Kalau Ada Peserta Pilkada Tak Bayar, Mendagri Tito Karnavian Ingin Ketemu Orangnya
Tito mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, salah satu alasan dirinya mengusulkan evaluasi pilkada secara langsung adalah karena biaya politik yang tinggi.
Tito menjelaskan, biaya politik mahal itu mulai dari dana yang dikeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bahkan, kata dia, calon kepala daerah juga mengeluarkan biaya tinggi.
Tito mengatakan, tidak ada yang gratis dalam pilkada langsung.
• Mengaku Dukung Anies Baswedan di Pilkada 2017, Kini Kecewa Pemukimannya Dibongkar Paksa
• Pastikan Pilkada Tetap Digelar Langsung, Jokowi Dinilai Tak Mungkin Khianati Panggungnya Sendiri
• Tri Adhianto Dipastikan Maju Jadi Calon Wali Kota Bekasi di Pilkada 2024
Ia mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada.
"Untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp 30 miliar, enggak berani," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
"Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan enggak bayar, 0 persen, saya pengin ketemu orangnya," ujar Tito Karnavian.
Tito mengatakan, biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah biasanya digunakan untuk kampanye, saksi di TPS dan lainnya.
• Oknum Satpol PP Jakbar Bobol Bank DKI, Tarik Uang di ATM Hingga Rp 32 Miliar Tanpa Saldo Berkurang
Tito pun membandingkan, jumlah pengeluaran calon kepala daerah dengan gaji yang diterima sebagai kepala daerah.
Menurut dia, tiap kepala daerah akan rugi, karena gaji dan modal politik yang dikeluarkan tidak sebanding.
"Sementara dilihat pemasukan dari gaji, Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 M, keluar Rp 30 M. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa-bangsa," ujar mantan Kapolri ini.
Berdasarkan biaya politik itu, menurut Tito, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sering menimpa kepala daerah adalah hal yang biasa.
Sebab, sistem politik yang menyebabkan mereka melakukan hal tersebut.
"Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu tetap korupsi. Kalau enggak ada yang memang tidak melakukan itu, kita sangat bersyukur," tuturnya.
• Aturan Terkait Skuter Listrik Digodok Sampai Akhir Bulan agar Menjadi Peraturan Angkutan Perorangan