Warga Cililitan Keluhkan Pemprov DKI Tidak Transparan Soal Negosiasi Harga Pembebasan Lahan

Musyawarah penetapan ganti rugi lahan yang diharapkan bersifat negosiasi katanya justru ditetapkan sepihak.

Warta Kota/Dwi Rizki
Lahan milik Saefudin (58) warga RT 09/06 Cililitan, Kramatjati, Jakarta Timur. Lahan yang berada persis di bantaran kali itu termasuk dalam trase normalisasi Kali Ciliwung bersama 63 bidang lahan milik warga lainnya. 

Pembebasan lahan milik terkait proyek normalisasi Kali Ciliwung yang berada di wilayah Cililitan, Kramatjati, Jakarta Timur masih dikeluhkan warga hingga saat ini.

Pasalnya, tidak hanya mangkrak sejak tahun 2015 silam, warga juga menyesalkan lantaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak terbuka terkait penetapan nilai ganti rugi lahan terdampak.

Keluhan tersebut seperti yang disampaikan oleh Saefudin (58) warga RT 09/06 Cililitan, Kramatjati, Jakarta Timur.

Dirinya mengaku, tertipu dengan proses musyawarah terkait apresial yang sebelumnya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta di Kelurahan Cililitan pada tahun 2016 silam.

Musyawarah penetapan ganti rugi lahan yang diharapkannya bersifat negosiasi katanya justru ditetapkan sepihak.

Warga yang diundang datang ke kelurahan diwajibkan untuk tanda tangan apabila ingin mengetahui besaran apresial lahan mereka.

"Jadi, nggak ada yang namanya negosiasi."

"Kalau memang benar ada musyawarah, harusnya kan pemerintah tawarkan berapa nilai lahannya terus tanya ke warga setuju apa nggak?"

"Lah, ini kita diwajibin untuk tanda tangan dulu, aprasialnya sudah dicetak di dalam amplop," ungkapnya, saat ditemui di rumahnya pada Jumat (21/6/2019).

Tidak bisa mengelak, seluruh warga terdampak pembebasan lahan yang terdiri dari warga RW 06 dan RW 16 Cililitan itu katanya bersedia tanda tangan lantaran ingin mengetahui berapa apresial lahan mereka.

Walaupun lanjutnya, sebagian besar warga menolak nilai apresial begitu mengetahui besaran yang ditetapkan pemerintah.

"Ibaratnya, kita ini anak-anak yatim yang mau dikasih zakat di masjid, kita nggak tahu berapa jumlahnya di dalam amplop itu, jadi dengan kata lain kita dipaksa tanda tangan," imbuhnya.

Padahal, lanjutnya, nilai ganti rugi yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni sebesar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) telah disepakati warga.

Namun, setelah dihitung ulang, besaran apresial yang diterima warga bahkan tidak menyentuh NJOP dari masing-masing lahan.

"Kalau kayak saya aja ada sekitar 5.000 meter, semuanya kena pembebasan."

"Nah, kalau kurang Rp 40.000 per meter aja bisa kelihatan ruginya."

"Lagian, apresial itu kan bukan cuma tanah aja yang dinilai, tapi juga bangunan sama tanaman," ungkapnya.

Selisih besaran apresial dengan NJOP milik warga disampaikan Musa (55) tetangga Saefudin sesaat warga menerima amplop berisi nilai apresial untuk kemudian dihitung ulang.

Tidak hanya itu, nilai apresial lahan milik beberapa orang warga diketahui berbeda-beda, padahal bidang lahannya berdampingan.

"Kita sebenarnya sudah setuju dibebaskan pakai NJOP, tapi ini malah jauh dibawah NJOP."

"Kita kayak dijebak, soalnya dibilang udah tanda tangan, artinya setuju tanah kita dibebaskan pakai nilai apresial itu," ungkapnya.

Kedaluwarsa

Berlarutnya proses pembebasan lahan diakui Kepala Unit Pengadaan Tanah Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Yuswil lantaran terkendalanya proses negosiasi lahan dengan warga sejak beberapa tahun belakangan.

Warga, kala itu, diungkapkannya masih bersikukuh melepaskan lahan mereka dengan nilai ganti rugi jauh di atas NJOP.

Namun, pendekatan sekaligus sosialisasi yang dilakukan pihaknya slama dua tahun belakangan akhirnya menemui titik temu pada musyawarah bulan Maret 2019 lalu.

Seluruh warga katanya setuju ketika menerima besaran nilai apresial lahan mereka.

"Waktu itu semuanya setuju, makanya setelah dapat surat soal nilai apresial itu mereka tanda tangan semua."

"Kita ingatkan kalau tidak ada tekanan soal apresial ini, mereka tidak ada yang keberatan," ungkapnya dihubungi pada Jumat (21/6/2019).

"Tapi, kenapa sekarang, ada yang bilang nggak setuju, nggak sesuai?"

"Kita sudah sampaikan kepada meraka untuk lapor ke pengadilan kalau nggak sepakat sama harga yang ditawarkan," katanya.

Yuswil pun menegaskan proses pembebasan lahan terkait normalisasi Kali Ciliwung yang meliputi Balekambang, Pasar Rebo hingga Cililitan, Kramatjati akan dilanjutkan dalam waktu dekat.

Sebab, penetapan lokasi (Penlok) 2018 telah habis masa berlaku, sehingga pihaknya harus menyusun ulang Penlok tahun 2019.

Penyesuaian tersebut katanya berkaitan dengan alokasi anggaran yang diperoleh dari anggaran pembebasan lahan milik Dinas SDA DKI Jakarta Tahun Anggaran 2019.

"Kita masih tunggu Penlok, karena Penlok 2018 sudah habis. Nah begitu terbit, kita bisa bayar sesuai dengan apresial dari BPN," jelasnya.

Seperti diketahui sebelumnya, normalisasi Kali Ciliwung di wilayah Kampung Gedong, Pasar Rebo hingga Cililitan, Kramatjati, Jakarta Timur yang direncanakan pada era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tepatnya tahun 2015 silam terhenti sejak lama.

Warga pun mempertanyakan nasib mereka lantaran digantung tanpa kepastian.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved