Pendidikan

KPAI: Materi dan Metode Pembelajaran Agama Perlu Dikritisi, Bukan Dihilangkan

Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai polemik tersebut muncul hanya dari usulan seseorang bernama Darmono, dan usulan diabaikan pemerintah.

Penulis: Budi Sam Law Malau |
Wartakotalive.com/Budi Sam Law Malau
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti. 

Di media sosial dan beberapa media massa beredar opini dari Darmono, seorang pemerhati pendidikan, yang mengusulkan agar mata pelajaran Pendidikan Agama di sekolah dihapus.

Hal ini telah menimbulkan polemik di masyarakat.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai polemik tersebut muncul hanya dari usulan seseorang bernama Darmono, dan usulan diabaikan pemerintah.

Karena pemerintahan Indonesia memang tidak pernah merencanakan penghapusan pelajaran agama di sekolah.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, sehubungan dengan polemik tersebut, maka sebagai Komisioner KPAI bidang pendidikan, ia menyampaikan pandangannya atas hal itu.

Yakni KPAI menyayangkan polemik soal usulan penghapusan pelajaran agama di sekolah dari Darmono yang dimuat dalam salah satu media online karena telah membuat situasi memanas.

 Lowongan Kerja di Kapal BUMN untuk SMA/SMK dengan Gaji Minimal Rp 8 Juta

 Suami Jujur ke Istri Telah Hamili Wanita Lain, Istri Langsung Perintahkan Selingkuhannya Bunuh Suami

 Janda Muda Tsamara Amany Bakal Lepas Statusnya, Sosok Calon Suaminya Bukan Orang Biasa

 Klarifikasi Lengkap Soal Audrey Yu Jia Hui: Passionnya Bukan di NASA, Kini Masih Sekolah S2/S3 di AS

"Darmono sendiri kabarnya seorang pemerhati pendidikan dan kemungkinan besar suaranya atau pendapatnya merupakan opini pribadi. Tidak mewakili partai politik tertentu apalagi mewakili suara pemerintah," kata Retno, Selasa (9/7/2019).

Namun demikian, tambahnya, tak sedikit netizen yang langsung menyerang pemerintah dan bahkan mengaitkan dengan Partai Politik tertentu.

"Padahal, sepanjang pengawasan KPAI, pemerintah pusat melalui Lukman Hakim selaku Menteri Agama dan Muhajir Efendi selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI telah beberapa kali memberikan pernyataan resmi bahwa pemerintah tidak akan menghapus pelajaran agama di sekolah," katanya.

Menurutnya, Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa lingkungan sekolah memang bukan satu-satunya tempat anak-anak belajar, termasuk belajar pendidikan agama.

"Karena masih ada pendidikan di lingkungan keluarga yang pertama dan utama menanamkan karakter anak, dan juga pendidikan di lingkungan masyarakat," katanya.

"Ki Hajar menyebutnya dengan istilah Tri Pusat Pendidikan. Artinya, pendidikan agama sejatinya memang diajarkan di semua ranah, yaitu di keluarga, di sekolah dan di masyarakat," tambah Retno.

KPAI, kata Retno, tentu mendukung pendidikan agama tetap diberikan di sekolah.

"Namun substansi materi yang diajarkan maupun metode pembelajarannya memang masih memerlukan masukan banyak pihak, agar menjadi tepat dan bermakna, atau perlu dikritisi," kata dia.

"Selama ini pendekatan pembelajaran yang mayoritas digunakan guru masih konvensional, kurang membuka ruang dialog, sehingga kurang membangun daya kritis peserta didik," ujarnya.

Ketika budaya literasi terjadi di sekolah, kata Retno, maka ruang dialog dan kemampuan berpikir kritis akan terbangun dengan sendirinya.

 Kasus Suami Jajakan Istri untuk Layanan Threesome Kembali Terungkap, Sehatkan Perilaku Seperti itu?

 Tak Tahan Lihat Ibu Muda Berdaster Saat Beri Makan Ternak Babi, Pria Ini Tetap Gagal Merudapaksanya

"Sehingga sekolah dapat dengan mudah menangkal paham radikal dan fanatisme sempit lainnya," kata dia.

Menyoroti kegiatan pendidikan agama yang selama ini berlangsung di sekolah, kata Retno, memang lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis.

Menurut Retno, kurang memperhatikan persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi suatu makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik.

"Sehingga untuk selanjutnya menjadi sumber anak didik untuk bersikap dan berperilaku secara konkret agamis dalam kehidupan praksis sehari-hari," kata dia.

Meski dalam Kurikulum 2013 guru dituntut melakukan proses pembelajaran dengan prinsip 5M yakni mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis dan mencipta, tambah Retno, namun pada implementasinya mayoritas guru dari berbagai mata pelajaran, termasuk guru agama lebih mengedepankan hal mengingat.

"Dalam proses pembelajaran, peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas lebih diarahkan kepada menghafal informasi. Padahal UU No. 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah memiliki paradigma baru.

"Dimana istilah proses belajar-mengajar atau guru mengajar, murid belajar, di ubah menjadi proses pembelajaran yakni murid dan guru sama-sama belajar dan ada relasi yang seimbang," kata Retno.

Dalam kurikulum 2013, kata dia, Pendidikan Agama di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah digabung dengan pendidikan budi pekerti yang diajarkan selama 4 jam tatap muka untuk jenjang SD dan 3 jam untuk SMP dan SMA/SMK.

"Pengabungan inilah yang dulu banyak dikritik beberapa pihak, karena Pendidikan Agama berlandaskan kitab suci masing-masing agama, sedangkan budi pekerti berlandaskan norma-norma dan budaya yang berlaku di suatu tempat," kata dia.

Namun, kedua hal tersebut diajarkan oleh orang yang sama.

Padahal, menurut kitab suci, suatu norma dan budaya terkadang bisa berbeda.

"Penambahan jam pendidikan agama saat itu, dilakukan dengan alasan penambahan Budi Pekerti. Barangkali, hal ini yang justru perlu dikritisi juga secara arif dan bijaksana demi kepentingan terbaik bagi anak didik di seluruh Indonesia," katanya.

Retno mengatakan, pelajaran agama masih diperlukan untuk diberikan di sekolah.

 Kisah Luna Maya Hampir Diusir saat Nonton Konser BTS di Jepang, Ini yang Dilanggar Mantan Reino

Barangkali yang perlu diberi masukan bersama adalah metode pembelajarannya dan materinya.

Misalnya, penting memberikan materi bahwa setiap agama mengajarkan kerukunan, saling menghormati, saling menghargai, saling menyayangi dan bukan menyebar kebencian, baik kepada umat agama yang sama maupun umat agama yang berbeda.

Hal tersebut bisa menjadi materi yang dianggap utama. Mengingat masyarakat di negeri kita ini sangat majemuk.

"Sehingga keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan di Indonesia. Jadi penting pelajaran agama juga memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan memperkokoh persatuan bangsa," katanya. (bum)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved