalam surat permohonan terakhir, 27 Oktober 2017, kepala Bea Cukai Lebanon yang baru, Badri Daher, kembali mohon petunjuk hakim tentang penanganan zat kimia itu.
Hasilnya, nihil. Amonium nitrat masih di gudang Hangar 12.
Akhirnya, terjadilah kekhawatiran itu pada Selasa, 4 Agustus 2020.
Presiden Lebanon Michel Aoun menyatakan bahwa kegagalan menangani amonium nitrat tersebut tak bisa diterima, dan berjanji akan memberi hukuman terberat bagi mereka yang bertanggung jawab atas masalah itu.
Tim penyelidik sudah dibentuk untuk menyelidiki kasus tersebut. Hasil temuannya diharapkan akan selesai dalam beberapa hari mendatang.
Penyebab ledakan itu memang masih belum jelas.

Ada sumber yang menyebut sumber ledakan dari kegiatan pengelasan di gudang itu, yang memicu reaksi dengan amonium nitrat.
Apapun penyebabnya, banyak orang Lebanon menuding akar masalahnya bersumber pada salah kelola negara yang sudah akut.
Salah kelola negara itu terjadi akibat sistem politik korup yang dibangun dari pembagian kekuasaan berdasarkan golongan, bukan berdasarkan prestasi, kapasitas, dan kapabilitas.
Pemerintahan negeri berpenduduk sekitar 7 juta orang itu diatur berdasarkan komposisi golongan: Kristen, Islam, Syiah, dan lainnya.
Pengaturan itu terjadi setelah negeri itu dicabik-cabik perang saudara yang berlangsung dari 1975 sampai 1990.
Perang antargolongan itu diperkirakan menewaskan 120.000 orang.
Itulah pula sebab mengapa pasukan perdamaian PBB, termasuk dari TNI, masih menjaga perdamaian di Lebanon.