Berita Jakarta
Larangan Ondel-Ondel Jadi Alat Ngamen di Jalanan, Sekda DKI Sebut Ikon Betawi Harus Elegan
Larangan ondel-ondel jadi alat ngamen di jalanan, ditanggapi langsung Sekretaris Daerah atau Sekda DKI Jakarta Saefullah.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Panji Baskhara
Terkait larangan ondel-ondel jadi alat ngamen di jalanan, ditanggapi langsung Sekretaris Daerah atau Sekda DKI Jakarta Saefullah.
Ia berpandangan, ondel-ondel sebagai ikon Betawi Jakarta, sehingga untuk keberadaan ondel-ondel harus elegan di Jakarta.
Maka itu, ondel-ondel baiknya digunakan di tempat dan acara tertentu yang baik, utamanya berkaitan langsung dengan kebudayaan Betawi.
“Ondel-ondel sebagai ikon Betawi harus kita angkat, kan ada Perda (Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi), tapi kehadirannya harus elegan yah,” ujar Saefullah di Balai Kota DKI pada Selasa (11/2/2020).
• Pemprov DKI Ingin Larang Ondel-Ondel untuk Mengamen, Sejarawan Ingatkan Kejadian Tahun 1950-an
• VIDEO: Cap Gomeh di Jatinegara di Meriahkan Ondel-ondel Hingga Reog
• Wujudkan Kota Layak Anak, Ondel-Ondel yang Berkeliaran di Kota Depok Bakal Ditertibkan
Hal itu dikatakan Saefullah untuk menanggapi rencana Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta untuk melarang pemakaian ondel-ondel sebagai alat mengamen.
Mantan Wali Kota Administrasi Jakarta Pusat ini menyatakan, bila keberadaan para seniman jalanan pakai ondel-ondel mengganggu ketertiban umum, aturannya bakal dicek ulang.
“Keberadaan ondel-ondel harus berada di tempat yang punya makna, hikmat maupun yang bernuansa kemasyarakatan"
"Kalau digunakan ngamen, mengganggu ketertiban umum, akan kami cek ulang,” jelasnya.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta sedang mencari solusi soal larangan penggunaan ondel-ondel sebagai alat mengamen di jalanan.
Melalui kebijakan ini diharapkan masyarakat dapat menghormati ikon budaya Betawi tersebut.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan, pihaknya masih bahas soal larangan ondel-ondel sebagai alat mengamen dengan para pemangku kepentingan.
Di antaranya tokoh Betawi, sejarawan, budayawan, organisasi Badan Musyawarah (Bamus) Betawi DKI Jakarta dan sebagainya.

Hasil keputusan yang dikeluarkan juga masih dipikirkan dari maklumat, imbauan hingga surat pelarangan.