Panjang Trotoar Baru Jakarta Dipangkas 8 Kilometer
Panjang trotoar baru yang dibangun Pemprov DKI dipangkas 8 kilometer karena anggaran yang diajukan tak seluruhnya disetujui DPRD DKI.
Panjang trotoar baru yang dibangun Pemprov DKI dipangkas 8 kilometer karena anggaran yang diajukan tak seluruhnya disetujui DPRD DKI.
Pembangunan trotoar di Jakarta terpaksa dikurangi delapan kilometer pada 2020 mendatang. Sebab usulan kegiatan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun, dipangkas Komisi D DPRD DKI Jakarta sebesar Rp 204 miliar menjadi Rp 996 miliar.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, usulan anggaran sekitar Rp 1,2 triliun ditujukan untuk menata 31 titik trotoar dengan panjang 103,74 kilometer.
• Proyek Pelebaran Trotoar Interaktif Anies Jadi Lintasan Sepeda Motor
Namun karena anggaran itu dipangkas, maka penataan trotoar menjadi 95 kilometer saja.
“Jadi yang skala prioritas harus dikerjakan, tetapi penataan trotoar yang bersamaan dengan LRT bisa kami hold (tunda) dulu, seperti di Jalan Letjen Suprapto,” kata Hari Nugroho pada Kamis (14/11/2019).
Hari menjelaskan, pemangkasan anggaran trotoar terjadi pada dua paket pengerjaan. Paket pertama dikurangi Rp 152,4 miliar untuk Jalan Letjen Suprapto dan Jalan Kebon Sirih.
• Anggota DPR Komisi IV Inspeksi Trotoar di Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat
“Sedangkan paket kedua dipangkas Rp 51,6 miliar untuk Jalap Balap Sepeda dan Jalan Kayu Putih,” ujarnya.
Pada tahun 2016, Dinas Bina Marga DKI sudah menata trotoar sepanjang 47,97 kilometer. Lalu pada tahun 2017 mencapai 78,75 kilometer.
Kemudian pada 2018 kembali meningkat jadi 118 kilometer. Terakhir di tahun 2019, ditargetkan ada sepanjang 67,44 km trotoar yang ditata dan 2020 ada sepanjang 103,74 km.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Yuke Yurike mengatakan, Komisi D memangkas anggaran penataan pedestrian karena menganggap usulan yang disampaikan dinas terlalu besar mencapai Rp 1,2 triliun. Padahal masih ada persoalan lain yang harus ditangani pemerintah seperti penanggulangan banjir, kemacetan dan sebagainya.
“Anggaran yang diajukan itu menyedot sekitar 35 persen dari rencana kerja dinas itu sendiri mencapai Rp 3 triliun,” ujar Yuke.

Di sisi lain, keuangan daerah juga kurang begitu baik karena terancam defisit. Hal ini dipicu karena tertundanya pemberian dana bagi hasil (DBH) dari Pemerintah Pusat sebesar Rp 6,39 triliun, sehingga menjadi piutang pada 2020 mendatang.
“Jadi perlu ada efisiensi untuk menyesuaikan postur anggaran, makanya usulan itu dipangkas,” katanya.