Polemik RKUHP

TERUNGKAP Penentuan Bobot Hukuman dalam RKUHP Kadang Pakai Perasaan, Contohnya Pasal Aborsi

"Kadang-kadang mohon maaf juga, ya kadang-kadang suka-suka saja begitu, contohnya nih segini, cocoknya segini, pakai rasa (perasaan) dia

Ilustrasi KUHP dan KUHAP. (Kompas.com/Palupi Annisa Auliani) 

Mahasiswa menduga DPR melakukan ugal-ugalan saat melakukan pengesahan RUU KPK dan RKUHP.

Presiden Jokowi pun kemudian memutuskan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda.

Jokowi menilai ada 14 pasal yang harus dibahas ulang sehingga ia memtuskan minta ditunda.

Lalu terungkap pengakuan bahwa penerapan pasal dalam RKUHP tersebut kadang menggunakan perasaan.

Pengakuan disampaikan Anggota Panja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) DPR Nasir Djamil.

KPK Telah Periksa 5 Pejabat KONI Terkait Kasus Imam Nahrawi, Imam Belum Berpikir Pra Peradilan

TERNYATA KPK Gagal Periksa Ahmad Heryawan karena Sedang Berada di LN, Jumat Keramat Lewat?

Live Streaming Liga Inggris Manchester City Vs Watford, Tayang di TVRI dan Mola TV Sabtu Malam Ini

Ia mengakui bahwa dalam proses pembahasannya, rasionalisasi penerapan pemidanaan di RKUHP belum sempurna.

Hal itu ia katakan dalam merespons soal bobot ancaman pidana dalam RKUHP yang cenderung tidak proporsional.

"Memang harus diakui dalam dialog di Panja itu, rasionalisasi pemidanaan memang belum sempurna," ujar Nasir saat dihubungi wartawan, Jumat (20/9/2019).

Hadapi Persebaya Surabaya di Lanjutan Liga 1 2019, Teco Akui Belum Tahu Karakter Alfred Riedl

Dalam draf RKUHP, perempuan yang menggugurkan kandungannya atau melakukan aborsi terancam dipenjara lebih lama dari narapidana kasus korupsi.

Sementara itu, pada pasal tindak pidana korupsi, diterapkan pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun atau seumur hidup.

Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan terpidana kasus korupsi dipidana minimal 2 tahun, sedangkan pelaku aborsi mungkin dipidana maksimal 4 tahun sehingga pidananya lebih tinggi dari pelaku korupsi.

Fadli Zon Ungkap Ironi Pembakaran Hutan Langsung Mencoreng Diplomasi Sawit dan Mengirim Puisi Kritik

Nasir pun mengakui, tidak ada standar atau metode khusus yang digunakan untuk menentukan besaran ancaman pidana.

Ia mengatakan, ancaman pidana seringkali mengadopsi aturan perundang-undangan lain dan KUHP sebelum revisi.

"Pemidanaan ini sering mengadopsi peraturan perundang-undangan lain dan juga KUHP lama. Jadi artinya belum ada pertimbangan yang rasional," kata dia.

Enam Pelaku Tawuran di Bukit Duri Ditangkap, Terdiri dari Penyiram Air Keras, Pembacok, Provokator

Kendati demikian, kata Nasir, penentuan ancaman pidana juga dilakukan dengan cara lain, yakni menggunakan perasaan atau penyesuaian.

"Kadang-kadang mohon maaf juga, ya kadang-kadang suka-suka saja begitu, contohnya nih segini, cocoknya segini, pakai rasa (perasaan) dia, tetapi kenapa segitu ya tidak ada penjelasan. Itu bukan umum ya, itu pendapat saya," ucap politisi PKS itu.

Sebelumnya, Institute for Criminal and Justice System (ICJR) pernah mengkritik pengaturan tentang bobot hukuman.

Brimob Amankan Sepucuk Senjata Api Rakitan dari Pelaku Pencurian Motor

Mereka menilai, sampai saat ini pemerintah belum pernah mempresentasikan ke publik mengenai metode atau pengaturan bobot hukuman. Hal ini rawan menghasilkan ancaman pidana yang tidak proporsional dan mengakibatkan jumlah pemenjaraan meningkat drastis.

Penjelasan Menkumham Soal Pasal Aborsi

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Menkumham) Yasonna Laoly menjelaskan soal pasal dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) yang menjadi perhatian publik.

Salah satunya yang menyangkut aborsi.

Ketentuan pemidanaan itu dimuat dalam Pasal 470 Ayat (1). Bunyinya,

"Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun."

Tabrakan Beruntun di Tol Jakarta-Merak, Pengemudi Camry dan Innova Luka Parah, Mobilnya Juga Ringsek

"Ini sebenarnya sudah ada di KUHP yang sekarang (yang berlaku). Ancamannya berat, 12 tahun," kata Yasonna dalam konferensi pers di Kemenkumham, Jakarta, Jumat (20/9/2019).

Adapun dalam aturan yang berlaku saat ini, ketentuan pemidanaan aborsi tercantum dalam Pasal 347 Ayat (1). Bunyinya,

"Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."

Ucapan Waldono yang Pernah Bilang Ingin Pulang Bareng Lima Rekannya Jadi Firasat Kecelakaan di Tol

Menurut dia, ketentuan baru dalam RKUHP ini memiliki ancaman pidana yang lebih rendah dan tidak berlaku bagi korban perkosaan atau karena alasan medis.

"Seorang perempuan yang diperkosa oleh karena dia tidak menginginkan janinnya, dalam terminasi tertentu dapat dilakukan atau karena alasan medis, mengancam jiwa misalnya dan itu mekanismenya juga diatur dalam Undang-Undang Kesehatan," kata Yasonna.

Meski Presiden Joko Widodo sudah meminta pengesahan RKUHP ditunda, Yasonna menjelaskan pasal-pasal yang menjadi perhatian publik untuk meluruskan mispersepsi yang timbul dari pasal ini.

Jalasenastri Menkav 2 Mar Berlatih Membatik Ecoprint

"Jadi kami mengklarifikasi jangan seolah-olah ini KUHP baru membuat pasal pidana yang baru yang mengkriminalisasi semua orang. Ini yang kita mau jelaskan. Kadang dilihat pasalnya tanpa dilihat penjelasannya. Ini menjadi keliru dia," kata Yasonna.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Nasir Djamil Akui Penentuan Bobot Hukuman dalam RKUHP Kadang Pakai Perasaan",  Penulis : Kristian Erdianto Juga dengan  judul "Penjelasan Menkumham soal Pasal Aborsi dalam RKUHP",  Penulis : Dylan Aprialdo Rachman

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved