Buktikan Pasal Karet KUHP, Haris Azhar Kisahkan Nenek 82 Tahun yang Harus Dipenjara
Pasal-pasal yang termuat dalam RKUHP saat ini dianggap tidak memperbaiki KUHP sebelumnya.
Penulis: Desy Selviany |
Banyak pasal karet yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini. Pasal-pasal di KUHP itu tidak jarang menyerang golongan masyarakat rentan seperti nenek berusia 82 tahun.
Hal itu diceritakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lokataru Hariz Azhar. Haris mengakui KUHP memang harus direvisi karena selain usang KUHP buatan Belanda itu juga banyak mengandung pasal multitafsir dan karet.
Misalnya saja kata Haris, selama ini ia kerap menghadapi kasus-kasus hukum yang menimpa golongan masyarakat rentan.
“Saya punya temen dua hari lalu dateng, dia dampingi nenek-nenek usia 82 tahun dipidana, dia tanya saya apa argumentasinya Pak Haris,” kisah Haris di Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa (25/9/2019) malam.
“Saya bilang apa yang mau dipakai kalau argumentasinya 82 tahun, bawa aja itu nenek-nenek ke kantor Polisi,” imbuhnya.
Menurutnya hal-hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian DPR RI ketika mencoba memperbaiki KUHP buatan Belanda.
Sangat disayangkan, yang terjadi dalam RKUHP justru sebaliknya. Beberapa pasal yang termuat dalam RKUHP masih menimbulkan multitafsir dan pasal karet.
“Jadi maksud saya kodifikasi dalam konteks negara kontinental seperti ini harus difikirkan, dia bukan sekedar teks, negara yang harus tampil ke masyarakat, tanya apa yang dibutuhkan masyarakat,” jelas mantan aktivis Komisi untuk Orang Hilang Korban Kekerasan (Kontras) itu.
Haris menjelaskan perumusan KUHP Indonesia harus mencontoh pembuatan konstitusi di Afrika Selatan.
“Ketika post apartheid mereka ada namanya konstitusi sementara, dan di dalam konstitusi sementara itu ada tim yang dikerahkan untuk berdialog dengan masyarakat untuk mengambil nilai,” jelas Haris.
Bahkan tim itu turun ke gunung-gunung dan berdiskusi dengan masyarakat menggunakan bahasa lokal dan analogi lokal.
Hal inilah yang tidak dilakukan DPR RI dan pemerintah saat menyusun RKUHP.
“Sekarang siapa tim KUHP yang datang, profesor mana yang turun ke gunung, masuk ke pinggir pantai, bicara sama nelayan, bicara sama buruh, bicara sama gembel, bicara sama mahasiswa,” kata Haris.
Sehingga ia berharap KUHP seharusnya tidak dijadikan alat yang nantinya akan dapat mengintimidasi golongan masyarakat rentan.
“Jadi KUHP itu bukan sekedar teks yang dibahas bahwa kami sudah bekerja dan lain-lain, bapak bekerja, orang menderita,” tegas Haris.
Ia juga meminta pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menjadikan KUHP sebagai beban di akhir pemerintahannya. Sebab yang terpenting menurutnya ialah KUHP yang berkualitas untuk generasi berikutnya.
Diberitakan Wartakotalive.com sebelumnya, Haris Azhar sempat menyinggung soal aspek yurisprudensi di dalam penyusunan RKUHP.
Menurutnya, selama ini DPR dan Pemerintah mengabaikan aspek yurisprudensi selama penyusunan RKUHP.
“KUHP memang dibahas ahli hukum, tapi pernah dihitung berapa ahli hukum yang masuk penjara? Gak ada ahli hukum masuk penjara, yang ada mereka yang masuk penjara itu orang-orang kecil gak ngerti hukum,” kata Haris di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa, (25/9/2019).
Haris mengatakan, hal itulah yang ia lihat selama ini saat memberikan advokasi kepada masyarakat kecil.
Selama ini jelas Haris, banyak masyarakat kecil yang menjadi korban dari pasal karet. Pengalamannya, para korban pasal karet hingga berjejer di pengadilan seperti domba.
“Mereka yang masuk penjara, yang dibawa ke pengadilan udah kaya domba disidangkan di pengadilan,” ungkap Haris.
Padahal kata Hairs setiap penataan KUHP baru seharusnya selalu ada metodelogi yang bernama kodifikasi.
Dimana kodifikasi dibutuhkan untuk melihat dampak dari pasal-pasal sebelumnya yang pernah menjerat masyarakat.
“Di negara-negara unless section hukum seperti Amerika, Inggris, Malaysia kodifikasi itu otomatis terjadi karena putusan tersebut menjadi yurisprudensi,” jelas Haris.
Sehingga yurisprudensi harus lebih tinggi ketimbang Undang-undang itu sendiri.
Haris menyayangkan RKUHP yang selama ini dirancang oleh DPR RI dan pemerintah tidak pernah melibatkan korban-korban pasal karet untuk dijadikan kodifikasi.
“Jadi kalau hanya andalakan UU no 12 tahun 2011 tentang tata cara pembentukan perundang-undangan yang hanya harus ke kampus-kampus lakukan audiensi, gembel gak ada itu ke kampus-kampus,” kata Haris.
Bukan hanya LBH Lokataru, pasal-pasal yang terdapat dalam RKUHP saat ini juga ditentang banyak lembaga lainnya.