Peristiwa
Datangi Kemenkeu karena Tidak Kunjung Dibayar Meski Sudah Mendapatkan Putusan Hingga PK di MA
Kontraktor yang membangun proyek Mapolda Aceh II hingga kini belum mendapatkan pembayaran dari hasil pengerjaan pembangunan yang telah selesai.
Pembangunan Mapolda Aceh hingga saat ini masih menyisakan persoalan.
Pasalnya, PT Elva Primandiri, kontraktor yang membangun proyek Mapolda Aceh II hingga kini, belum mendapatkan pembayaran dari hasil pengerjaan pembangunan yang telah selesai dilakukan pada 2007 lalu.
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh PT Elva Mandiri untuk meminta hak pembayaran atas pembangunan Mapolda Aceh tersebut.
• Sosok Mayat Pria Ditemukan dalam Posisi Mengambang di Perairan Pantai Mutiara
Hari ini, Selasa (3/9/18), Direktur PT Elva Primandiri, Elva Waniza beserta Kuasa Hukumnya, Habib Salim bin Jindan dan sekitar 50 massa mendatangi Gedung Kementerian Keuangan untuk menindaklanjuti hal tersebut.
"Sebagai tindak lanjut apa yang sudah saya lakukan selama ini dari perjalanan panjang ini," kata Elva di Jakarta, Selasa (3/9/19).
• Gadis Jerman 19 Tahun Dinodai 2 Pria Israel Cuma Berselang Pekan Gadis Inggris Digilir Pria Israel
Menurut Elva, semua sebetulnya sudah harus terfokus di kantor Kementerian Keuangan, kepada Menteri Keuangan atau Sekretaris Jenderal.
"Karena, di tangan beliau lah, sebagai penjabat, sebagai petinggi, masalah ini akan selesai."
"Karena, bagaimana pun beliau adalah pengambil kebijakan tertinggi di Kementerian Keuangan," ungkapnya.
Menurutnya, dirinya hanya meminta putusan hukum dilaksanakan, yakni pembayaran atas pembangunan Mapolda Aceh ditambah bunga bank 10 bulan setelah anmanning (teguran) senilai kurang lebih Rp 37 miliar.
"Saya hanya menyampaikan, karena hak itu harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, sampai kepada bapak Presiden RI, seperti yang disampaikan kuasa hukum saya Habib Salim Jindan, atau saya sampai ke HAM internasional, banyak jalan."
"Tapi, saya berharap jangan terlalu berpanjang lebar lah, cukup dengan ibu menteri dan sekjennya dengan tim internal beliau."
"Jangan sampai saya diombang ambingkan lagi," katanya.
• Tom Cruise 2020 Menargetkan Kursi Presiden Amerika Serikat untuk Menekuk Donald Trump
Dalam kesempatan yang sama, Kuasa Hukum Elva Waniza yang juga Presiden Majelis Dzikir RI-1, Habib Salim Jindan mengatakan, sedianya pertemuan dengan pihak Kementerian Keuangan dilakukan pada Senin (2/9/19) kemarin.
Namun, oleh karena tidak ada kejelasan, akhirnya pertemuan baru dilangsungkan hari ini.
"Di sini, kami atas nama Majelis Dzikir RI 1 wajib turut mendakwahkan atau revolusi mental para pejabat Kementerian Keuangan yang dimana telah abai, tidak patuh terhadap keputusan hukum yang inkracht, di mana berdasarkan keputusan kementerian itu sendiri dalam suratnya ada pelaksanaan putusan hukum, peraturan menteri nomor 80 PMK.01/2015 tentang pelaksanaan putusan hukum."
"Namun, tidak dijalankan bahkan diabaikan," kata Salim saat menyampaikan keterangan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menurutnya, perjalanan proyek yang sudah 10 tahun lebih ini sangat menyakitkan, karena Kementerian Keuangan tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya terhadap PT Elva Primandiri.
"Kami juga datang untuk mendakwahkan untuk dzikir, ingat Allah, dan jangan sampai memalukan bapak Presiden Republik Indonesia tentang tidak dilaksanakannya putusan hukum seperti ini," terang Salim.
"Karena, tidak ada dalil lagi, putusan sudah inkracht, sudah memiliki keputusan tetap. Dan kami yakin Ibu Sri Mulyani itu adalah Menteri yang luar biasa, kebanggaan Bapak Presiden," ungkapnya.
Justru, kata dia, pihaknya mencurigai bahwa ada oknum-oknum pejabat yang coba merusak citra Kementerian Keuangan maupun Presiden RI.
"Maka, ini perlu kita cari tahu dan merevolusi mental."
"Dengan apa?"
"Dengan amal agama."
"Karena, tidak ada amal agama makanya jadi tidak karuan seperti ini, jadi korban kedzaliman, ketidakadilan baik materi maupun imateri," pungkasnya.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan nomor perkara 582/Pdt.G/2011/PN. Jkt.Tim yang menghukum Kementerian Keuangan, yang dulu bernama Satuan Kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias (tergugat I) dan Polri (tergugat II) secara tanggung renteng membayar kewajibannya kepada PT Elva Primandiri sebesar Rp 32.768.097.081.
Putusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta nomor perkara 527/PDT/2013/PT.DKI.
Bahkan, kembali diperkuat dengan terbitnya putusan Kasasi Mahkamah Agung nomor 2483 K/PDT/2014.
Selanjutnya, upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh pihak tergugat bernomor perkara 601 PK/PDT/2017 kembali ditolak.