Sikap Jokowi Dinilai Tak Jelas, Mau Terapkan Hukuman Mati kepada Koruptor tapi Malah Berikan Grasi

KEINGINAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghukum mati koruptor, dinilai hanya wacana dan gaya semata.

Editor: Yaspen Martinus
ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan disela penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian dan Lembaga, serta Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2020 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/11/2019). Presiden mengatakan bahwa DIPA yang ditransfer ke kementerian dan lembaga sebesar Rp909 Triliun dan Rp556 triliun untuk pemerintah daerah beserta dana desa secepatnya digunakan terutama untuk belanja modal. 

KEINGINAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghukum mati koruptor, dinilai hanya wacana dan gaya semata.

Kini, Jokowi dinilai tak membagul pemberantasan korupsi.

Oktober lalu, Jokowi memberikan grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun.

Anak dan Menantu Jokowi Ikut Pilkada 2020, Pengamat: Kekuasaan Itu Candu dan Sukar Dihindari

Annas adalah terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan.

Menurut pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar, kebijakan grasi dengan wacana hukuman mati koruptor saling bertentangan.

Karena itu, ia menyebut Jokowi bersikap ambivalen. Bahkan, ia menilai komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi patut diragukan.

Indeks Kerukunan Umat Beragama di Jakarta Rendah, Ini yang Dilakukan Anies Baswedan

"Pak Jokowi telah membuka peluang untuk penerapan hukuman mati kepada koruptor, tapi di sisi lain dia juga memberikan grasi kepada koruptor," ujar Fickar kepada wartawan, Kamis (12/12/2019).

"Tidak jelas arahnya, jangan-jangan komitmen terhadap pemberantasan korupsi pun begitu. Buktinya Pak Jokowi setuju UU KPK direvisi dan KPK dilemahkan," tuturnya.

Ia juga menyayangkan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut hukuman mati diberlakukan dalam keadaan tertentu.

Dosen Ini Tak Nyaman Dikabarkan Jadi Anggota Dewan Pengawas KPK, Mantan Hakim Agung Enggan Komentar

Keadaan tertentu merupakan pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi, apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, seperti bencana alam nasional.

"Sehingga harus dipenuhi unsur kondisi tertentu yaitu residivis (pengulangan tindak korupsi), bencana alam atau keadaan perang. Kondisi ini jarang ditemui," jelas Fickar.

Menurut dia, hukuman yang paling efektif bagi koruptor adalah dengan pendekatan asset recovery.

Bakal Digugat Uni Eropa, Jokowi: Jangan Keok!

Caranya, mengambil harta koruptor sebanyak banyaknya atau memiskinkan koruptor.

Melalui pendekatan asset recovery, semua akses napi koruptor terhadap dunia ekonomi harus ditutup.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved