Mahitala Unpar

Ekspedisi Caving Mahitala Unpar 2019 Ungkap Goa Misteri di Halmahera Tengah, 6 Tahun Tak Terjamah

Enam tahun tersembunyi sejak ditemukan, goa misterius berbentuk sumuran diungkap Ekspedisi Caving Mahitala Unpar di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Dok.Mahitala Unpar/Vitalis Viant
Tim Ekspedisi Caving Mahitala Unpar 2019 menuruni sinkhole yang disebut goa misteri oleh warga Tobelo Dalam di pedalaman Taman Nasional Halmahera Tengah, Maluku Utara. 

Enam tahun setelah pertama kali ditemukan tersembunyi di tengah lebatnya hutan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, goa misterius berbentuk sumuran berhasil ditelusuri tim Ekspedisi Caving Mahitala Unpar di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Tim beranggota tiga anggota aktif Mahitala Unpar dari Bandung ditemani beberapa penduduk setempat dan petugas jagawana menyusuri perbukitan karst di kawasan TNAL sekitar sepuluh hari pada 31 Juli sampai 8 Agustus 2019 lalu. 

Kepada Warta Kota, ketua tim Fairuz Nafis menceritakan pengalamannya bersama Andika Wilmar dan Vitalis Viant menyusuri goa-goa di Halmahera Tengah.

Ekspedisi tersebut merupakan bagian dari program pengembaraan bagi anggota muda yang baru bergabung dengan Mahitala Unpar.

Tim Ekspedisi Caving Mahitala Unpar 2019
Tim Ekspedisi Caving Mahitala Unpar 2019 (Dok Mahitala Unpar)

DEGUP jantung begitu terasa di dada.

Rasa gembira bercampur haru meruak menguasai tubuh kami.

Senyum kecil tersungging terus di bibir.

Tidak biasanya, malam itu terasa sangat mengesankan.

Halaman depan Sekretariat Mahitala Unpar di Ciumbuleuit ramai oleh teman-teman yang hendak melepas kami pergi ke Maluku melaksanakan penelusuran goa di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata.

Hampir tiga bulan kami persiapkan diri untuk melaksanakan ekspedisi ini dengan target menemukan goa tanpa nama yang disebut warga setempat sebagai goa misteri.

Dari informasi yang kami peroleh, goa berbentuk sinkhole atau sumuran itu terletak di pedalaman Halmahera Tengah, di tengah hutan kawasan TNAL.

Sinkhole goa misteri tersembunyi ditengah lebatnya hutan Taman Nasional Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Sinkhole goa misteri tersembunyi ditengah lebatnya hutan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Halmahera Tengah, Maluku Utara. (istimewa/Mahitala Unpar)

Mungkin karena letaknya yang sulit dan butuh peralatan vertical caving, goa itu tak tersentuh manusia, meski penduduk sekitar pernah melihat atau mendengarnya.

Sekurangnya enam tahun setelah pertama kali ditemukan atau terlihat oleh penduduk setempat, barulah goa itu bisa ditelusuri tim kami.

Kami bersatu dalam doa lalu lantang memecah keheningan malam itu dengan seruan “Mahitala!” dan berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta.

Setelah empat jam mengudara dari Jakarta, tiba di Bandara Sultan Baabullah Ternate, rekan-rekan anggota kelompok pencinta alam Karfapala Universitas Khairun sudah menunggu. 

Beberapa saat kami luangkan waktu untuk melengkapi logistik di Ternate lalu langsung menyambung perjalanan menuju pedalaman dengan menggunakan ferry menyeberangi Selat Halmahera.

Halmahera Tengah
Halmahera Tengah (istimewa)

Kapal pun bersandar dan mobil milik Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) sudah menanti.

Kami meluncur menuju Kantor Balai TNAL untuk berkoordinasi dan memaparkan detail perjalanan sebagai bentuk kerjasama yang telah terjalin sebelumnya.

Kawasan TNAL menyimpan keragaman fauna yang unik.

Salah satunya adalah satwa endemik burung bidadari (Semioptera wallacii) yang konon sangat sulit dijumpai.

Nyatanya selama penjelajahan di dalam kawasan, kami tak bersua dengan si bidadari hutan yang termasuk jenis burung Cendrawasih berukuran sedang itu. 

Burung Bidadari
Burung Bidadari (wildborneo.com)

Satu hal yang jelas menjadi daya tarik bagi kami ialah keberadaan goa besar yang belum diketahui persis letaknya.

Informasi yang kami dapat goa tanpa nama itu disebut goa misteri oleh warga Suku Tobelo, penduduk asli penghuni hutan TNAL.

Sebelum menuju lokasi perkiraan posisi goa, kami bermalam di wisma Balai TNAL dan berdiskusi mengenai suku penghuni hutan kawasan TNAL bersama warga Desa Kobe.

Banyak cerita menarik yang kami dapatkan dari warga setempat.

Salah satunya mengenai kemampuan penduduk pedalaman mengenal lingkungan tempat tinggalnya yang berupa hutan lebat.

Sejumlah warga mengaku sekurangnya pernah mendengar tentang keberadaan goa besar  yang dari dalamnya mengalir sungai jernih.

Pada akhir pembicaraan, seorang pria tua dengan rambut yang sudah mulai memutih mengenakan topi datang dan bergabung bersama kami.

Pria ini adalah keturunan dari suku Tobelo Dalam, suku asli penghuni hutan TNAL.

Om Mercure namanya.

Dia akan menjadi mata jalan yang bersedia menemani kami selama perjalanan untuk beberapa hari kedepan.

Penjelajahan dimulai

Suara dering ponsel membangunkan kami di pagi hari yang sunyi.

Suasana Desa Kobe pada pagi hari benar-benar damai dan tentram.

Warga sangat ramah dan saling bertegur sapa bila berjumpa.

Om Mercure bersama sejumlah rekannya datang untuk ikut melakukan perjalanan panjang bersama kami.

Segala kebutuhan logistik sudah siap dan kami angkut dengan ransel besar yang masing-masing beratnya 25kg.

Beberapa koli barang juga diangkut warga yang ikut berjalan.

Kami juga ditemani dua pendamping dari TNAL yakni Faisal dan Atiti.

Saat hari masih gelap, kami berangkat meninggalkan desa melalui jalan setapak menuju hutan. 

Semakin lama hutan semakin rapat dan penuh semak-semak.

Diiringi oleh senandung merdu serangga hutan kami terus berjalan.

Langit berbintang bisa kami lihat dengan jelas.

Suasana menenteramkan hati sungguh meringankan beban yang kami pikul.

Hari itu kegiatan kami hanyalah berjalan menyusuri sungai menuju lokasi goa sambil menemukan tempat bermalam sementara. 

Sungai Fidi meliuk-liuk dengan airnya yang bening.

Kami berjalan mengikuti aliran sungai dan kadang menyeberanginya untuk berpindah punggungan. 

Berjalan seharian penuh sampai senja menjelang sungguh menguras tenaga.

Di satu titik kami bertemu rumah kayu tak berpenghuni yang menjadi tempat kami bermalam.

Om Mercure berjalan seperti warga Tobelo pada umumnya.

Berjalan cepat menembus hutan seperti sudah tahu persis arah yang dituju meski tak ada jalan.

Mengenakan kaos putih dan celana panjang kain, beralas kaki sandal jepit, dan membawa golok panjang di pinggang.

Agak berbeda dengan gambaran orang Tobelo Dalam yang saya dapat informasinya.

Biasanya menggendong parang besar di dadanya dan membuat alas kaki dari daun sagu yang banyak terdapat di hutan.  

goa
Menyusuri sungai di perbukitan karst. (Dok. Mahitala Unpar)

Om Mercure lancar berbahasa indonesia, namun kepada sesama porter dan petugas TNAL, ia berbicara bahasa Tobelo.

Ada cerita menarik dari warga desa yang saya temui.

Pernah ada seorang warga Tobelo Dalam-beberapa orang menyebut mereka Suku Togutil-yang pergi dari hutan untuk menetap di desa selama bertahun-tahun.

Setelah lama meninggalkan hutan, orang tersebut kembali untuk menemui kerabatnya, namun dengan menutupi sekujur tubuh dan hanya menyisakan kakinya yang tak ditutupi apapun.

Saat bertemu, si kerabat masih mengenali orang tersebut karena warga Suku Tobelo Dalam mampu mengenal lingkungan dan penghuninya walaupun hanya dengan melihat kakinya saja.

Bermalam di hutan

Rumah kayu yang kami temui di hutan dibangun warga Tobelo memang untuk beristirahat saat menjelajah hutan.

Malam mulai larut, perut yang telah terisi membuat mata mulai mengantuk.

Kami terlelap dalam tidur di sebuah rumah kayu tak berpenghuni itu.

Perjalanan hari berikutnya semakin menantang.

Kami melintasi hutan dengan pepohonan besar yang kokoh akarnya, melintasi sungai yang alirannya tenang dan melintasi rawa-rawa yang didiami nyamuk.

Kepakan sayap burung rangkong yang menyerupai baling-baling helikopter terdengar semakin jelas seiring kami memasuki kawasan hutan lebih dalam lagi.

Burung-burung rangkong dengan paruh menyerupai tanduk itu seolah berceloteh tak henti-hentinya menyambut kedatangan kami.

Tak lama kemudian sebuah tebing batu putih sayup-sayup terlihat di sela pepohonan.

Tebing karst ditengah hutan lebat.
Tebing karst ditengah hutan lebat. (Dok Mahitala Unpar)

Bukit kapur yang menjadi ciri khas kawasan karst.

Mungkin disanalah tujuan kami berada.

Rasa suka cita seakan membakar semangat.

Dalam kegiatan caving atau penjelajahan goa, saat survei awal mencari mulut goa, menemukan perbukitan atau cekungan khas di kawasan karst yang disebut doline kerap mendatangkan kegembiraan tersendiri.

Goa misteri
Sungai mengalir dari dalam lorong. (Dok Mahitala Unpar)

Sebab, di area semacam itulah pintu masuk goa biasanya berada.

"Jangan-jangan sinkhole-nya ada di balik bukit itu," kata Wilmar memecah keheningan.

Dibalik semak-semak tinggi di tepian Sungai Fidi ada lagi sebuah rumah kayu yang kami jadikan basecamp untuk menjelajah di bukit kapur yang terlihat di depan mata.

Mulut goa.
Mulut goa. (Dok Mahitala Unpar)

Perjalanan menuju sinkhole yang oleh penduduk disebut sebagai goa misteri sangatlah menguras tenaga.

Kami mendaki perbukitan kapur yang ditumbuhi hutan lebat dengan tajuk pepohonan dan akar-akar yang besar.

Lerengnya cukup terjal untuk sampai ke mulut sinkhole yang ada di puncak bukit.

Seiring perjalanan kami menuju mulut sinkhole, terdapat suatu goa kecil yang tak begitu dalam.

Goa ini tersembunyi diantara pepohonan.

goa
Mengamati sarang burung. (Dok Mahitala Unpar)

Sayup-sayup terdengar suara aliran air yang deras.

Hawa yang bertiup dari dalam goa terasa dingin dan sosok tebing putih kami lihat di depan mata terhalang oleh rimbunnya dedaunan.

Kami terus memanjat tebing putih itu hingga sampai ke puncaknya dan berdiri di pinggiran jurang yang merupakan mulut sinkhole.

Saat pertama kali melihat lubang raksasa itu saya langsung terkesiap.

Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan melihat bentukan alam yang sangat dahsyat karya Allah di tengah hutan terpencil seperti ini.

Lubang sinkhole itu berdiamter sekitar 165 meter dengan kedalaman 120 meter. 

Melalui pepohonan di lereng di atas tebing terlihat jelas sungai yang mengalir deras di dasar sinkhole ini.

goa
goa (Dok Mahitala Unpar)

Kami lalu berbagi tugas dan mempersiapkan peralatan SRT untuk vertical caving.

Viant menjadi leader masuk ke dalam sinkhole.

Jangkar utama kami tambatkan pada dua pohon besar dekat mulut goa lalu Viant mulai turun menggunakan descender.

Viant membuat rigging beberapa pitch untuk menghindari gesekan tali dengan batuan.

Setelah pitch terakhir pada kedalaman 20 meter, barulah Viant membuat jangkar lagi untuk menambatkan tali yang menjuntai bebas sampai ke dasar goa (long pit). 

Hutan di mulut goa.
Hutan di mulut goa. (Dok Mahitala Unpar)

Kami menembus dedaunan puncak pohon di dasar goa yang telah memutih terkena debu kikisan tebing karst tua ini.

 Tali dimasukkan ke dalam tas yang digantung menggunakan maillon.

Sampai di dasar goa, kami lihat sungai yang mengalir deras dan jernih.

Kami menduga aliran Sungai Fidi juga bersumber dari dalam goa ini.

Di sekitar sungai banyak dijumpai sekumpulan tumbuhan perintis yang menyelimuti bebatuan.

Dalam keremangan, gerakan-gerakan kecil mulai tertangkap mata.

Sekumpulan laba-laba kecil sibuk memperluas jerat mereka dan beberapa capung kecil dengan warna yang menawan hilir mudik dengan lincah seakan-akan tidak menghiraukan bahaya yang mengancam mereka.

Laba-laba goa.
Laba-laba goa. (Dok Mahitala Unpar)

Ketika kami menoleh ke kanan ke arah tenggara, sebuah lorong besar dengan stalaktit menjuntai menelan derasnya air sungai.

Sungai deras dan jernih mengalir di dasar goa.
Sungai deras dan jernih mengalir di dasar goa. (Dok Mahitala Unpar)

Kami telusuri lorong itu sampai ke ujungnya dimana terlihat jelas tajuk pepohonan yang tinggi dan ramping.

Bebatuan bertaburan tak teratur membuat medan yang sulit dilalui.

Di beberapa tempat sepanjang lorong goa ini kami jumpai empat air terjun dengan ketinggian beragam berkisar antara lima hingga tujuh meter.

Menyusuri lorong.
Menyusuri lorong. (Dok Mahitala Unpar)

Di bawah air terjun terdapat rimstone pool atau kolam berundak yang lumayan dalam.

Rimstone pool
Rimstone pool (Dok Mahitala Unpar)

Pada kolam-kolam itu kami sempat menemui biota berupa udang, ikan serta kelelawar kecil yang jumlahnya terbilang sedikit untuk lorong sebesar ini.

Terkadang harus merangkak.
Terkadang harus merangkak. (Dok Mahitala Unpar)

Bebatuan di dalam gua nampak semakin hijau diselimuti lumut menjelang ujung lorong ini.

Tak jauh dari mulut gua yang memiliki vegetasi lebat, kami menjumpai sebuah gua kecil dengan panjang sekitar delapan meter di sisi sungai.

goa misteri
Lorong di dalam goa misteri (Dok Mahitala Unpar)

Lorong horisontal sepanjang 301 meter yang kami telusuri ternyata menghubungkan dua sinkhole.

Seharian kami habiskan waktu untuk membuat dokumentasi, memetakan lorong tersebut, dan menulis sejumlah detail untuk laporan. 

Atau merayap...
Atau merayap... (Dok Mahitala Unpar)

Setelah eksplorasi hari pertama itu, kami kembali ke basecamp. 

Saat melakukan pemetaan, Wilmar menjadi stasioner yang jalan terlebih dahulu untuk menentukan titik-titik stasiun dan Viant sebagai shooter yang mengukur jarak menggunakan laser distometer.

Pemetaan goa
Pemetaan goa (Dok Mahitala Unpar)

Saya menentukan arah menggunakan kompas dan mengukur ketinggian menggunakan klinometer, serta mencatat semua hasil pengukuran serta deskripsi bentuk goa, ornamen yang ada, dan temuan flora fauna di dalamnya.

Untuk dokumentasi, Viant bertugas memotret dan mengambil gambar video dan Wilmar menulis detail kegiatan untuk dijadikan cerita perjalanan.

Mengukur jarak dan arah.
Mengukur jarak dan arah. (Dok Mahitala Unpar)

Pada 100 meter pertama dari mulut gua, banyak ditemukan guano dan liur kelelawar di bebatuan di dasar gua.

goa
Mengamati flowstone. (Dok Mahitala Unpar)

Baunya sangat khas menusuk hidung seperti aroma belerang.

Aliran lembut angin membuat lorong tak terasa pengap karena ventilasi yang bagus.

Makin ke dalam lorong, kelelawar semakin sedikit dan tanah lembut itu berwarna coklat muda dan lembab.

goa
Istirahat sejenak. (Dok Mahitala Unpar)

Biota yang kami temui berupa jangkrik gua, kelelawar, udang, kepiting, dan sidat atau sejenis ikan dengan tubuh yang panjang.

Sidat itu sudah menjadi bangkai yang sedang dikerumuni oleh udang dan kepiting dan serangga putih yang tidak kami ketahui jenisnya.

Beragam sosok

Sungai di lorong ini pasti keluar dari suatu tempat. 

Perjalanan menuju tempat keluarnya sungai kami lakukan pada keesokan harinya.

Jeritan dari ribuan kelelawar terdengar ketika kami menatap mulut goa yang begitu besar.

Goa yang merupakan tempat keluarnya sungai memiliki kedalaman air yang bervariasi.

Air mengalir di sisi utara dari gua, sedangkan sisi selatan merupakan gundukan tanah bebatuan yang tinggi.

Saat masuk, suatu sosok besar seperti mengepakkan sayap ditengah kegelapan dan melesat melewati kami dengan cicitannya yang bising.

goa
Kolam kecil di dalam goa. (Dok Mahitala Unpar)

Ia seolah menjerit dan melarang kami mengungkap apa yang ada di dalam sana.

Makin lama sosok itu semakin banyak, meracau, dan terbang tak menentu ketika kami mencoba masuk lebih dalam lagi.

Dengan melewati bebatuan dan stalagmit-stalagmit yang menjulang tinggi kami menjumpai tanah yang begitu halus dan lembut tanpa jejak sedikitpun.

Tidak tega rasanya menapakkan kaki di tanah sehalus ini.

Flowstone bertebaran
Flowstone bertebaran (Dok Mahitala Unpar)

Seiring masuk lebih dalam, ornamen berukuran sangat besar semakin sering kami jumpai.

Curtain, flowstone, bacon, stalaktit, stalagmit semua dalam berbagai ukuran.

goa
Stalaktit raksasa yang sudah menjadi pilar. (Dok Mahitala Unpar)

Sebuah curtain yang menjuntai berpendar ketika terkena sinar lampu, jadi pemandangan indah di kegelapan abadi yang mendekap kami.

goa
Stalagmit (istimewa)

Biota-biota yang dijumpai pun berukuran semakin besar.

Lumut.
Lumut. (Dok Mahitala Unpar)

TNAL sungguh sangat kaya akan karagaman hayati.

Survei pada 2008-2009 oleh  Burung Indonesia  menunjukkan ada 104 jenis (39 suku) burung di taman nasional ini.

Di Blok Aketajawe ada 82 jenis dan Lolobata  77 jenis.

Sebanyak 25 jenis burung khas Maluku Utara dijumpai dalam kawasan, termasuk  empat endemik Halmahera, yaitu mandar gendang (Habroptila wallacii), cekakak  murung (Todiramphus fenubris), kepudang-sungu Halmahera (Coracina parvula), dan kepudang Halmahera (Oriolus phaeocromus).

Di dalam taman nasional juga dijumpai jenis burung lain seperti bidadari Halmahera (Semioptera wallacii), kakatua putih (Cacatua alba), kasturi Ternate (Lorius garrulus), paok Halmahera (Pitta maxima), julang Irian (Aceros plicatus), gosong kelam (Megapodius freycinet), beragam pergam (Ducula spp.) serta walik (Ptilinopus spp).

Kawasan ini juga menjadi tempat perlindungan burung- burung paling terancam punah dan langka menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, seperti mandar gendang, kakatua putih, kasturi Ternate, cekakak murung, dan cikukua hitam.

Untuk  mamalia, diperkirakan 33 jenis seperti kuskus Maluku (Phalanger ornatus), bajing terbang (Petaurus breviceps papuanus), beragam kelelawar (Chiroptera sp), musang (Viviridae), babi hutan, sampai tikus. 

Mengamati ornamen.
Mengamati ornamen. (Dok Mahitala Unpar)

Ketika mencapai suatu chamber di dalam gua ini, sekumpulan serangga kecil berwarna putih berterbangan mengerumuni penerangan yang kami kenakan di kepala.

Diujung gua ini terdapat sebuah sump dengan debit aliran yang cukup besar dan kami menjumpai gemericik air tiada henti melalui sebuah flowstone besar di langit-langit gua ini.

goa misteri
Sump atau siphone di dalam goa misteri. (Dok Mahitala Unpar)

Penjelajahan kami di goa misteri berhenti disini.

Aliran sungai yang menghilang di dalam goa, lorong-lorong berliku dan sinkhole yang ada di kawasan ini bagian dari sistem goa Halmahera Tengah yang mungkin saling terhubung.

Setelah menelusuri gua ini sampai ke ujung dan mencatat semua temuan, kami kembali menuju basecamp.

Tiga hari penjelajahan di goa ini terasa sangat menggugah dan kami akan melanjutkan penjelajahan di goa lain.

Berfoto di depan mulut goa.
Berfoto di depan mulut goa. (Dok Mahitala Unpar)

Kami lalu membereskan peralatan dan membersihkan jalur tanpa ada yang tertinggal. 

Kembali ke desa, kembali ke peradaban.

Di pinggir sungai, sebuah ketinting atau perahu kecil telah tertambat.

Pemiliknya siap untuk mengantar kami ke Weda, sebuah kota kecil di dekat Desa Kobe.

Kami menyusuri Sungai Fidi dengan guyuran hujan yang membuat tangan kami mati rasa karena dingin.

Rumah-rumah kayu semakin sering dijumpai di sisi sungai. Dan ketinting-ketinting tertambat di samping rumah kayu tersebut.

Vegetasi pun sangat beragam di sepanjang sungai ini.

Yang paling umum di temukan ialah sagu.

Cahaya lampu dikegelapan malam dari deretan ruko menandakan akhir perjuangan kami menahan dinginnya udara.

Dengan menggunakan mobil yang kami sewa, kami diantar menuju kantor seksi untuk bermalam dan melanjutkan penelusuran gua di Desa Kobe pada keesokan harinya.

Gua-gua yang kami temukan di Desa Kobe tidak sebesar yang telah kami eksplorasi sebelumnya.

Namun yang menarik ialah banyaknya sarang Burung Seriti di goa yang kami temukan ini.

Burung Seriti
Burung Seriti (Dok Mahitala Unpar)

Telur-telur kecil masih terletak di beberapa sarang dan di sarang yang lain nampak anak burung yang mendekam menunggu induknya memberikan makan.

Telur burung seriti.
Telur burung seriti. (Dok Mahitala Unpar)

Penelusuran gua di Desa Kobe menjadi akhir bagi petualangan kami di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata.

Keragaman fauna dan flora, keramahan penduduk dan keindahan karst maupun eksokarstnya tak akan mungkin kami lupakan.

Perjalanan yang relatif singkat namun sarat makna.

Sebuah perjalanan yang menyadarkan kami untuk saling berbagi kehidupan, entah itu dengan sesama manusia maupun dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Mission accomplished!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved