Cerita dari Kampung Kebon Melati yang Terhimpit Gedung Pencakar Langit di Thamrin
Kampung Kebon Melati terkurung di balik tembok-tembok pembatas yang didirikan pengelola gedung di kawasan Thamrin.
WARTA KOTA, PALMERAH---- Di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, dibalik gedung tinggi masih tersisa perkampungan.
Kampung Kebon Melati, nama kampung itu.
Kawasan tersebut merupakan sisa-sisa pembangunan kawasan Thamrin dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto.
• Berikut 5 Pemilik Rumah yang Senasib dengan Lies
Saat ini kampung tersebut terkurung di balik tembok-tembok pembatas yang didirikan pengelola gedung di kawasan Thamrin.
Jalan keluar-masuk kampung itu melewati sebuah tembok yang telah dijebol di kawasan Thamrin Residence.
• 7 Fakta soal Rumah Lies di Tengah Kompleks Apartemen di Jakarta Pusat
Ukurannya hanya muat dilalui pejalan kaki dan sepeda motor.
Berikut adalah beberapa fakta mengenai kampung tersebut:
1. Warga jual tanah dengan alasan keamanan
Ketua RT 09 RW 09 Kebon Melati, Rusli (71), mengaku sudah tinggal di sana sejak tahun 1970.
Kala itu kawasan Thamrin masih dipenuhi perumahan warga.
Sekitar tahun 1990-an, kawasan itu mulai diminati petusahaan properti.
Awalnya, hanya sedikit warga yang mau menjual tanah-tanah mereka sampai akhirnya ancaman dari preman-preman mulai melanda.
Masyarakat mulai merasa tidak aman tinggal di kampung tersebut.
Bahkan, bentrokan sering terjadi yang membuat warga ngeri.
"Kalau dulu pindahnya per satu kelompok-satu kelompok, ada yang pindah satu RT, enggak pasti, ada yang cocok harganya langsung jual," kata Rusli seperti dikutip Kompas.com.
Perlahan penduduk Kampung Kebon Melati mulai hilang.
Rusli mengatakan, proses negosiasi tanah di sana berlangsung sangat cepat.
Dari 15 RT yang dulunya ada di kampung tersebut kini tersisa 5 RT saja.
"Dulu itu, hari ini terima duit langsung kabur, sudah enggak mau nginap lagi, takut ada yang minta jatah," ujar Rusli.
2. Kampung tersisa karena minta harga mahal
Suhartati (42), salah seorang warga Kampung Kebon Melati, mengatakan, warga tersisa tidak seluruhnya benar-benar ingin bertahan tinggal di sana.
"Ada yang jualnya ketinggian jadi PT-PT nya enggak mau ngambil," ujar dia.
Sebagian besar tanah kampung itu sudah terjual.
Tanah yang tersisa yang ukurannya kecil-kecil.
"Sekarang sudah enggak ada yang mau tanahnya, dia (pembeli) maunya global gitu, yang tanahnya banyak, tapi kalau sekarang kecil-kecilan begini susah juga," kata Suhartati.
3. Sering mandi debu dan terganggu dentuman paku bumi
Jaelani (38), warga yang tinggal di Kampung Kebon Melati, mengatakan, suara dentuman paku bumi saat kawasan Thamrin dibangun seringkali mengganggu warga.
"Wah dulu berisik banget pas masang paku bumi, sering terganggu warga," kata Jaelani.
Suara berisik itu mengganggu warga siang dan malam.
Mereka hanya berbatas tembok dengan proyek pembangunan gedung-gedung tersebut.
Saat proyek pembangunan gedung berlangsung, debu-debu pembangunan berterbangan hingga menutupi rumah warga.
"Kalau dulu pas pembangunan paling masalah debu," ujarnya.
4. Warga yang tersisa ingin pindah
Warga yang tersisa di Kampung Kebon Melati kebanyakan ingin pindah dari daerah itu.
Mereka berharap ada orang atau perusahaan yang mau membeli tanah mereka.
Suhartati mengatakan, alasan warga ingin menjual tanah adalah kurangnya aktivitas sosial di kampung tersebut.
"Di sini sudah sepi, malam apalagi, lebih sepi lagi. Nggak banyak kegiatan," katanya.
Rumah-rumah yang hanya bisa buat rumah tinggal, tidak bisa sebagai tempat usaha.
Hanya ada dua jalan ke Kampung itu, yaitu dari sebuah tembok pembatas yang dijebol di Thamrin Residence dan sebuah jalan dari arah Jalan KH Mas Mansyur.
Akses jalan itu juga tidak begitu besar, hanya bisa dilalui sepeda motor atau mobil berukuran kecil jika dipaksakan.
"Malah orang banyak yang enggak tahu kalau masih ada kampung di sini," kata Suhartati.
Karminah (65) warga lain yang tinggal di lokasi tersebut menjelaskan, setelah gedung-gedung tinggi di kawasan Thamrin berdiri, tidak ada lagi orang yang menawar tanah yang tersisa di Kebon Melati.
"Sekarang sudah enggak ada ditawar lagi, dari tahun 1990 sampai sekarang tidak ada yang tawar lagi," kata dia.
Ukuran tanah yang tidak terlalu besar, serta harga tanah yang sangat tinggi menjadi alasan tidak ada lagi perusahaan atau perorangan yang ingin membeli tanah di sana.
Warga menyebutkan, harga tanah di sana mencapai Rp 20-25 juta per meter persegi.
Warga pun menyewakan rumah mereka.
Tarifnya cukup bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per bulan.
"Kalau kontrakan biasanya di atas Rp 1 juta sebulan, kalau yang kos-kosan kayak di belakang itu ada yang Rp 800.000, Rp 900.000-an," katanya.
5. Warga lama mulai sering datang
Suhartati mengatakan, warga lama Kampung Melati kini sering menyambangi lokasi itu.
Bahkan warga lama itu membuat sebuah paguyuban.
"Ada malah ada perkumpulan sekarang, Bonti namanya, Paguyuban Kebon Melati. Malah sekarang banyak yang nongol yang lama-lama," kata Suhartati
Menurut dia, para warga lama mulai saling berinteraksi sejak sama-sama menggunakan media sosial.
Dari situ warga mulai sering berkumpul dan bernostalgia di Kampung Kebon Melati yang tersisa.
"Sudah pada ke sini, yang rumahnya sudah jadi Thamrin City, segala macam pada kemari," katanya.
Jaeleni mengatakan, kebanyakan warga lama Kebon Melati pindah ke daerah satelit Jakarta setelah menjual tanah mereka.
"Paling banyak ke Depok, ada juga yang ke Ciledug, Citayam, Kebon Jeruk juga ada," katanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul 5 Fakta Kampung Kebon Melati Terkepung Pencakar Langit di Thamrin