Kolom Trias Kuncahyono
Sembilan Tahun Lalu di Tunisia
Bouazizi bukan seorang revolusioner dan tidak memiliki niat untuk mengobarkan revolusi.
Sembilan tahun lalu di Tunisia aksi membakar diri pedagang buah Mohamed Bouazizi sembilan tahun silam di Tunisia telah mengobarkan perlawanan rakyat dan menebar benih demokratisasi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara hingga kini.
Sembilan tahun lalu, Jumat 17 Desember 2010, Tunisia menjadi tempat lahir gerakan perlawanan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara. Gerakan ini—yang kemudian lebih populer disebut sebagai Revolusi Musim Semi (Arab Spring) ada yang menyebut sebagai Kebangkitan Arab (Arab Awakening), ada juga menyebut sebagai Revolusi Martabat—telah menginspirasi gerakan serupa di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Inilah revolusi di kawasan tersebut sejak Revolusi Iran pada tahun 1979 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Shah Iran dan lahirnya Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Tidak ada yang pernah menduga bahwa apa yang dilakukan seorang pedagang kaki lima yang menjual buah-buahan dan sayur-mayur di Sidi Bouzid, Tunisia Tengah, Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi atau Mohamed Bouazizi, telah mengobarkan api perlawanan rakyat di sejumlah negara untuk melawan penguasa yang dianggap mengkhianati rakyat.
Dikuasai oleh keputusasaan dan semangat untuk memprotes perlakuan pihak berwenang yang dirasakan tidak manusiawi, Mohamed Bouazizi, membakar diri. Bouazizi bukan seorang revolusioner dan tidak memiliki niat untuk mengobarkan revolusi.
Ia tidak memiliki agenda politik sama sekali. Apalagi memiliki agenda untuk mengubah institusi yang ada di negerinya. Bouazizi 'hanyalah' seorang pemuda berusia 26 tahun, pedagang kaki lima, yang merasakan sulit dan kerasnya hidup, yang orangtuanya sudah berumur.
Akan tetapi, yang dilakukan pada hari Jumat itu, membakar diri di depan balai kota, telah menggugah dan menggerakkan hati—mula-mula—orang sekampungnya, kemudian sekotanya, dan akhirnya senegaranya untuk melawan penguasa yang korup, yang mengkhianati rakyat, yang mementingkan diri sendiri, keluarganya, dan kelompoknya.
Tindakan bakar diri yang dilakukan Bouazizi tak pelak lagi adalah sebuah pernyataan yang tegas, mengejutkan, sekaligus mengerikan dan yang kemudian bergema dalam hati generasi muda di negerinya, yang merasakan bahwa jalan politik dan harapan ekonomi bagi mereka tertutup.
Menggerakkan generasi yang hidup di bawah sistem tirani (Adeed Dawisha, 2013).
Gerakan perlawanan, demonstrasi, tanpa dikomando mula-mula pecah di Sidi Bouzid, lalu merambet ke kota-kota sekitar, kemudian ke kota-kota di Tunisia Tengah.
Hari-hari berikutnya, kaum muda yang tak punya pekerjaan karena memang teramat sulit mencari pekerjaan bergabung turun ke jalan, disusul mahasiswa, anggota serikat buruh, pengacara, dan akhirnya kaum profesional pun ikut bergabung turun ke jalan melawan penguasa dan pemerintah.
Inilah gerakan murni dari rakyat. Gerakan tanpa pemimpin. Mereka bergerak karena kemarahan. Marah kepada pemerintah, kepada penguasa yang korup.
Oleh karena ini gerakan rakyat tanpa pemimpin, sulit bagi penguasa untuk menindak tegas, menangkapi para pemimpinnya.
Kalau aparat keamanan—polisi atau tentara—menembak massa, berarti mereka menembak mungkin saudara-saudaranya sendiri atau bahkan anak-anaknya sendiri. Tetapi, korban tetap ada.