Kabar Tokoh

Pengasingan di Parapat, Soekarno Kirim Surat Pakai Tulang Paha Ayam dan Sayur, Ini Kronologisnya

Bapak Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno menjalani pengasingan di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mulai 4 Januari 1949.

Editor: PanjiBaskhara
Istimewa
Soekarno saat menjalani pengasingan di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mulai 4 Januari 1949, pernah menulis surat menggunakan media tulang paha ayam dan sayur. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Soekarno mengirim surat rahasia menggunakan media tulang ayam jadi sejarah tidak terlupakan.

Bahkan, pernah Soekarno kirim surat rahasia pakai sayur pun pernah dilakukannya.

Ya, sejarah mencatat Bapak Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno menjalani pengasingan di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mulai 4 Januari 1949.

Bung Karno, bersama dua rekan seperjuangannya, Sutan Sjahrir (Perdana Menteri RI) dan Haji Agus Salim, lebih dulu dibuang ke Berastagi, Kabupaten Karo. Di sana, mereka ditahan sekitar 10 hari.

Soekarno dan Soeharto Sama-sama Lahir di Naungan Zodiak Gemini, Ini Keistimewaan Zodiak Gemini

Jelang New Normal, Bandara Soekarno Hatta Bolehkan Pengendara Motor Langsung ke Lokasi

Begini Cara Soekarno Berkomunikasi dengan Gerilyawan Saat Ditahan di Parapat, Tepi Danau Toba

Ketiganya kemudian diasingkan lagi ke kawasan tepi Danau Toba, tepatnya Parapat.

Rumah pengasingan itu dibangun Belanda pada tahun 1820.

Rumah berukuran 10 x 20 meter dengan arsitektur bergaya Eropa tersebut berdiri kokoh di atas lahan seluas dua hektare.

Ada dua pegawai yang selalu setia melayani Sang Proklamator RI di rumah pengasingan itu.

Keduanya adalah Buka Sinaga dan Sitindaon.

Dua orang itu menjadi perantara pesan rahasia Bung Karno kepada para pejuang gerilyawan.

Keberadaan Bung Karno di pengasingan ini diceritakan oleh Mangasi Sinaga (52), saat ditemui Tribun Medan, Sabtu (6/6/2020) di Pesanggrahan Bung Karno di Parapat.

Mangasi Sinaga merupakan generasi ketiga dari Buka Sinaga, satu dari sekian pegawai Presiden Soekarno yang bisa bertatap muka dengan Sang Proklamator saat di rumah pengasingan Parapat.

Soekarno di rumah pengasingan di Parapat, Simalungun, Sumatera Utara. (TRIBUN MEDAN / ist)

Mangasi mengaku mendapat cerita langsung dari kakeknya, Buka Sinaga, tentang keseharian Bung Karno selama di rumah pengasingan Parapat.

"Ketika Presiden Soekarno dibawa ke Parapat, kakek saya Buka Sinaga dan Oppung Tindaon, dua di antara pegawai Presiden Soekarno yang berada di sisinya," ujar Mangasi Sinaga.

Sebelum bercerita terkait kesan dan pengalamannya menjaga Pesanggrahan Bung Karno, Mangasi menceritakan terlebih dahulu kisah kakeknya yang menemani Soekarno di Parapat.

Pengakuan Buka Sinaga, cerita Mangasi, Presiden Soekarno mendapat pengawasan sangat ketat dari tentara Belanda.

Pesanggrahan Soekarno di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. (Tribun-Medan.com/Arjuna Bakkara)

Pengawasan itu melekat pula bagi pegawainya.

Karena itulah, Buka Sinaga terus menerus merasakan tekanan dan ketakutan lantaran bekerja sebagai pegawai Soekarno.

Apalagi, ketika itu suara dentuman meriam dan letusan senjata baik dari Danau Toba atau pun dari sebelah daratan Danau Toba, selalu menghantui hari demi hari

Buka Sinaga bukannya tak menyadari ancaman tersebut.

Soekarno di rumah pengasingan di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. (TRIBUN MEDAN / ist)

Pernah terbersit di benaknya untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai di Pesanggrahan.

Namun, Buka Sinaga dan Oppung Tindaon akhirnya memilih tetap loyal kepada Bung Karno.

Kata Mangasi, Buka Sinaga dan Oppung Tindaon sejak agresi militer Belanda II, bekerja sebagai pegawai di Pesanggrahan.

Sampai akhir hidupnya pun, Buka masih bekerja sebagai pegawai di Pesanggrahan.

Pesanggrahan Soekarno di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. (Tribun-Medan.com/Arjuna Bakkara)

Ia meninggal pada tahun 2002 dengan jumlah anak cucu 140-an orang.

Menurut Mangasi, yang diceritakan kakeknya, selama hampir 2 bulan aktivitas dan kegiatan Presiden Soekarno dikawal ketat oleh tentara kolonial Belanda supaya tidak bocor lagi informasi.

Setelah 1 bulan Soekarno berada di Parapat, di situlah Sang Proklamator bisa berkomunikasi dengan gerilyawan Indonesia melalui Oppung Tindaon dan Buka Sinaga.

Informasi kepada gerilyawan disampaikan melalui makanan dan sayur-sayuran.

Soekarno meminta Oppung Tindaon untuk membawakan makanan paha ayam.

Setelah selesai makan, Soekarno membersihkan tulang paha ayam agar bisa menyelipkan surat di bagian dalam tulang tersebut.

Setelah itu, Soekarno memberitahukan kepada Oppung Tindaon dan Buka Sinaga bahwa dari sisa makanan tulang paha ayam itu, terdapat sebuah surat untuk disampaikan kepada gerilyawan Indonesia.

Begitu juga ketika Presiden Sukarno jalan-jalan di luar rumah.

Ia meminta tolong kepada Buka Sinaga dibawakan sayur kangkung.

Dari batang kangkung itulah Soekarno memasukkan surat untuk diberikan kepada gerilyawan Indonesia.

Setelah beberapa kali komunikasi lancar dan informasi sampai TNI, kemudian diutus pasukan untuk menjemput Presiden Soekarno di Parapat.

Prajurit TNI dan para pejuang gerilyawan kemudian bergerak mengepung Parapat, baik dari daratan maupun kawasan Danau Toba.

Tetapi, pergerakan tersebut ditahan oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dengan alasan mau dipindahkan ke Bangka.

Akhirnya Soekarno dibawa ke Bangka pada Maret 1949, dan di situlah dia dipertemukan dengan pemimpin lainnya, antara lain Bung Hatta.

Lebih jauh disampaikan Mangasi, ketika itu memang pemisahan atau pengkotak-kotakan jelas dilakukan Belanda, yang dikenal dengan bahasa "Devide Et Impera”.

Sejumlah orang di Parapat ada yang diangkat dengan jabatan yang lebih tinggi dengan sebutan Tuan, dan di sisi lain ada yang tetap jadi pesuruh seperti kakeknya, Buka Sinaga yang menjadi tukang kebun.

"Saat itu memang sudah dikotak-kotakkan, ada yang jadi tuan dan ada yang tukang kebun seperti Oppung Buka dan Oppung Tindaon"

"Makanya ada pengangkatan nama Tuan. Diangkat lima orang tuan, itulah orangnya Belanda," ujar Mangasi.

Bangga Jaga Pesanggrahan

Disinggung soal kesan menjaga rumah bersejarah bagi Bangsa Indonesia itu, Mangasi mengatakan rasa senang dan bangga bisa menjaga pesanggrahan tersebut.

Kata Mangasi, nama besar Soekarno membuatnya merasa bertanggung jawab secara moral menjadi penjaga rumah tersebut.

"Nama Besar Bapak Proklamator membuat kita ada tanggung jawab moral, dan sangat berarti bagi saya dan keluarga," kata Mangasi.

Mangasi tidak mau berkomentar banyak, selain hanya merasa bersyukur dan menganggap suatu kehormatan baginya menjaga pengasingan Bung Karno di kampung halamannya itu.

Namun, secara pribadi dia berharap agar ada perawatan yang lebih baik dari pemerintah di pensanggrahan tersebut, tanpa menghilangkan nilai dan estetika sejarah.

Menurut Mangasi, anak-anak Presiden Soekarno beberapa kali datang ke Parapat mengunjungi tempat pengasingan itu.

"Menariknya mereka selalu memperhatikan apa yang pernah ditempati bapaknya. Secara khusus, juga Yayasan Bung Karno pernah mengundang satu di antara pegawai ke Jakarta untuk diberikan bentuk penghargaan pada beberapa tahun lalu," ujarnya.

Seingat Mangasi, anak-anak Soekarno yang pernah berkunjung yakni Guruh Soekarmoputra sekitar tahun 1988-89, Sukmawati pada tahun 1992, dan Megawati tahun 2004 saat menjabat Presiden RI.

Kata Mangasi, Guruh Soekarnoputra ingin keaslian Pesanggrahan seperti saat ayahnya tinggal di sana.

Ia bahkan meminta agar ditanam kembali pohon beringin di titik yang dulunya pernah ada di lokasi tersebut.

Menurut Mangasi, beberapa waktu silam pernah mencuat wacana pembangunan Monumen Bung Karno di Parapat. Sayangnya, rencana itu tersendat hingga saat ini.

“Semoga rencana pembangunan itu nantinya bisa diwujudkan,” ujarnya. (Jun-tri bun-medan.com)

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul "Jejak Sejarah Bung Karno di Parapat, Kirim Surat Rahasia Lewat Tulang Paha Ayam dan Sayur"

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved